Sementara beberapa pengikutnya diberikan tempat tinggal di wilayah Minggir, di sekitar Keraton Kerajaan Gelgel, yang kini disebut Kampung Islam Gelgel itu, mereka berjanji setia pada Raja Gelgel. Ketika kerjaaan Gelgel pindah ke klungkung (Semarapura sekarang), mereka pun pindah dan diberikan lokasi disebelah timur kota Semarapura, yang disebut dengan kampung Lebah, seiring dengan kekuasaan Klungkung itu, ada menjadi penasehat raja klung yang ditempatkan di Toya pakeh nusa penida, dan di kampung Kusamba, kecamatan dawan Klungkung.
Secara fisik kuburan Ratu Jarat itu memang tidak ada, hanya hamparan sawah, dengan penciri batu karang. Namun berdasarkan cerita turun temurun, di Uma Jarat itulah lokasi utusan itu meninggal. Namanya sebenarnya Gujarat, Uma Jarat orang Bali memang susah melafalkan kata Gujarat.
Dulu lokasi itu sempat menjadi lokasi warga muslim untuk berziarah. Namun saat ini semakin jarang, karena area persawahan itu merupakan milik pribadi dan sudah beralih fungsi menjadi sawah.
Selanjutnya , di kawasan Uma Jarat , juga beridiri sebuah  pura yang dikenal dengan  nma  Pura Pauman. Sebuah tempat suci yang tempat peribatan umat Hindu, . Pura ini  diempon  oleh Desa Adat Satra dan  erat dikaitkan dengan jejak Ratu Gujarat itu, sehingga dalam piodalan di pura tersebut tidak menghaturkan banten yang berisi daging babi.
Pura Pauman itu merupakan Pura Pemujaan Dewi Sri, yang juga lokasi warga untuk meningkatkan spiritualnya. Jika hendak meningkatkan kualitas spiritual, cukup dengan mengkonsumsi daging suci yang dalam hal ini ayam atau bebek,
TOLERANSI UMAT ISLAM DAN HINDU DI KAMPUNG GELGEL
Kampung Islam Gelgel, secara Geografis, Desa Kampung Gelgel termasuk satu dari 18 Desa dan Kelurahan di Kecamatan Klungkung Kabupaten Klungkung Provinsi Bali.
Terletak pada ketinggian 64 m dari permukaan air laut, luasnya hanya sekitar 8,6 hektar . Desa Kampung Gelgel tidak memiliki dusun dan banjar dinas. Batas-batas Desa, Di Sebelah Utara Desa Kamasan, Di Sebelah Timur , Selatan dan Barat adalah Desa Gelgel
Sampai saat ini karekter toleransi terus bertahan. Terlebih sekitar 200 meter dari Masjid Nurul Huda yang berada di Jl Waturenggong berdiri pula Pura besar dari atau pura Kawitan Pusat Pasek Gelgel yakni pura Dalem Siwa Gaduh.
Toleransi juga ditunjukkan dengan menjalankan tradisi ngejot atau saling berkirim makanan saat masing-masing memperingati hari raya keagamaan. Mereka seperti paham bahwa dalam setiap makanan, misalnya, tidak mengandung daging sapi ketika akan diberikan ke warga beragama Hindu.
.