Mohon tunggu...
I Nyoman  Tika
I Nyoman Tika Mohon Tunggu... Dosen - Dosen
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

menulis sebagai pelayanan. Jurusan Kimia Undiksha, www.biokimiaedu.com, email: nyomanntika@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ade Armando, Flawed Democrazy dan Rezim Hibrida

12 April 2022   10:57 Diperbarui: 12 April 2022   11:10 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ade Armando, babak belur,  mukanya bonyok,  adalah sebuah tanda, bahwa demokrasi kita masih sarat dengan kekerasan. Pertanyaan sederhana muncul,  masih diperlukan transformasi berapa lagi agar bisa demokrasi berjalan  damai?   Sebab, Kemenangan yang di capai dengan kekerasan adalah kekalahan dan itu hanya sesaat. 

Kita bisa belajar dari kata-kata  Mahatma Gandhi, Saya tidak menyukai kekerasan, karena ketika kekerasan digunakan untuk melakukan kebaikan, kebaikan itu hanyalah sementara; kejahatan yang dilakukannya permanen.

Menyaksikan berita, Ade Armando, Dia ibaratnya seekor domba  berada di wilayah srigala lapar. Ada orang tak suka padanya, karena dia kerap kritis, dan memang lebih banyak  logika-logika gayut dengan Jokowi, nyanyian serempak  seakan dia adalah  bagian Jokowi atau pemerintahan saat ini. Di sebagian orang banyak yang  tak sejalan, Ade Armando layak untuk  di habisi. Namun kejadian pengroyokan itu, sangat popular, menghilangkan essensi penting dari tujuan demo seseungguhnya.  

Ade Armando sebuah martil, bak Abimanyu dalam perang Mahabarata di Kurukestera. Abamanyu tewas mengenaskan dikeroyok Kurawa, namun Ade Armando, selamat dengan dengan setengah telanjng,  idenyanya dibantai,  logikanya diuji, daN TERNYATA,  pendemo memang tak paham logikanya. Artinya, public  masih perlu puluhan , atau bahkan jutaan episode  konten logika nya  agar beredemo bisa damai.

Maka ta khayal  konten-koten logika Ade Armando harus mampu masuk kea rah hati public,  dan menghilangkan kekotoran hati pikiran  publik.  "Mereka yang bebas dari pikiran kebencian pasti menemukan kedamaian." Persoalan apapun pasti bisa dibicarakan. Perbedaan adalah hal yang wajar, selama tidak saling menyakiti, perdamaian masih bisa diwujudkan. Percayalah bahwa, Satu menit kesabaran dapat menghasilkan sepuluh tahun perdamaian.

 Padahal Ade Armando justru ingin menyuarakan demokrasi, seide dengan BEM SI, toh  bencana pengroyokan itu terjadi, demo yang mengatasnamakan mahasiswa. Kejadian ini sesungguhnya menyiratkan dua persoalan. 

Pertama, benarkah mahasiswa yang demo, kalau mahasiswa koq seperti itu perilakunya, kalau ini benar, maka ada yang salah di dunia kampus?  Kedua, kekerasan yang dilakukan pendemo, yang sejatinya demonstrasi  diperbolehkan dalam iklim demokrasi, ternyata membuat demokrasi itu seakan cacat , bopeng, karena demonstrasi rusuh, dan Ade Armando menjadi korban.

Disana sedang dikabarakan bahwa demonstrasi di negeri ini, masih bersifat amuk, dan kekerasan adalah  ciri khasnya. Maka benar tesis  bahwa demokrasi    yang    cacat    (flawed democracy) masih menyelimuti Indonesia. Kejadian ini  menguatkan data-data tentang demokrasi di Indonesia

Sebagai gambaran, bahwa Demokrasi Indonesia  menurun pada tahun 2021. Setelah meninjau tiga laporan dari Indeks Demokrasi 2020 oleh The Economist Intelligence Unit (EIU), Indeks Demokrasi Indonesia di 2019 oleh Badan Pusat Statistik dan Demokrasi Indonesia Laporan Tahun 2021 oleh V-Dem Institute,  Itu  tampaknya tiga laporan telah menunjukkan penurunan yang signifikan, tidak hanya pada kebebasan sipil dan politik budaya tetapi juga pluralisme dan fungsi pemerintahan. 

Kedua laporan tersebut menggarisbawahi kebebasan  sipil  sebagai titik sentral dari kemunduran demokrasi. Laporan sebelumnya menempatkan Indonesia di urutan ke-64 dari 167 negara, sedangkan yang terakhir , yang memberi bobot lebih pada kebebasan berbicara, mendapat skor 64,29 poin tahun 2019, turun 1,88 poin dibandingkan tahun 2018 sebesar 66,17 poin.1 Terakhir, Institut V-Dem menempatkan Indonesia di peringkat 73 dari 179 negara dalam hal indeks demokrasi liberal.2  Singkatnya, ketiganya laporan telah mengisyaratkan penurunan tingkat demokrasi Indonesia, dari "demokrasi elektoral" menjadi "demokrasi yang cacat". 

Artinya, pemilu yang kita lakukan tidak berhubungan dengan apa sejauh mana pemimpin terpilih dapat memenuhi janji kepada pemilih mereka. Janji itu sendiri secara khusus merujuk pada bagaimana pemimpin mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat (No. 27 / 09 June 2021 www.habibiecenter.or.id)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun