Mohon tunggu...
I Nyoman  Tika
I Nyoman Tika Mohon Tunggu... Dosen - Dosen
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

menulis sebagai pelayanan. Jurusan Kimia Undiksha, www.biokimiaedu.com, email: nyomanntika@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Semangat, Jangan Menunda-nunda Pekerjaan!

20 Juli 2021   10:21 Diperbarui: 20 Juli 2021   10:29 713
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sore itu mentari bersinar terang, saya berada di tepi sawah yang menghijau. Seseorang  datang mengeluh KE SAYA. dia belum di vaksin, padahal jadwal kerja  berangkat ke kapal pesiar sudah pasti dan tidak bisa ditunda.  Dia menyesal karena kalau dia vaksin saat ini di negara tujuan dia harus dikarantina 14 hari, namun  kalau jadwal vaksin kedua , lebih dari dua minggu, maka dia otomatis dipulangkan.

Rugi banyak, biaya, waktu dan moril. Alasannya sederhana, saya menunda-nunda kesempatan vaksin. Akhirnya masalah ini timbul. Sering menunda pekerjaan sesungguhnya sedang membangun lobang untuk diri sendiri, juga dapat merugikan orang lain.

Orang itu tidak sendirian pastinya, kita kerap suka menunda-nunda pekerjaan, senang bekerja pada saat kepepet, atau limit waktu, sehingga pekerjaan itu dibuat terburu-buru, sudah dapat diduga kualitasnya sering tidak bagus. Tentu penyesalan selalu datang terlambat.

Menunda-nunda pekerjaan disebut juga dengan istilah "procrastination" Sebuah istilah yang dimaknai sebagai perilaku lari dari tanggung jawab atas tugas yang menanti mereka. 

Tersimpan perasaan takut atau cemas, sehingga untuk mengurangi hal tersebut, mereka memilih melakukan kesenangan yang memberi kepuasan sementara (gratifikasi)., atawa  membijaksanai diri dengan mencari kambing hitam.

Procrastination nyatanya menjadi persoalan banyak orang. Saat memiliki tugas yang segera mesti diselesaikan, sering kita justru memilih mengerjakan hal lain yang seharusnya dikesampingkan. Tentu termasuk saya kerap demikian, lebih senang mengerjakan hal lain , yang lebih santai , orang bilang kalau bekerja perlu mood yang baik, kerap kondisi itu susah juga hadir setiap waktu.

Paling tidak ada dua alasan dasar mengapa orang gemar menunda-nunda pekerjaan. Pertama, merek yang melakukan penundaan pekerjaan itu, disebabkan mereka sering  merasa berada pada kondisi  dimana  suasana hati yang tak  mendukung  saat mengerjakan tugas. Kedua, ada asumsi yang meyakini  diri mereka bahwa  bad mood  bisa berubah setiap saat atau dalam waktu  dekat. 

Padahal,  pekerjaan yang terasa berat akan bisa dilakukan secara perlahan -lahan dengan tekun, artinya tidak usah merasa harus dalam situasi hati tertentu untuk bisa  mulus  melakukan pekerjaan.

Selaku dosen, Saya selalu berhadapan dengan tiga kategori mahasiswa, ada yang rajin banget, ada yang santai dan ada yang lelet,. Jenis ketiga merupakan mahluk langka tapi ada sampai dikejar-kejar, agar segera menyelesaikan skripsi atau tesisnya, agar tidak DO. Untuk kasus mahasiswa terakhir, justru, sering menghindar , tidak angkat telepon ketika dihubungi,   sehingga skripsinya dan tugas- akhirnya  "nganceng" (bahasa bali, dan orang Bule menyebutnya" stuck so as not to be able to move).

Ketika diminta segera, banyak alasan, dan saat waktu tinggal sedikit karena terancam DO, atau bayar SPP, maka mereka semua kebut semalam, pontang-panting memburu dosen pembimbing, Dosen pembimbing serba salah.

Toleransi atau idealisme keduanya merebut posisi di pihak dosen. 

Toleransi memikirkan kelelahan , materi  dan waktu sudah banyak keluar. Toleransi atas kejadian ini, adalah berdamai dengan situasi, sebab jika idealisme akan  mengancam akreditasi dan lain -lain. Idealisme, memang bagus, maka jurusan/program studi bisa sepi peminat. 

Kadang mahasiswa nyeletuk dengan santai, " Kalau  sudah tamat, susah mencari kerjaan pak. Cari pekerjaan masih KKN, pakai pupuk TSP pak. Apa itu? tanya saya. Mahasiswa itu berkata,  Tombok, suap pelicin, Beh....?

Ketika melihat demikian, rumit, harus diubah dari mana, revolusi mental kah? atau revolusi akhlak kah? tak ada jawaban yang jelas.  Ini persoalan  diduga karena lama nya mental terjajah.

Namun pengalaman saya, yang pernah memiliki guru atau dosen lintas zaman ( didikan Belanda , Jepang dan masa perang ) memang belaiau sangat  ideal, ketika disodorkan draf tesis atau disertasi, serta dikemukakan  tanggal akhir bayar SPP-nya disebutkan, Dosen pembimbing menjawab , aku tidak mengurusi SPP, aku hanya ingin kamu pekerjaannya bagus, kalau bagus silahkan maju kalau jelek jangan, SPP dan wisuda itu urusan administrasi, pembentukan kompetensi ada padaku. Waduh....

Sejaka itu tak pernah saya menyebutkan lagi hal-hal yang ada kaitannya dengan   SPP atau wisuda. Kita diajarkan untuk  bisa mengukur diri layak atau belum, kalau belum, cari dan coba lagi.

Pada ranah itu, semangat mencari dan mencoba lagi, harus  dibuat menyenangkan sampai lupa waktu, sampai melewati apa itu wisuda apa itu penghargaan dan pujian, sudah lewat, yang penting hasil yang kita capai excellent, sebuah pergolakan kehidupan akademik tanpa beban.

Sampai di sana,  saya menemukan jiwa bermetamorfosis memasuki ekstasa rohani keseimbangan dalam kondisi apapun.

.

Pembimbing saya berkata, bahwa Mahasiswa dan banyak orang melakukan manajemen waktu yang buruk. Rata-rata mahasiswa demikian akan selalu terbawa pada semua sektor yang dia kerjakan nantinya. Menunda pekerjaan menjadi problem banyak orang. Bahkan, bagi sebagian orang , menunda pekerjaan menjadi  kebiasaan rutin. Tapi bukan berarti tak ada cara menanggulanginya.

Sebagai bahan perbandingan, kondisi demikian telah banyak diteliti orang, Misalnya, Penelitian yang pernah dilakukan Laura J. Salomon dan Esther D. Rothblum dari University of Vermont pada 1984. Diketahui bahwa  ada sebanyak  342 mahasiswa diteliti untuk mengetahui frekuensi penundaan yang mereka biasa lakukan. Sebanyak 46 persen responden menyebut mereka selalu atau hampir selalu menunda pengerjaan tugas, 27,6 persen menunda belajar untuk ujian, dan 30,1 persen menunda tugas membaca mingguan.

Akibatnya diketahui bahwa  mahasiswa yang  menunda pekerjaan umumnya memiliki nilai di akhir semester  lebih rendah dibandingkan yang lain. Itu menunjukkan bahwa menunda pekerjaan akhirnya menjadi gaya hidup,   sehingga hasil yang dicapai  tidak maksimal, bukan karena kurang kemampuan .

Penelitian yang dilakukan  oleh Flett, G. L. dkk . (1992) yang termuat dalam "Social Behavior and Personality: an international journal" Hasil penelitian itu  menunjukkan bahwa menunda-nuda berkaitan erat  dengan dimensi perfeksionisme yang ditentukan secara sosial yang paling erat berkorelasi dengan penundaan umum dan penundaan akademik, terutama di kalangan laki-laki.

Menjadi seorang perfeksionisme menjadi faktor utama penundaan. Perfeksionisme adalah keyakinan bahwa seseorang harus menjadi sempurna untuk mencapai kondisi terbaik pada aspek fisik ataupun non-materi.

Untuk itu, Michael Jackson  pernah berkata, " Seorang perfeksionis harus menggunakan waktunya. Jangan selalu menunggu waktu yang tepat untuk melakukan hal yang baik. Segala sesuatu memang tak mudah, tapi setidaknya itu tak sia-sia."

Misalnya, perfeksionisme dan penundaan terkait dengan peningkatan dukungan keyakinan irasional (Beswick, Rothblum, & Mann, 1988; Flett, Hewitt, Blankstein, & Koledin, 1991). 

Demikian pula, tautan diharapkan berdasarkan fakta bahwa penundaan dan perfeksionisme terkait dengan ketakutan berlebihan akan kegagalan (Flett, Hewitt, Blankstein, & Mosher, 1991; Solomon & Rothblum, 1984).

Wang dkk (2021), menemukan bahwa penundaan telah diakui sebagai intisari dari kegagalan  dalam pengaturan dan penataan  diri. Strategi kepemimpinan diri beroperasi dalam konteks teoretis yang lebih luas dari pengaturan diri dan mewakili seperangkat strategi pelengkap yang dirancang untuk meningkatkan proses pengaturan diri. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa mempraktikkan strategi kepemimpinan diri relatif dapat mengurangi penundaan siswa

Yang, X., Zhu, J., & Hu, P. (2021) menunjukkan  hasil penelitiannya bahwa dukungan sosial yang dirasakan, akan  memainkan peran penting dalam mengurangi penundaan.

Namun, sedikit yang diketahui tentang mekanisme psikologis yang mendasari hubungan ini. Studi ini memberikan wawasan baru untuk mekanisme antara dukungan sosial yang dirasakan dan penundaan, yang memiliki implikasi praktis penting untuk intervensi penundaan mahasiswa.

Sebagai kesimpulan, saya pesankan:  Sebab Tanah dengan banyak kotoran di dalamnya menghasilkan tanaman berlimpah; air yang terlalu jernih tidak memiliki ikan. 

Oleh karena itu, orang yang tercerahkan harus menjaga kapasitas untuk menerima ketidakmurnian dan tidak harus menjadi perfeksionis soliter. Dunia nyata tidak menghargai perfeksionis. Ini memberi penghargaan kepada orang-orang yang menyelesaikan sesuatu. Kesenangan dalam pekerjaan menempatkan kesempurnaan dalam pekerjaan. Salam rahayu, Selamat Hari Raya Idul Adha, bagi sobat yang merayakannya ****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun