Mohon tunggu...
I Nyoman  Tika
I Nyoman Tika Mohon Tunggu... Dosen - Dosen
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

menulis sebagai pelayanan. Jurusan Kimia Undiksha, www.biokimiaedu.com, email: nyomanntika@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Lembu Cemeng di Acara Ngaben itu

31 Januari 2021   00:55 Diperbarui: 31 Januari 2021   01:43 2092
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ibu itu, memakai pakaian putih-putih, duduk dengan menitikkan air mata, tampak rasa duka, masih sangat dalam menyelimuti wajahnya, kehilangan sang suami yang dicintainya. Hari itu jazad suami akan di aben, untuk menuju alam sunya.

Air matanya, adalah tanda bahwa kesedihan bagian dari kehidupan, Narasi berkembang, Walaupun raga telah terpisahkan oleh kematian, namun cinta sejati tetap akan tersimpan secara abadi di relung hati. Kematian, adalah peristiwa tercepat, yang menjadikan segalanya tinggal sejarah.

Dalam dimensi kesedihan, ibu itu tetap yakin bahwa ngaben itu, menjadi sebuah titik kulminasi perjalanan kehidupan suaminya. Identik seperti yang diyakini umat Hindu di Bali lainnya. Sebab ngaben adalah aktivitas ritual pembakaran jasad untuk menyucikan roh menuju ke tempat peristirahatan terakhir. Maka terkadang kita tak tahu betapa berartinya sesuatu sampai ia menghilang."

Walaupun sedih, namun Ibu itu masih terhibur jua bahwa, dengan ngaben sang suami akan terbebaskan dari keterbatasan badan yang tersusun oleh sang panca maha buta: kelima unsur penyusun tubuh, stula sarira itu, yakni : api, pertiwi, bayu, air , akasha.

Panca maha buta itu, sang penyusun tubuh memang sangat kontradiksi, unsur-unsur itulah yang menyusun manusia, dengan kadar yang bervariasi dalam tubuh manusia.

Akibatnya tak mudah, tentu untuk menemukan manusia yang bijak dan sempurna.

Dibingkai itu, Kalau api yang dominan, maka pemarah lah dia, namun kalau air yang lembut, dan cenderung dianggap lemah, maka yang sangat diharapkan adalah keseimbangan kelima unsur itu. Perpaduannya seharusnya menghasilkan persenyawaan baru sang jiwa dengan badan yang harmoni.

Dan, dari sana, pilihan proses peleburan badan menunjukkan jenis sarana ngaben itu. Ngaben (kremasi ) dengan api (agni) , atau mengubur menyatu ke pertiwi, atau hanya didudukkan di bawah pohon atau digantung (tanpa di kubur) menyatu dengan angin. Tradisi itu terus berkembang hingga kini, dan tak ada yang satu tinggi yang lain rendah, semuanya sama.

Ibu itu yakin perjalanan suaminya, kini menjadi jalan mulus reformasi ngaben di warga itu, sebab kini adalah prosesi yang semakin disadari makna dan hakikatnya. Ngaben dahulu sebanding dengan aktivitas, " ngabehin", artinya berlebih, kalau tidak punya banyak membutuhkan uang, bukan ngaben namanya, atau ngabein (membawakan), atau membekali, sang yang mati, haruslah dibekali dengan serba wah, Dan, yang lebih sering ngabeten (ngayud keteben yang lebih banyak ) lebih banyak ke arah bawah artinya di wilayah perut (maksudnya makan dan minum ) layaknya pesta, sehingga habis banyak materi, sehingga dapat melahirkan "kemiskinan".

Namun sekali lagi itu dahulu, kini ngaben sudah bermetamorfosis bahwa perjalanan roh memang sangat berkaitan dengan "karma" yang dilakukannya di mayapada, yang akan mendampinginya selama perjalanan yang panjang menyatu dengan Yang menciptakannya"

Akibatnya, ngaben harus tidak memberatkan, karena semua pasti mengalaminya, maka ngaben itu seringan dan membuat jiwa bersatu dengan Hyang Maha kasih, dengan perasaan bahagia, bisa melakukannya dengan tanpa menjadi beban kehidupan generasi penerusnya. Ngaben menjadi ritual yang penuh keikhlasan, tanpa mengurangi esensi nya.

dokpri
dokpri
Namun ngaben yang ikhlas, dan mudah, sederhana, memang tidak mudah, karena ngaben kerap terjebak 'menjadi prestise, memasukkan relasi antara derajat sosial sesorang, sehingga ngaben memasuki wilayah 'berdimensi jamak' antara status dan spiritual' menganga yang kerap menjebak umat Hindu di Bali, dengan halus dan pelan namun pasti' adalah proses memiskinkan' karena banyak tanah warisan harus di lego ' karena satu alasan "ngaben' itu.

Walaupun sisa hasil penjualan warisan, digunakan untuk yang lain, dan malah sering masuk ke arena judi dan kafe, maka tetap saja 'ngaben menjadi kambing hitam, yang  seakan mengesahkan ' untuk tujuan-tujuan lain.

Banyak, para reformis keagamaan di Bali, yang menyarankan bahwa tradisi yang membuat umat miskin 'harus ditinggalkan, dan direformasi, maka muncullah adagium jenis ngaben dan besarnya banten 'tidak merupakan tiket VIP untuk memasuki surga ' tetap saja karma seseorang di dunia ini yang menentukan' Maka silogisme nya muncul, "Kalau jenis ngaben, dan besarnya biaya ngaben itu yang menentukan masuk surga, maka 'surga akan diisi oleh orang kaya semata'

Ngaben membutuhkan setra (tanah kuburan) , ini kemudian kerap mencederai umat Hindu, karena setra kerap bukan untuk orang rantau yang tidak ikut mengusung adat di desa itu, maka sengketa tentang mayat ditolak desa pekraman pernah muncul di Bali, dan sering.

Itu sebabnya, krematorium menjadi solusi atas kekakuan adat. Tradisi kremasi di rumah duka menjadi hal baru dan diterima dengan cepat oleh orang Bali Hindu, Krematorium yang dibangun oleh yayasan -yayasan yang peduli akan nasib orang-orang diperantauan, seakan menjadi oase yang menyejukkan bagi umat Hindu, Apalagi COVID-19 membuat kremasi menjadi jalan tol untuk ngaben yang efisien. Tradisi ngaben pun menyesuaikan dengan zaman.

Ibu itu, lalu tersenyum kesedihannya berkurang, ketika memandang sarana yang dipakai (pesarean) atau kendaraan yang dipakai prosesi ngaben itu memang baru, yakni lembu hitam. Lembu yang gagah, sebab baru kali ini klan di wilayah itu menggunakan 'lembu' sebelumnya menggunakan ' Macan' gading (harimau keemasan) keduanya tak jauh berbeda dari sisi hakikat.

Lembu, adalah salah satu kendaraan Dewa Siwa, Nandini, namun warnanya dibuat 'cemeng' atau kehitaman, seperti titah Ida Dalem Ketut Ngelesir  (raja di Bali) pada klan Keturunan Ida Dalem Tarukan' yang kini menjadi klan besar di Bali dengan Nama "Warga Pulasari"

Sedangkan macan gading itu, ' juga tempat digunakan Dewa Mahadewa, sebagai alas meditasi' tentu tidak jauh berbeda.

Kata tetua yang dipercaya turun temurun, penggunaan macan gading sejatinya adalah salah satu bentuk hormat warga pulasari di 'Abian kangin itu, pada puri Klungkung, supaya 'tidak menyamai' kewibawaan raja, (made-made sang angawe rat), begitulah diyakini sampai hari ini, namun perubahan zaman dari kerajaan ke republik, dengan demokrasi semuanya 'kembali ke kitab suci.

Namun di tempat lain Warga Pulasari, telah lama sekali menggunakan lembu cemeng sesuai 'prasasti' babad dalem Tarukan'. Walau demikian di Abian kangin yang dekat dengan Puri Satria Kawan, masih enggan mengubahnya., dan baru kali ini perubahan itu terjadi

Ketika lembu yang gagah digunakan, semua warga bangga, seakan belenggu pembebasan pikiran sirna, sebab trah raja di Bali sudah terbuka dan 'layak disandang dan di akui" tentu kebanggaan bukan ditataran hampa, harus dengan bakti, prestasi dan menjadi orang baik, seperti yang pernah dilakukan para leluhur dahulu.

Sayang, Covid-19 membuat Arak-arak Lembu menuju setra, harus memenuhi protokol kesehatan. Anak-anak muda itu menggotong nya tanpa suara gamelan beleganjur yang keras, namun berjalan lembut hanya suara teriakan-teriakan yang menggema. Walaupun begitu, proses ngaben itu berjalan lancar dan tertib.

Ibu, bersama anak dan para cucu mereka membawa api suci, di hujung jenazah sang suami, yang telah terbungkus oleh tubuh sang lembu. Api menjilat dengan cepat, dan membuat jenazah sang suami menjadi abu, kemudian abunya itu ditabur ke laut selatan bersatu dengan gelombang besar samudera India.

Selamat menuju alam damai" pun berbisik sendu dari hati yang paling dalam, kini hanya kenangan dalam benak ada bersamanya. *****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun