Walaupun sisa hasil penjualan warisan, digunakan untuk yang lain, dan malah sering masuk ke arena judi dan kafe, maka tetap saja 'ngaben menjadi kambing hitam, yang  seakan mengesahkan ' untuk tujuan-tujuan lain.
Banyak, para reformis keagamaan di Bali, yang menyarankan bahwa tradisi yang membuat umat miskin 'harus ditinggalkan, dan direformasi, maka muncullah adagium jenis ngaben dan besarnya banten 'tidak merupakan tiket VIP untuk memasuki surga ' tetap saja karma seseorang di dunia ini yang menentukan' Maka silogisme nya muncul, "Kalau jenis ngaben, dan besarnya biaya ngaben itu yang menentukan masuk surga, maka 'surga akan diisi oleh orang kaya semata'
Ngaben membutuhkan setra (tanah kuburan) , ini kemudian kerap mencederai umat Hindu, karena setra kerap bukan untuk orang rantau yang tidak ikut mengusung adat di desa itu, maka sengketa tentang mayat ditolak desa pekraman pernah muncul di Bali, dan sering.
Itu sebabnya, krematorium menjadi solusi atas kekakuan adat. Tradisi kremasi di rumah duka menjadi hal baru dan diterima dengan cepat oleh orang Bali Hindu, Krematorium yang dibangun oleh yayasan -yayasan yang peduli akan nasib orang-orang diperantauan, seakan menjadi oase yang menyejukkan bagi umat Hindu, Apalagi COVID-19 membuat kremasi menjadi jalan tol untuk ngaben yang efisien. Tradisi ngaben pun menyesuaikan dengan zaman.
Ibu itu, lalu tersenyum kesedihannya berkurang, ketika memandang sarana yang dipakai (pesarean) atau kendaraan yang dipakai prosesi ngaben itu memang baru, yakni lembu hitam. Lembu yang gagah, sebab baru kali ini klan di wilayah itu menggunakan 'lembu' sebelumnya menggunakan ' Macan' gading (harimau keemasan) keduanya tak jauh berbeda dari sisi hakikat.
Lembu, adalah salah satu kendaraan Dewa Siwa, Nandini, namun warnanya dibuat 'cemeng' atau kehitaman, seperti titah Ida Dalem Ketut Ngelesir  (raja di Bali) pada klan Keturunan Ida Dalem Tarukan' yang kini menjadi klan besar di Bali dengan Nama "Warga Pulasari"
Sedangkan macan gading itu, ' juga tempat digunakan Dewa Mahadewa, sebagai alas meditasi' tentu tidak jauh berbeda.
Kata tetua yang dipercaya turun temurun, penggunaan macan gading sejatinya adalah salah satu bentuk hormat warga pulasari di 'Abian kangin itu, pada puri Klungkung, supaya 'tidak menyamai' kewibawaan raja, (made-made sang angawe rat), begitulah diyakini sampai hari ini, namun perubahan zaman dari kerajaan ke republik, dengan demokrasi semuanya 'kembali ke kitab suci.
Namun di tempat lain Warga Pulasari, telah lama sekali menggunakan lembu cemeng sesuai 'prasasti' babad dalem Tarukan'. Walau demikian di Abian kangin yang dekat dengan Puri Satria Kawan, masih enggan mengubahnya., dan baru kali ini perubahan itu terjadi
Ketika lembu yang gagah digunakan, semua warga bangga, seakan belenggu pembebasan pikiran sirna, sebab trah raja di Bali sudah terbuka dan 'layak disandang dan di akui" tentu kebanggaan bukan ditataran hampa, harus dengan bakti, prestasi dan menjadi orang baik, seperti yang pernah dilakukan para leluhur dahulu.