Mohon tunggu...
Inung Kurnia
Inung Kurnia Mohon Tunggu... Penulis - Gemar berbagi kebaikan melalui tulisan

Ibu dari Key dan Rindang

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Artikel Utama

Kereta Api Riwayatmu: Dari Zaman Semrawut Sampai Akhirnya Tertata

5 Oktober 2022   14:53 Diperbarui: 6 Oktober 2022   16:15 1394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kereta api eksekutif (Dok. KAI)

Pernah mengalami zaman tidak nyaman naik kereta api. Tiket dijual tidak sesuai kapasitas. Satu gerbong yang hanya menyediakan 80 kursi misalnya, ternyata diisi 100 penumpang. Walhasil, dari lorong, kolong, sambungan gerbong hingga toilet pun berisi penumpang.

Saya tidak inget persis tahun berapa itu. Cuma saya ingat, itulah pertama kali saya ke Jakarta dan naik kereta. 

Waktu itu saya ke Jakarta dalam rangka liburan sekolah, hendak mengunjungi om dan tante yang tinggal di Manggarai, Jaksel. Saya masih kelas IV SD kalau tidak salah.

Penumpang yang beli tiket dan punya nomor tempat duduk tidak dijamin aman dan nyaman. Karena bisa saja sandaran tangan kursinya dibuat duduk sama penumpang lain. Atau dikolong bangkunya ada penumpang lain yang mencoba berbaring beralaskan koran.

Soal lorong gerbong kereta? Jangan ditanya seperti apa kumuhnya. Selain digunakan untuk tiduran atau duduk penumpang yang tidak kebagian kursi, lorong gerbong penuh dengan kardus, tas, juga pedagang kaki-5. Mirip pasarlah. Kumuh dan tidak teratur.

Copet pun leluasa untuk lalu lalang di gerbong, mencari mangsa. Oh ya soal copet ini, saya pernah dibuat geram. 

Ceritanya, kedua orangtua saya naik kereta hendak ke Jakarta. Tiba di stasiun Cirebon, naik segerombolan copet. Mendadak tas tangan ibu ditarik pencopet. Reflek bapak yang ada di sampingnya pun mencoba mengejar copet. Saat itu kereta sudah mulai meninggalkan stasiun Cirebon. 

Entah bagaimana ceritanya, bapak saya kok terus mengejar hingga keluar gerbong dan loncat ke luar mengikuti jejak sang copet. 

Meski tas tangan berhasil direbut kembali, tetapi pelipis dan tangan berdarah akibat loncat dari gerbong kereta. Melihat ada penumpang yang jatuh dari gerbong, kereta pun berhenti. Akhirnya bapak dibawa ke RS terdekat ditemani ibu.

Naik kereta bersama sikecil pada momen lebaran (ist/dokpri)
Naik kereta bersama sikecil pada momen lebaran (ist/dokpri)

Ketika itu komunikasi masih sulit. Tetapi melalui sambungan telepon dari petugas di stasiun kereta Cirebon ke telpon kantor, akhirnya saya meluncur menjemput orangtua. Bersyukur lukanya ringan sehingga tidak harus rawat inap berhari-hari. Kenangan pahit.

Saya memang akhirnya harus mukim di Jakarta. Selain karena pekerjaan, kebetulan saya bertemu jodoh orang Jakarta. Jadi sejak itu urusan mudik lebaran jadi agenda tetap setiap tahun.

Nah saya masih mengalami bagaimana orang naik kereta api lebaran, berebut melalui jendela. Sekali lagi, tiket masih dijual melebihi kapasitas kursi.

Saya tidak hanya melihat di televisi bagaimana orang berebut naik kereta melalui kendela. Saya bahkan melihat sendiri di stasiun Senen. Duh, serem banget deh.

Padahal untuk mereka yang mau dapat kursi, juga harus berjuang, rela begadang di stasiun, menunggu loket penjualan tiket dibuka. Dari dinihari calon penumpang sudah antre depan loket, mengular dengan aroma keringat yang aduhai.

Dan suatu malam, kebetulan saya ditugasi oleh kantor untuk memantau stasiun Gambir menjelang sepekan lebaran. Waktu itu jam menunjukkan pukul 12 malam. Stasiun sudah penuh orang yang antre untuk membeli tiket kereta api. Padahal seingat saya, loket dibuka pada pagi harinya sesuai jam kantor. Antrean loket tiket kadang sampai meluber hingga luar stasiun. Bisa dibayangkan bagaimana situasi di stasiun.

Enaknya zaman sekarang beli tiket tidak perlu antre di stasiun (dokpri)
Enaknya zaman sekarang beli tiket tidak perlu antre di stasiun (dokpri)

Ketika zamannya mendapat tiket kereta api sesulit itu, terus terang saya tidak pernah naik kereta api kalau mudik lebaran. Saya lebih suka memesan travel jauh hari sebelumnya atau bus antar kota antar propinsi di Pulo Gadung. Meski untuk naik bus, acapkali harus rela terjebak macet panjang di sepanjang jalur pantura. Tidak ada pilihan, yang penting bisa mudik lebaran.

Lalu, zaman kenyamanan itu pun tiba. Sekian tahun kemudian, pembenahan dilakukan secara besar-besaran oleh PT KAI. Penumpang lebih tertib, tiket kereta dijual sesuai jumlah kursi, dan pembelian tiket bisa dilakukan tidak harus di stasiun pemberangkatan. Bahkan kemudian tiket bisa dipesan melalui agen travel dan online. Semua seperti sekejap, perubahan itu begitu cepat.

Meski saya mengikuti perubahan layanan PT KAI tersebut tidak serta merta saya menggunakan moda kereta api ketika mudik lebaran.

Saya memilih membawa mobil pribadi agar bisa leluasa membawa oleh-oleh, sekaligus bisa menyulap kursi tengah menjadi tempat tidur bagi anak-anak. Situasi tersebut berlangsung sekitar 7 atau 8 tahunan. 

Hingga kemudian, sekali waktu saya terjebak macet panjang di Brebes saat arus mudik lebaran pada puncaknya. Tidak tanggung-tanggung, untuk jarak yang biasanya saya tempuh 12 jam, saat itu saya menghabiskan waktu 54 jam. Saya, suami dan anak-anak terpaksa shalat Idulfitri di tengah perjalanan. Lelah? Jangan ditanya lagi. anak-anak juga rewel dan mengalami trauma.

Lalu, sejak saat itu, saya kembali melirik moda angkutan kereta api. Saya memilih kereta api dengan pertimbangan bebas macet dan waktu tempuh bisa diprediksi. Anak-anak juga jauh lebih nyaman.

Problemnya, peminat kereta api membludak. Walhasil setiap mau mudik, saya harus berburu tiket jauh hari sebelumnya. Begadang tengah malam dengan dua atau tiga gawai di tangan. Paket data cukup, dan mata pun kondisi seger. Berebut tiket yang dijual secara online.

Pernah gagal mendapatkan tiket sebelum lebaran tiba. Tetapi ketika meminta bantuan teman yang milenial, paham trik berebut tiket online, alhamdulillah saya selalu dapat tiket kereta sebelum lebaran. Saya dan anak-anak bisa menikmati perjalanan mudik dengan nyaman, meski seringkali pulang dalam kondisi sedang puasa Ramadhan.

Saya adalah satu dari sekian banyak generasi yang mengalami zaman suram dan semrawutnya layanan kereta api, hingga kemudian tiba zaman kenyamanan. Bahagia rasanya menjadi bagian dari saksi sejarah perjalanan kereta api Indonesia...

Mampang Prapatan 5 Oktober 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun