Pernah mengalami zaman tidak nyaman naik kereta api. Tiket dijual tidak sesuai kapasitas. Satu gerbong yang hanya menyediakan 80 kursi misalnya, ternyata diisi 100 penumpang. Walhasil, dari lorong, kolong, sambungan gerbong hingga toilet pun berisi penumpang.
Saya tidak inget persis tahun berapa itu. Cuma saya ingat, itulah pertama kali saya ke Jakarta dan naik kereta.Â
Waktu itu saya ke Jakarta dalam rangka liburan sekolah, hendak mengunjungi om dan tante yang tinggal di Manggarai, Jaksel. Saya masih kelas IV SD kalau tidak salah.
Penumpang yang beli tiket dan punya nomor tempat duduk tidak dijamin aman dan nyaman. Karena bisa saja sandaran tangan kursinya dibuat duduk sama penumpang lain. Atau dikolong bangkunya ada penumpang lain yang mencoba berbaring beralaskan koran.
Soal lorong gerbong kereta? Jangan ditanya seperti apa kumuhnya. Selain digunakan untuk tiduran atau duduk penumpang yang tidak kebagian kursi, lorong gerbong penuh dengan kardus, tas, juga pedagang kaki-5. Mirip pasarlah. Kumuh dan tidak teratur.
Copet pun leluasa untuk lalu lalang di gerbong, mencari mangsa. Oh ya soal copet ini, saya pernah dibuat geram.Â
Ceritanya, kedua orangtua saya naik kereta hendak ke Jakarta. Tiba di stasiun Cirebon, naik segerombolan copet. Mendadak tas tangan ibu ditarik pencopet. Reflek bapak yang ada di sampingnya pun mencoba mengejar copet. Saat itu kereta sudah mulai meninggalkan stasiun Cirebon.Â
Entah bagaimana ceritanya, bapak saya kok terus mengejar hingga keluar gerbong dan loncat ke luar mengikuti jejak sang copet.Â
Meski tas tangan berhasil direbut kembali, tetapi pelipis dan tangan berdarah akibat loncat dari gerbong kereta. Melihat ada penumpang yang jatuh dari gerbong, kereta pun berhenti. Akhirnya bapak dibawa ke RS terdekat ditemani ibu.