Hingga kemudian, sekali waktu saya terjebak macet panjang di Brebes saat arus mudik lebaran pada puncaknya. Tidak tanggung-tanggung, untuk jarak yang biasanya saya tempuh 12 jam, saat itu saya menghabiskan waktu 54 jam. Saya, suami dan anak-anak terpaksa shalat Idulfitri di tengah perjalanan. Lelah? Jangan ditanya lagi. anak-anak juga rewel dan mengalami trauma.
Lalu, sejak saat itu, saya kembali melirik moda angkutan kereta api. Saya memilih kereta api dengan pertimbangan bebas macet dan waktu tempuh bisa diprediksi. Anak-anak juga jauh lebih nyaman.
Problemnya, peminat kereta api membludak. Walhasil setiap mau mudik, saya harus berburu tiket jauh hari sebelumnya. Begadang tengah malam dengan dua atau tiga gawai di tangan. Paket data cukup, dan mata pun kondisi seger. Berebut tiket yang dijual secara online.
Pernah gagal mendapatkan tiket sebelum lebaran tiba. Tetapi ketika meminta bantuan teman yang milenial, paham trik berebut tiket online, alhamdulillah saya selalu dapat tiket kereta sebelum lebaran. Saya dan anak-anak bisa menikmati perjalanan mudik dengan nyaman, meski seringkali pulang dalam kondisi sedang puasa Ramadhan.
Saya adalah satu dari sekian banyak generasi yang mengalami zaman suram dan semrawutnya layanan kereta api, hingga kemudian tiba zaman kenyamanan. Bahagia rasanya menjadi bagian dari saksi sejarah perjalanan kereta api Indonesia...
Mampang Prapatan 5 Oktober 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H