Saya sebenarnya suka jahit menjahit. Waktu masih mahasiswa, sebagian besar baju yang saya pakai itu jahitan sendiri. Senang dan Bahagia rasanya, karena bisa berkreasi baju dengan model yang ada di kepala.
Meski bebas berkerasi, tetapi namanya kantong mahasiswa, tetap tidaklah bebas. Apalagi waktu itu saya kuliah di IKIP, yang notabene tentu harus rapih macem guru.Â
Penggunaan pakaian benar-benar harus diperhatikan. Tidak pakai kaos oblong, tidak pakai sandal apalagi celana jins yang pakai bolong-bolong. Nggak ada ceritanya deh.
Nah karena hobi menjahit, ketika lulus, saya pengen buka konvensi malah pengen punya butik. Cita-citanya mendesain baju-baju yang kekinian.Â
Padahal, saya nggak belajar secara khusus untuk urusan jahit-menjahit ini. Saya punya ketrampilan menjahit karena belajar secara otodidak. Seriusan.
Waktu masih SMP pernah sih, diajarin guru PKK bagaimana membuat pola baju, bagaimana menjahit. Pola baju yang diajarkan mulai dari pola dasar baju atasan, polar ok, pola celana dan lainnya.Â
Hampir lengkap sebenarnya. Selama satu semester belajar bikin pola dan menjahit, meski hanya 2 jam pertemuan tiap minggunya, tetapi itu benar-benar membuat saya terampil menjahit.
Ditambah lagi di rumah memang ada mesin jahit. Ibuku sering menjahit baju-baju yang robek. Iseng saya ikutan bikin baju. Pakai kain sisa, atau kain gendongan yang sudah tidak terpakai. Maklum zaman itu memang orangtua belum bisa kasih fasilitas maksimal untuk mendukung hobi anaknya.
Nah, hasil jahitan saya, ini cerita masih kelas 2 SMP, beberapa kali saya pakai main. Eh ada teman yang jatuh hati dengan modelnya. Lantas minta dijahitin untuk kebutuhan lebaran. Senang dong dapat orderan jahitan.
Cerita soal jahit menjahit loncat lagi ke masa ketika saya lulus kuliah ya. Sehabis wisuda, saya masih sempat berangan-angan untuk terjun ke dunia fashion ini. Pengen kursus menjahit supaya tambah pintar.
Tetapi apa boleh buat, godaan untuk jadi cerpenis lebih besar. Ini gara-gara cerpen saya yang dikirim ke media tetiba pada bermunculan, dimuat bolak-balik. Akhirnya keterusan deh, lupa dengan cita-cita jadi desainer, lupa kepengin buka butik.
Puluhan tahun sampai Akhirnya menikah dan punya anak gadis, baru keingetan dengan cita-cita buka konvensi. Ahaaa..kebetulan pula sang mertua kasih warisan mesin jahit. Meski jadul tapi masih bisa dioperasikan.
Nah kambuh deh hobi jahit menjahitnya. Bikin hordeng jendela untuk kamar anak, bikin rok, bikin baju atasan. Sayangnya, itu cuma bertahan hitungan minggu.Â
Rasa lelah fisik karena menjahit itu ternyata ga mudah pada usia sudah tua, saya pun berhenti. Apalagi begitu tahu ongkos reparasi potong rok dan celana panjang sama tukang jahit keliling cuma lima ribu rupiah.
Habis deh semangat saya untuk melanjutkan cita-cita buka konvensi. Secara saya punya idealism, buka konvensi ya harus bisa jahit sendiri.
Sekali waktu saya minta tolong abang tukang jahit keliling untuk pasang atribut baju seragam bocah, sama reparasi beberapa karet mukena yang sudah pada kendur. Ada barangkali 15 kain. Begitu tanya ongkos, ternyata Cuma 25 ribu. Lha murah amat.
Cita-cita saya buka konvensi dan punya butik sendiri pun makin lenyap ketika suatu hari jalan-jalan ke mall, menemani si gadis beli baju untuk kuliah.Â
Si gadis ambil beberapa potong atasan yang modelnya memang kekinian. Saya nggak terlalu memerhatikan modelnya tetapi yang jelas sopan dan kalem. Nggak pakai rumbai-rumbei apalagi bolong sana bolong sini. Sederhana, lengan panjang dan enak dilihat. Sudah itu saja.
Sekali waktu saya menyetrika baju si gadis yang baru dibeli di mall. Saya baru sadar kalau baju yang dibeli, polanya sudah keluar dari pakem. Terutama pola pada jahitan ketiak. Saya melihat sudah tidak lagi pakai standar bikin ketiak baju sebagaimana dulu saya pelajari.
Saya bilang ini model lengan yang simple, sederhana dan mudah membuatnya. Berbeda dengan pola bikin bolongan ketiak yang saya pelajari. Rumit dan harus dihitung centi per centi, ketinggian lengan dan lainnya. Aduh pokoknya ini bagian paling rumit selain pola leher.
Nah sekarang, beda jauh. Lengan dibikin tidak lagi pakai bolongan yang dihitung pakai angka njelimet dan rumus yang bikin pusing. Baju dan lengan dipasang dengan jahitan lurus. Cuma dari leher sampai bagian jahitan lengan, dibikin sedikit menurun.
Saya mikir, ini revolusi bentuk lobang lengan baju siapa yang mencetuskannya ya? Mudah dan tidak mumet, tapi kok dilihat bagus-bagus saja.Â
Saya tanya ke anak gadis, gimana dipakai di badan, nyaman nggak. Eh katanya nyaman dan pede. Nah lho..Tambah lagi katanya lebih keren karena lengannya jadi lebih longgar.
Si gadis juga cerita, pakai atasan model begitu, anti lengket ke ketiak, jadi tidak memicu bau keringat. Wah bonus dong ya..
Walhasil, dengan berbagai revolusi pembuatan model baju yang demikian, wajarlah kalau sekarang saya mundur teratur. Tidak lagi mimpi buka konvensi, tidak lagi mimpi punya butik.
Saya cukup membeli di pasar Tanah Abang yang modelnya juga kekinian, atau sesekali ke mall besar tapi cari di keranjang diskonan. Sesekali waktu boleh juga cek-cek sale di toko online. Tak perlu lelah menjahit, tak perlu lelah cari ide. Mau model bagaimana, warna apa juga sekarang gampang dicari..
Tapi alasan utama memang karena factor usia. Sudah punya anak gadis yang kuliah semester tiga, fisik saya pun sudah beda jauh dengann ketika baru lulus kuliah. Hahaha..Selamat tinggal mimpi punya butik...
Mampang Prapatan 8 September 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H