Sebab gerakan zero sedotan plastic belum dilaksanakan oleh semua pedagang. Apalagi pedagang kelas UMKM, masih banyak yang menyediakan sedotan plastic dengan alasan menjadi bagian dari pelayanan kepada konsumen.
"Kalau nggak sedia sedotan plastic, bisa-bisa anak-anak pada nggak jajan disini," tutur Wawan pedagang es kelapa muda di bilangan Jalan Pancoran Barat, Jaksel.
Bagaimana pemerintah dalam hal ini KLHK menyikapi banjirnya sampah plastic dari sedotan ini? Â Dirjen Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup, Rosa Vivien Ratnawati,
Dalam sebuah diskusi online bertajuk "Ekonomi Sirkular: Solusi Limbah Plastik Indonesia dan Mitigasi Perubahan Iklim" akhir pekan lalu menyebutkan bahwa persoalan sampah plastik yang tercecer di lingkungan terbuka seharusnya menjadi tanggungjawab semuanya, tidak hanya pemerintah.Â
Sebab pemerintah tidak memiliki system pengawasan hingga ke akar rumput. "Jadi memang harus ada kepedulian semua masyarakat. Ini tugas dan tanggungjawab bersama," kata Rosa.
Ia mengingatkan bahwa dampak sampah plastic termasuk sedotan ini sangat besar bagi lingkungan. Sampah plastic memiliki dampak yang sangat signifikan bagi perubahan iklim global akibat sifatnya yang tidak mudah diurai alam.
Menurut Rosa, perubahan pola pikir dan perilaku dalam pengurangan sampah plastik bisa dimulai dari hal-hal kecil, semisal memilah sampah plastik rumah tangga, sedapat mungkin menggunakan kemasan air minum yang awet dan mengurangi pemakaian kantong kresek sekali pakai. Saat berbelanja, biasakan kita membawa kantong nonplastik. Juga saat jajan, biasakan membawa wadah sendiri.
Meski sampah plastic berbahaya bagi kelestarian lingkungan, Ahli Teknologi Produk Plastik dari Universitas Indonesia, Prof. Dr. Mochamad Chalid, menjelaskan plastik pada dasarnya produk yang "relatif lebih ramah lingkungan" ketimbang kemasan lainnya semisal yang berbasis kertas. Ia mengutip hasil analisis Life Cycle Assessment (LCA) yang menyebut bahwa dalam proses pembuatan produk plastic, energi yang dibutuhkan relative jauh lebih sedikit dan ini juga terkait erat dengan tingkat emisi C02 dan perubahan iklim.
Chalid bilang plastik sejatinya material yang "eksotik", punya banyak keunggulan dari sisi ekonomi, kepraktisan dan pemanfaatan dalam skala masal, meski juga punya kekurangan, utamanya waktu penguraian di alam yang perlu puluhan hingga ratusan tahun alias lebih panjang dari usia manusia pemakainya.
Namun menurutnya, sisi negatif sampah plastik itu bukan persoalan besar andai masyarakat mengadopsi ekonomi sirkular, dimana sampah plastik tak lagi dibuang di penimbunan akhir sampah layaknya sampah organik rumah tangga, namun dipandang sebagai material yang bisa dimanfaatkan kembali dan punya nilai ekonomi tinggi.
"Andai saja konsep Ekonomi Sirkular bisa diadopsi oleh banyak kalangan, persoalan sampah plastik dengan mudah bisa kita atasi bersama," katanya.