Pekan lalu saya mengikuti semacam diskusi tentang sampah plastik yang digelar oleh Universitas Indonesia (UI) kerjasama dengan salah satu perusahaan minuman. Topik ini sangat menarik karena memang berhubungan dengan aktivitas keseharian saya sebagai ibu rumah tangga.
Dalam aktivitas keseharian mulai dari belanja sayuran, belanja online, hingga jajan anak-anak, saya termasuk 'penghasil' sampah plastik. Saya ngaku belum sepenuhnya disiplin membawa wadah sendiri saat jajan makanan, atau membawa tas nonplastik saat berbelanja. Duh semoga ibu-ibu yang lain tidak sama dengan saya ya...
Dalam satu sesi pemaparan, saya sempat tertarik ketika salah seorang narasumber membahas sedotan plastik. Apa istimewanya coba, barang yang kecil, panjangnya juga tak seberapa dengan persoalan sampah plastik?Â
Ternyata meski bentuknya kecil, sekilas juga tidak berharga, tetapi bukan berarti sampah sedotan plastik bisa diabaikan. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan Indonesia dalam setahun menghasilkan setidaknya 93 juta ton sampah sedotan plastik.
Seberapa banyak itu? Seandaikan itu sedotan plastic disambung-sambung, panjangnya bisa jarak Jakarta- Meksiko. Wih banyak sekali ya?
Wajar sih, karena namanya sedotan plastic sangat akrab di tengah masyarakat kita. Beli minuman apapun, mau di pedagang kaki lima, restoran, sampai caf, itu sedotan nyaris ga tertinggal.
Gerakan tanpa sedotan plastic yang digagas pemerintah beberapa tahun lalu, nyatanya tidak berhasil sesuai dengan harapan. Hanya beberapa resto, caf atau rumah makan tertentu saja yang kemudian tidak menyediakan sedotan. Tetapi pedagang minuman yang menyediakan sedotan jumlahnya jauh lebih besar.
Saya masih ingat ketika gerakan zero sedotan plastik digaungkan, itu sedotan pakai ulang berbahan aluminium sempat saya beli beberapa biji. Bahkan sempat juga mengirimkan hadiah seperangkat alat makan lengkap dengan sedotan pakai ulang ini.
Sekali dua kali si anak mau pakai, mau bawa kalau bepergian. Tetapi itu hanya bertahan beberapa pecan saja. Sisanya, kembali ke asal, cari sedotan plastic. Alasannya bawa sedotan aluminium tidak praktis.
Saya pikir, keluarga yang 'gagal' menyadarkan anak-anak untuk terbiasa menggunakan sedotan aluminium tidak hanya saya saja. Ada jutaan keluarga lain yang pasti mengalami serupa. Mengapa ini bisa terjadi?