Cari dokter gigi untuk anak-anak memang tidak mudah.Â
Tak semua dokter gigi menerapkan gaya komunikasi yang baik untuk membuat anak 'jatuh hati' dan mau membuka mulutnya untuk periksa kesehatan gigi.
Padahal berobat ke dokter gigi menjadi salah satu jenis berobat yang ditakuti anak-anak.Â
Mendapati mesin dengan berbagai selang, membayangkan gigi dicabut, ditambal, apalagi layanan gigi kan harus pakai buka mulut dalam waktu yang cukup lama. Itu semua akan membuat anak takut sebelum bertandang ke dokter gigi. Kecuali kalau memang sakit giginya sudah sangat mengganggu.
Itu pula yang terjadi pada anak saya. Trauma yang dialami saat pertama cabut gigi, membuat saya sangat kesulitan membawa anak untuk melalukan pemeriksaan rutin 6 bulanan pasca cabut gigi.Â
Anak selalu menolak dengan alasan giginya sehat-sehat saja. Trauma itu berawal ketika si kecil pada usia kelas 2 SD harus cabut gigi susu karena gigi aslinya sudah nongol.Â
Saya membawanya ke dokter gigi dekat rumah. Karena ini merupakan pengalaman pertama bagi si bocah, wajar saja melihat peralatan dokter gigi pun dia ketakutan. Hingga butuh waktu cukup lama merayunya untuk mau menjalani prosesi cabut gigi.
Barangkali karena menyita waktu yang cukup banyak, si dokter melayani anak saya hampir-hampir tanpa senyum. Layanan diberikan standar, komunikasi dengan anak sama sekali tidak diterapkan. Walhasil sejak saat ini anak saya trauma jika diajak ke dokter gigi.Â
Dua tahun absen, ketika kemudian saya mendapati gigi anak saya geripis warna kecoklatan pada gigi tetapnya. Empat gigi sekaligus. Panik, saya pun mencari klinik dokter gigi lainnya dengan harapan mendapatkan layanan dokter gigi yang lebih ramah dibanding dokter gigi senelumnya.
Alhamdulillah, langkah kaki yang membawa saya menyambangi Klinik Tjikman Idrus Sudarto di jalan Mampang Prapatan Raya, Jaksel tidaklah salah alamat. Dokternya masih muda-muda. Mulai dari dokter gigi umum sampai spesialis orthodonti dan spesialis bedah mulut ada.
Saya membawa anak ke klinik tersebut karena anak sudah mengeluh sakit gigi. Anak saya sudah tidak bisa menolak posisinya.
Seorang dokter gigi, namanya drg Lindi menyambut kami dengan ramah. Ia lantas mengajak anak saya keliling semua ruangan klinik. Mulai dari ruang administrasi, ruang praktik, mushola dan dapur. Dibiarkan anak saya bermain dan menyentuh benda-benda yang dirasa aman. Sekitar 30 menit kemudian, saya diminta membawa si kecil pulang.
"Hari ini si adek cukup mengenal klinik dulu Bu. Tidak ada tindakan apapun. Besok atau kapan pun bisa diulangi datang ke sini untuk hanya bermain. Kalau si adek sudah nyaman, baru saya ambil tindakan," kata drg Lindi waktu itu.
Saya pun membawa anak pulang. Tidak ada biaya apapun, meski dokternya sempat menyisihkan waktu tak sebentar untuk tour ruangan membawa anak saya. Malah saat pulang, drg Lindi memberikan anak saya hadiah sebuah balon.
Hari berikutnya, saya datang lagi. Kali ini komunikasi antara anak dengan dokter gigi sudah mulai terjalin. Begitu cepatnya mereka akrab. Si dokter bahkan mengajak main ke ruang praktik sambil terus mengobrol.Â
Usai adaptasi dengan suasana klinik sekitar 30 menit, drg Lindi baru menawarkan anak saya duduk di kursi pemeriksaan dan anak saya dengan senang hati langsung buka mulut.
Proses pencabutan gigi susu dilakukan dengan nyaman, tanpa ada drama penolakan atau ketakutan. Pulangnya, drg Lindi menyodorkan sekotak mainan. Anak saya disuruh memilih satu atau dua mainan yang paling disukai. Ada balon, buku notes, jepit rambut, pensil, pulpen, dan lainnya.
Kisah itu sudah 10 tahun lalu. Dokter Lindi sendiri kini telah berpulang ke Sang Khalik, pemilik jiwa dan kehidupan. Tetapi keramahannya, gaya melayani pasien, begitu membekas di hati anak saya hingga sekarang.Â
Beruntung, meski drg Lindi telah tiada, rekan sejawatnya di klinik yang sama menerapkan gaya komunikasi yang tak berbeda jauh. Ramah dengan pasien. Tak segan untuk bertanya tentang khabar kesehatan. Tak malas untuk menjawab apapun melalui jaringan pribadi.
Keramahan dan gaya melayani pasien yang demikian, membuat kami sekeluarga tak mau berpindah ke lain hati. Meski sesuatu dan lain hal, klinik Tjikman di kawasan Mampang pada akhirnya harus bubar beberapa tahun lalu.Â
Tim dokternya yang menyebar di sejumlah klinik diantaranya Klinik Medexs di kawasan SCBD dan kawasan Kayu Putih, Pulogadung, Jakarta Timur masih memberikan pelayanan dengan ramah dan gaya komunikasi yang menyenangkan. Padahal kalau tak mau repot, di sekitaran Mampang Prapatan begitu banyak klinik dokter gigi.
Para dokter tersebut pun tak segan menjelaskan segala jenis tindakan yang harus dijalani pasien meski melalui jaringan pribadi. Termasuk konsultasi di luar jam kerjanya. Beberapa kali saya berkonsultasi melalui jaringan pribadi saat pagi buta. Pernah jam 05:00 WIB pernah pula pukul 21.30 WIB.Â
Semua pertanyaan saya dijawab dengan sangat baik dan ramah. Terkadang si dokter minta iizin untuk menelepon saya meski sebenarnya yang membutuhkan layanan adalah saya.
Gaya komunikasi seperti yang dilakukan oleh dokter gigi langganan keluarga kami memang sekilas sederhana. Tetapi dampaknya memang luar biasa. Setidaknya anak saya menjadi rajin ke dokter gigi.Â
Tidak ada rasa takut sedikit pun ketika harus berhadapan dengan berbagai tindakan medis termasuk cabut gigi. Dua anak saya bahkan menolak pindah ke klinik lain meski di sekitar rumah kami banyak bermunculan klinik gigi.
Seperti kejadian pekan lalu, ketika di tengah PJJ, anak saya yang masih duduk dibangku kelas 7 SMP tiba-tiba giginya sakit. Rupanya, tambalan gigi saat masih kelas 4 SD lepas.Â
Akhirnya saya pun searching Google mencari klinik dokter gigi yang dekat dengan rumah dan bisa memberikan layanan sore atau malam harinya.
Sayangnya 4 klinik yang saya hubungi tidak ada yang bisa. Mulai dari dokternya sedang cuti, dokternya sedang nyetir, dokternya lagi tak praktik sampai full booked. Padahal 4 klinik tersebut posisi di Google buka layanan alias beroperasi sampai malam hari.
Pada akhirnya saya pun menghubungi dokter langganan yang kebetulan sore itu berpraktik di Kayu Manis, Pulogadung Jaktim. Meski sudah ada janji dengan pasien lain, dokter langganan kami mempersilahkan saya datang langsung.Â
Butuh waktu 45 menit untuk sampai ke tempat praktiknya. Dan sambil menunggu pasien yang sudah janjian, si dokter memeriksa gigi anak saya.Â
Masih dengan senyum ramah dan gaya komunikasi yang kekeluargaan. Menyapa anak saya, menanyakan dari hal-hal sederhana dari apa khabar, bagaimana sekolahnya, dan lainnya. Dan anak saya semakin nyaman, meski sudah dua tahun tidak bertemu akibat adanya pandemi.
Perawatan gigi pada anak ini sangat penting. Setidaknya ada tiga masalah yang sering dijumpai pada kesehatan gigi anak yang dapat mempengaruhi tumbuh kembang anak. Yakni gigi berlubang, pergantian gigi susu ke gigi tetap yang kurang sempurna, hingga gusi bengkak.Â
Karena itu, layanan kesehatan gigi yang ramah anak perlu diterapkan oleh semua dokter gigi. Gigi sehat bermula dari perawatan yang tepat sejak usia dini...
Salam sehat semua yaaa
Mampang Prapatan 6 Maret 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H