Mohon tunggu...
Indrian Safka Fauzi
Indrian Safka Fauzi Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Praktisi Kesadaran Berketuhanan, Kritikus Fenomena Publik dan Pelayanan Publik. Sang pembelajar dan pemerhati abadi. The Next Leader of Generation.

🌏 Akun Pertama 🌏 My Knowledge is Yours 🌏 The Power of Word can change The World, The Highest Power of Yours is changing Your Character to be The Magnificient. 🌏 Sekarang aktif menulis di Akun Kedua, Link: kompasiana.com/rian94168 🌏

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Adinda Sang Penjaga

6 Juli 2022   04:00 Diperbarui: 6 Juli 2022   05:44 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Ilustrasi: Freepik

Selamat berjumpa kembali sahabat kompasiana dan readers~ Kali ini saya mau mengkisahkan sebuah perjuangan sang Adik Perempuan dalam ketegarannya menjaga saya yang menderita sakit psikis.

Apakah perlu sebuah tissue untuk menemani api roket pesawat antariksa yang keluar dari batang hidung pemirsa?

Boleh-boleh saja disiapkan hahahaha!

Baik kita mulai kisahnya.

***

Adinda yang sibuk di Masa-Masa SMP, harus rela menatap saya dalam keadaan sakit parah melanda. Saya diikat oleh tali-temali berlapis lapis yang mengikat tangan dikebelakangkan tubuh agar saya tidak mengamuk karena ketidaksadaran saya dalam pengaruh guna-guna.

Dimasa Ayahanda dan Ibunda bertualang mencari seorang yang mampu mengobati saya. Adinda dan nenek tercinta, menyuapi saya yang dalam keadaan terikat. Adinda membersihkan air seni saya yang berada di pispot, dan karena saya telah disuntik secara medis, maka tubuh saya tidak terpancing untuk buang air besar. 

***

Setelah saya mulai tersadarkan, ikatan tali-temali yang mencengkram tubuh saya dilepas. Adinda memeluk tubuh kurus saya saat itu.

"Aa orang kuat... Eneng akan jaga Aa." Begitulah ucapnya.

Beruntungnya saya dinaungi keluarga besar, karena kami telah meninggalkan rumah kami di kediaman sebelumnya yang dipenuhi suasana mistis nan mengerikan. Alhasil kami tinggal di rumah nenek sekeluarga. Walau perasaan malu menimpa ayahanda.

***

Saat itu saya mengulang kelas 3 SMA, pindah ke sekolah lainnya untuk menempuh pendidikan guna berkesempatan kembali mengikuti Ujian Nasional yang sempat saya tinggalkan. Saya menjadi satu sekolah dengan Adinda. Adinda menjaga saya dari kejauhan mengawasi saya, apakah saya akan mengamuk kembali atau tidak.

Benarlah kejadian mengerikan terjadi. Saya terpancing emosi hingga seperti orang kesurupan di dalam kelas dan berkata kepada kawan-kawan di kelas:

"Bencilah Indrian... Bencilah Indrian... Aku Adalah Iblis yang ada ditubuh anak ini." Raunganku dalam ketidaksadaran.

Kawan-kawan sudah tahu kisah saya sakit karena peran adinda di balik bayang-bayang. Kawan sekelas bukannya menjauhi saya, semua mendoakan agar saya tersadarkan kembali.

***

Adinda dibalik ketidaktahuan saya berperan menjadi penjaga

Saya dalam kebodohan dan ketidaktahuan saya seringkali memaki adinda karena tidak sepaham dengan pemahaman saya yang sesat yang bersumber dari bisikan yang menerpa saya. Saya seringkali memaksakan kehendak pada adinda akan pemahaman saya. Adinda hanya membalas dengan senyum, dan terkadang untuk menghindari pertengkaran, Adinda masuk ke kamar dan menutup pintu kamarnya tanpa berucap sepatah kata.

Tak sengaja, ternyata pintu kamarnya tak dikunci. Adinda dalam amparan sajadah, berurai air mata dan mendoakan saya.

"Yaa Allah, hamba mohon sadarkanlah kakak hamba yang berada dalam pengaruh sihir. Berikan hamba kekuatan agar hamba mampu menjaganya saat ia sedih, marah, dan gelisah... bagai seorang kakak yang menjaga adiknya."

Hati kecil saya tersentuh. Namun amarah masih menyelimuti. Gejolak api membara antara kemarahan dan kasih sayang mendera.

Akhirnya saya tergugah dengan berzikir, sebagaimana kisah adinda yang lebih dahulu terkena sihir yang membuat fisiknya menderita dahulu.

***

Bertahun-tahun berlalu. Saya sukses lulus Ujian Nasional walau dengan nilai pas-pasan. Dan mengikuti perkuliahan di sebuah Akademi di perkotaaan.

Saya kini menghadapi Ujian Semester di kampus di malam hari karena mengikuti kelas malam. Adinda dengan rela menunggu saya di ruang piket satpam, yang mengantar saya pergi ke kampus, dan pulang ke rumah.

Namun terjadilah keganjilan pada diri saya. Bisikan-bisikan teror mulai menghantui diri saya saat ujian. Saya yang melawan rasa takut, bercampur aduk bagaimana saya harus mengisi soal ujian. Tangan saya bergetar tak karuan. Jantung saya berdebar, keringat dingin membasahi sekujur tubuh. Saya melawan bisikan itu semua, demi adinda yang menunggu saya. Saya tidak mau membuat adinda kerepotan saya tiba-tiba menjerit ketakutan karena teror bisikan. Saya tahan semampu saya, dan berfikir keras menjawab isi soal yang saya kerjakan.

Alhamdulillah selama ujian tidak terjadi apa-apa. Namun...

Saat saya menaiki motor yang dikemudikan adinda. Semua bisikan horor mendera sekaligus dan meledak dalam satu waktu, membuat perasaan bersalah menggema.

"Eneeng.... Aa takut... Aa takut..."

"Dzikir Aa... Dzikir... Aa pasti bisa."

Dalam boncengan motor dimalam hari, antara jeritan rasa takut bercampur aduk menjadi satu dengan lisan dzikir.

Adinda membawa saya dengan motornya, penuh kehati-hatian yang pasti.

"Terima kasih Yaa Allah... Engkau telah menyelamatkan perjalanan kami." Ucap Adinda selamat mengantarkan saya pulang ke Rumah, walau ia pun masih memiliki tugas yang menumpuk dari sekolahnya.

***

Kisah panjang itu berlalu. Dimana saya dalam kondisi penuh ketidaksadaran. Disanalah Adinda hadir selalu, menjadi sang pengemudi kendaraan di kala saya rapuh.

Adinda berhasil menjaga saya dengan penuh kesuksesan selama Ibunda dan Ayahanda berjuang mencari juru sembuh saya.

Adinda adalah sahabat dikala suka maupun duka. Selalu ada dimana gelisah mendera. Ia memberikan dukungan terbaiknya, dengan menjaga saya dibalik bayang-bayang tanpa sepengetahuan saya.

Adinda berperan menjadi seorang kakak. Seorang gadis tomboi di masa lalu, yang kini menjelma menjadi seorang yang penuh keceriaan dan kelembutan ucap, namun semangatnya selalu membara membela kakak tercinta yang lemah kala itu.

Kini adinda sukses dengan karirnya, walau saya hanya bisa tinggal di Rumah tak kemana-mana. Adinda selalu mendermakan rezekinya kepada saya seorang pengangguran. Betapa malunya saya yang belum bisa memberikan materi, terkadang uang yang diberikan adinda, saya belikan kado ulang tahun untuknya. Dan Adinda tetap menerimanya dengan senyum tulus, ucapnya "Makasih Aa."

Saya doakan semoga Allah S.W.T meng-anugerah-kan Pasangan hidup untuknya yang selalu menjaganya penuh kasih, kesetiaan dan semangat membara sebagaimana ia menjaga saya sedemikian rupa. Aamiin YRA

Izinkan saya menulis puisi untuk kisah Adinda sebagai penutup kisah ini.

A-dinda kau sungguh perkasa dan indah bak permat-A.
D-iriku kagum dengan derma kasih dan kebulatan teka-D.
I-zinkan kakakmu bersyair tentang kisah yang terbukt-I.
N-iat sucimu padaku yang terpuruk, nyata dengan kehadira-N.
D-entuman semangat dirimu mengaung di tengah jaga-D.
A-ku tentu kenang selalu engkau sebagai sang penjag-A.

Tertanda.
Rian.
Cimahi, 6 Juli 2022.

Indrian Safka Fauzi untuk Kompasiana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun