***
Saat itu saya mengulang kelas 3 SMA, pindah ke sekolah lainnya untuk menempuh pendidikan guna berkesempatan kembali mengikuti Ujian Nasional yang sempat saya tinggalkan. Saya menjadi satu sekolah dengan Adinda. Adinda menjaga saya dari kejauhan mengawasi saya, apakah saya akan mengamuk kembali atau tidak.
Benarlah kejadian mengerikan terjadi. Saya terpancing emosi hingga seperti orang kesurupan di dalam kelas dan berkata kepada kawan-kawan di kelas:
"Bencilah Indrian... Bencilah Indrian... Aku Adalah Iblis yang ada ditubuh anak ini." Raunganku dalam ketidaksadaran.
Kawan-kawan sudah tahu kisah saya sakit karena peran adinda di balik bayang-bayang. Kawan sekelas bukannya menjauhi saya, semua mendoakan agar saya tersadarkan kembali.
***
Adinda dibalik ketidaktahuan saya berperan menjadi penjaga.
Saya dalam kebodohan dan ketidaktahuan saya seringkali memaki adinda karena tidak sepaham dengan pemahaman saya yang sesat yang bersumber dari bisikan yang menerpa saya. Saya seringkali memaksakan kehendak pada adinda akan pemahaman saya. Adinda hanya membalas dengan senyum, dan terkadang untuk menghindari pertengkaran, Adinda masuk ke kamar dan menutup pintu kamarnya tanpa berucap sepatah kata.
Tak sengaja, ternyata pintu kamarnya tak dikunci. Adinda dalam amparan sajadah, berurai air mata dan mendoakan saya.
"Yaa Allah, hamba mohon sadarkanlah kakak hamba yang berada dalam pengaruh sihir. Berikan hamba kekuatan agar hamba mampu menjaganya saat ia sedih, marah, dan gelisah... bagai seorang kakak yang menjaga adiknya."
Hati kecil saya tersentuh. Namun amarah masih menyelimuti. Gejolak api membara antara kemarahan dan kasih sayang mendera.