Siluet dari lampu-lampu jalan yang temaram, memperlihatkan hari mulai beranjak larut dalam pekat. Sepersekian menit hanya ku tatap lamat-lamat tangisan yang menumpahkan segala keluh kesah dunia. Begitu deras dan hawa dingin pun seakan menyayat-nyayat tubuhku. Detik itu juga ada yang menelisik masuk ke dalam ruang di antara erangan ingin bertemu, dimana seluruh kehidupanku berubah setelah kecelakaan yang menimpaku 2 tahun lalu. Tak dapat ku hindari lagi ketika bergejolaknya seluruh rasa sakit yang hanya dapat ku lakukan dengan membuncahkan butiran-butiran bening dari sudut-sudut mataku. Dengan cepat bayangan yang telah lama pergi itu tiba-tiba muncul kembali dalam ingatan. Saat itu juga, ku lihat satu titik yang menyemburatkan kisah.
“Tidak lagi, cukup sudah!” batinku menyalak. Segera ku usap wajahku yang penuh dengan kekecewaan itu.
Malam semakin menepi menuju penghujung penantiannya. Ku lirik jam yang berada tepat disampingku, pukul 23:57. Dengan sigap ku putar roda kursi yang ku duduki saat ini, ingin melelapkan seluruh raga yang lelah dan ingin melenyapkan pula pikiran yang memuakkan itu.
***
Subuh pun menjelang, terdengar suara yang sangat menentramkan jiwa, berasal dari masjid di ujung jalan sana. Ku kerjap-kerjapkan mataku dan segera bangun untuk sholat Subuh. Setelah selesai, kusiapkan sarapan dan makanan ringan yang akan dijual oleh adikku sepulang sekolah nanti.
Semakin lama, hari semakin memburu. Makanan yang dijual siang ini sudah diambil oleh adikku 1 jam yang lalu untuk dijajakan keliling kampung. Dalam hati ku lantunkan doa-doa agar adikku senantiasa dilundungi oleh Tuhan dan juga makanan yang terjual hari ini banyak.
Dalam waktu-waktuku menunggu adikku kembali pulang, tiba-tiba saja ada seseorang yang mengetuk pintu rumahku.
“Tumben ada yang ingin bertamu ke rumah. Tapi siapa?” pikirku mulai melayang-layang.
Ketika ku buka pintu, ku lihat sosok yang sangat begitu aku kenali. Saat itu juga sekujur tubuhku kaku, dadaku berdentum amat kencang dan mulutku seakan terkunci rapat. Peluh bercucuran membasahi wajahku, mataku begitu dengan mudahnya terhipnotis akan kehadirannya. Rasa muak yang sempat hilang, kembali terkuat lebih besar lagi ke permukaan. Perasaanku terkoyak, rajutan-rajutan rapi yang aku sulam begitu mudahnya terputus. Tak dapat lagi aku sembunyikan perasaan amarah yang telah usang ini, karena terlalu lama aku gantungkan. Tapi yang hanya aku keluarkan saat itu adalah genangan kesedihan yang begitu luar biasa.
“Maafkan aku Arini, atas segalanya. Aku telah lama mencarimu dan ternyata kau berada disini” ucap Arlan.
“Untuk apa kau kemari? Tak cukupkah dengan engkau yang telah tinggalkan aku? Kau hanya memikirkan dirimu sendiri!” dengan sekuat tenaga aku menjawab.
Tatapan matanya yang sendu, mengisyaratkan betapa rasa bersalah selama ini menghantui dirinya. Begitu pun dengan aku yang benar-benar sudah tidak tahan lagi dengan semua keadaan ini.
“Pergi!” kataku menahan himpitan emosi.
“Tolong Arini, dengarkan aku” Arlan bersikeras.
“Kau mau apa? Sudah cukup Arlan! Waktu tak bisa kau dapatkan lagi agar seperti dulu” kataku dengan membentak.
Tangis Arlan seketika itu juga pecah. Dia seperti mencoba untuk mengutarakan sesuatu hal.
“Aku hanya ingin kau tahu, bahwa sampai saat ini aku masih mencintaimu. Aku selalu terbayang rasa bersalah padamu Arini” ucap Arlan dengan tulus.
“Aku tak peduli lagi! Tak pernah ada rasa yang tertinggal dalam hidupku tentang dirimu. Tolonglah pergi dan jangan tampakkan lagi batang hidungmu dihadapanku” kataku dengan bersusah payah.
“Baiklah. Memang tidak seharusnya aku mengganggu hidupmu lagi. Namun 1 hal yang harus kau tahu. Jika kau butuh aku, aku akan selalu ada untukmu, sebelum waktuku terlambat mengutarakannya” ucap Arlan dengan memohon.
Aku hanya membisu, tak bekutik sedikitpun walau sudah 5 menit yang lalu dia pergi. Ada suatu rasa yang salah dengan perkataannya tadi. Membuat tubuhku seakan tergelitik dan merinding tak beraturan. Menyisakan berbagai pertanyaan dibenakku.
Adikku yang merasa heran dengan raut rupaku, tiba-tiba saja membuyarkan lamunanku yang telah jauh membentang.
“Ini kak, tadi ada seseorang yang menitipkan ini padaku untuk kakak, sebelum dia mengalami insiden tadi” ucap adikku.
Selaksa samudera yang mendidih, mengguyurkan seluruh syarafku dengan aliran kepedihan dan aku hanya bisa terpaku lebih larut lagi oleh pernyataan adikku tersebut.
“Arlan!” batinku menjerit.
***
Seminggu setelah kejadian itu. Aku mengajak adikku untuk berziarah. Menebarkan doa-doa semoga dia tenang di sisi Yang Maha Kuasa. Sebelum kembali pulang, aku menaburkan beberapa genggam bunga diatas pusaranya, kemudian beranjak pergi.
“Terima kasih” renungku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H