Tatapan matanya yang sendu, mengisyaratkan betapa rasa bersalah selama ini menghantui dirinya. Begitu pun dengan aku yang benar-benar sudah tidak tahan lagi dengan semua keadaan ini.
“Pergi!” kataku menahan himpitan emosi.
“Tolong Arini, dengarkan aku” Arlan bersikeras.
“Kau mau apa? Sudah cukup Arlan! Waktu tak bisa kau dapatkan lagi agar seperti dulu” kataku dengan membentak.
Tangis Arlan seketika itu juga pecah. Dia seperti mencoba untuk mengutarakan sesuatu hal.
“Aku hanya ingin kau tahu, bahwa sampai saat ini aku masih mencintaimu. Aku selalu terbayang rasa bersalah padamu Arini” ucap Arlan dengan tulus.
“Aku tak peduli lagi! Tak pernah ada rasa yang tertinggal dalam hidupku tentang dirimu. Tolonglah pergi dan jangan tampakkan lagi batang hidungmu dihadapanku” kataku dengan bersusah payah.
“Baiklah. Memang tidak seharusnya aku mengganggu hidupmu lagi. Namun 1 hal yang harus kau tahu. Jika kau butuh aku, aku akan selalu ada untukmu, sebelum waktuku terlambat mengutarakannya” ucap Arlan dengan memohon.
Aku hanya membisu, tak bekutik sedikitpun walau sudah 5 menit yang lalu dia pergi. Ada suatu rasa yang salah dengan perkataannya tadi. Membuat tubuhku seakan tergelitik dan merinding tak beraturan. Menyisakan berbagai pertanyaan dibenakku.
Adikku yang merasa heran dengan raut rupaku, tiba-tiba saja membuyarkan lamunanku yang telah jauh membentang.
“Ini kak, tadi ada seseorang yang menitipkan ini padaku untuk kakak, sebelum dia mengalami insiden tadi” ucap adikku.