Mohon tunggu...
Intan Rohmawati
Intan Rohmawati Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Suka membaca, tapi lebih suka makan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Ajari Aku Doa Meminta Hujan Reda

3 Maret 2024   18:55 Diperbarui: 5 Maret 2024   00:16 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi hujan. (Sumber: Pexels via kompas.com) 

Apapun itu, intinya mereka adalah calon-calon budak negara. Bekerja untuk negara, dibayar negara, dan keluarganya pun ditanggung negara. Bukan para pengabdi negara yang bekerja siang malam ikhlas tanpa diberi apa-apa. Eh, malah jadi melantur kemana-mana.

Hampir saja aku menapaki jalan di samping lapangan, seseorang memanggilku. Nadanya memanggil tapi juga seperti bertanya, memastikan. 

Aku menoleh, tapi tak menemukan seorang pun yang mungkin aku kenal. Aku hanya melihat seorang berpakaian hitam putih mendekat. Ah, paling orang mau tanya gedung, batinku. Lagipula, Aku mengenakan jaket yang dibagian bawah ada tulisan namaku. Iya, itu jaket jurusanku ketika menjadi mahasiswa. Entah kenapa aku masih saja mengenakannya. 

Dulu ketika aku di tempat asing, aku juga merasa banyak yang memanggilku karena melihat tulisan jaket ini. Itu murni iseng. Karena sialnya tulisan di jaket itu memang besar sekali. Cukup jelas untuk dibaca dari jarak tiga meter.

Seorang perempuan. Dia perempuan. Dulu biasanya yang manggil laki-laki. Tapi ini perempuan. Perawakannya kurus, tinggi. Mungkin tingginya tidak beda jauh denganku. 

Aku benar-benar tidak dapat menebaknya hingga dia membuka masker. Dan ketika dia melakukan itu, aku meneleng. Aku tidak asing dengan wajahnya. Tapi siapa?

"Bener kan?" tanyanya sekali lagi. Tapi aku masih terpaku. Tidak habis pikir untuk mengenali siapa orang sok kenal yang ada di depanku ini.

"Diyas," katanya sambil mengulurkan tangan. Aku terperangah. Aku tidak percaya dengan orang yang ada di hadapanku saat ini. Aku tidak percaya menemuinya saat ini. Aku bahkan tidak pernah membayangkan bertemu dengannya. Aku tak pernah memikirkan kata-kata apa yang mungkin aku ucapkan untuknya.

***

Lampu temaram. Memang sengaja dibuat demikian. Tempat ini sepertinya cocok untuk nongkrong. Apalagi untuk mahasiswa. Dan aku baru menyadarinya ketika aku sudah tidak lagi berstatus mahasiswa. Bahkan aku tak akan kesini, jika bukan karena orang yang ada di hadapanaku saat ini, Diyas.

"Hmmm bagaimana kabarmu?" tanyanya memulai percakapan dengan canggung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun