”Semoga Bapak tenang disana.” Aku mengelus kayu nisan Bapak.
“Bapakmu insyaallah tenang disana Le. Dia hanya pulang. Kembali ke sisi-Nya. Dia orang baik.”
Sejenak tercipta hening. Bahkan, bunga kamboja yang jatuh di sampingku terdengar. Warnanya putih dengan sedikit warna kuning di tengah. Kelopaknya ada enam. Katanya kalau mendapat bunga kamboja dengan jumlah kelopaknya genap akan mendapat keberuntungan. Itu cerita yang berdedar saat kecil dulu. Hingga kami berlomba-lomba mencari bunga kamboja itu di depan sekolah kami yang saat itu ada satu pohon bunga kamboja besar.
“Lucu ya Le, kalo dipikir. Manusia berlomba-lomba membangun rumah besar dan megah hanya untuk ditinggali saat di dunia yang sementara ini. Pada akhirnya, manusia akan pulang ke sisi-Nya. Seperti ini lah rumah kita di masa depan. Sempit, gelap.”
“Kamu jangan pernah lupa mengirim doa buat bapakmu ya, Le. Biar di alam kuburnya, tempat Bapakmu luas, terang. Setiap amal manusia akan terputus ketika mati, kecuali tiga. Bagi ibuk dan bapak, kamu lah satu-satunya yang dapat kami harapkan.Kita tidak tahu juga, kapan Ibuk akan menyusul Bapakmu.”
“Di mana pun kamu berada kelak, kamu akan merasa nyaman selagi kamu menganggap itu rumahmu. Pulanglah ke rumah mana pun yang kamu sukai. Karena kepulangan yang sebenarnya, adalah pulang ke rahmatullah.” Ibu mengusap kepalaku. Aku masih menunduk. Masih di atas bumi. Masih di bawah langit. Kemana pun aku pergi. Di dunia ini.
“Ayok kita pulang. Sudah mau maghrib.”
“Iya, Buk.” Aku berjalan mendahului Ibu. Kami pulang ke rumah. Rumahku, Ibuk, dan Bapak. Kumandang adzan terdengar saat kami masih di perjalanan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H