Mohon tunggu...
Intan Rahmawati
Intan Rahmawati Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Ilmu Administrasi Negara Universitas Sebelas Maret

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Analisis Praktik Ekonomi Kapitalis dalam Perusahaan BUMN

29 April 2024   14:34 Diperbarui: 29 April 2024   14:34 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kapitalisme secara umum dipahami sebagai satu sistem ekonomi dimana didalamnya sebagian besar alat produksi dimiliki secara privat namun dioperasikan demi keuntungan. Dalam sistem kapitalisme negara, pemerintah tentu menjadi pelaku utama. Pemerintah didukung oleh perusahaan negara, perusahaan minyak negara, perusahaan swasta keunggulan negara, dan dana kekayaan negara. Pemerintah dapat dengan mudah menentukan industri dan perusahaan apa yang apabila dikembangkan dapat meraih keuntungan terbanyak.

BUMN merupakan Badan Usaha Milik Negara yang ditandai dengan seluruh atau sebagian besar modalnya berasal dari negara. BUMN memiliki mandat untuk memberikan manfaat yang luas bagi masyarakat dan negara. Namun, dalam menghadapi tekanan persaingan global dan tuntutan untuk menjadi lebih efisien dan inovatif, BUMN sering kali mengadopsi praktik-praktik ekonomi kapitalis. Praktik-praktik ekonomi kapitalis tersebut mencakup orientasi pada keuntungan, pengelolaan modal yang efisien, penentuan harga yang kompetitif, dan strategi pemasaran yang agresif. Meskipun demikian, implementasi praktik-praktik ekonomi kapitalis dalam BUMN juga menimbulkan sejumlah permasalahan, terutama terkait dengan keseimbangan antara tuntutan ekonomi kapitalis dan mandat sosial BUMN sebagai perusahaan yang dimiliki oleh negara.

Pemerintah memiliki peran yang kuat sebagai pemilik dan pengawas utama dalam mengatur dan mengembangkan BUMN. Pemerintah juga memiliki kebijakan dan wewenang untuk menentukan strategi pengembangan BUMN agar dapat bersaing secara efektif di pasar yang kompetitif.  Selain itu, pemerintah juga dapat memberikan arahan dalam hal penentuan harga, investasi, dan strategi pemasaran yang dapat meningkatkan daya saing BUMN. Dalam mengatur dan mengembangkan BUMN, pemerintah masih memiliki tantangan dan hambatan dalam mempertahankan keseimbangan antara tuntutan ekonomi kapitalis dengan mandat sosial BUMN sebagai perusahaan yang dimiliki oleh negara.

Proklamator RI Bung Hatta pernah mengatakan bahwa bentuk perekonomian yang paling cocok bagi bangsa Indonesia adalah 'usaha bersama' berdasarkan asas kekeluargaan Koperasi (Wisnu, 2014: 211-223). Baginya, jawaban dan formulasi terbaik ekonomi Indonesia adalah gotong royong dimana setiap orang bisa bekerja secara wajar serta mampu memenuhi kebutuhannya. Hal ini bertolak belakang dengan sistem Kapitalisme, dimana ekonomi gotong royong menekankan pada pemerataan kekayaan sedangkan Kapitalisme kekayaan hanya kepada perseorangan atau segelintir orang-orang saja.

Indonesia tidak bisa menganut sistem ekonomi kapitalis seperti di negara-negara maju seperti Tiongkok dan Singapura dikarenakan masyarakat Indonesia masih banyak permasalahan seperti kemiskinan dan kelaparan. Jika masyarakat Indonesia dipaksa dengan sistem kapitalis, maka hal itu malah akan memberatkan masyarakat dan makin menimbulkan permasalahan dalam bidang ekonomi.

Namun sangat disayangkan sekali tujuan mulia dari perintis bangsa tersebut dicederai oleh perkembangan yang ada bahkan diperparah dengan banyaknya kasus korupsi kolusi dan nepotisme dimana hal tersebut menjadi gerbang masuknya paham praktik kapitalisme baik dalam bidang politik yang dilakukan melalui kapitalisasi regulasi maupun di bidang ekonomi melalui privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN). 

UUD 1945 dalam pasal 33 ayat (3) yang menyatakan "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat". Berdasarkan regulasi tersebut telah jelas disebutkan bahwa segala hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak adalah dikuasai oleh negara. Namun, pada kenyataannya masih terdapat beberapa perusahaan BUMN yang masih mengincar keuntungan sebanyak-banyaknya serta adanya privatisasi perusahaan BUMN yang akhirnya malah menguntungkan perseorangan dan dikhawatirkan terjadi korupsi.

1. Eksistensi Sistem Ekonomi Kapitalis di Indonesia

Praktik ekonomi kapitalis di Indonesia terlihat mulai memasuki era pemerintahan orde Baru. Orientasi pemerintahan saat itu sangat bertolak belakang dengan sebelumnya. Pada era Orde Baru kondisi politik Indonesia dengan negara  barat mulai membaik. Seiring dengan itu, arus modal asing mulai masuk ke Indonesia, khususnya PMA (Penanaman Modal Asing) dan utang luar negeri mulai meningkat. Isu-isu ekonomi politik banyak dibawa ke arah liberalisasi ekonomi, baik liberalisasi sektor keuangan, sektor industri maupun sektor perdagangan. Peran yang lebih besar diharapkan pada sektor swasta karena dianggap gagalnya pemerintah dalam mengalokasikan sumberdaya ekonomi guna menjaga kesinambungan pertumbuhan ekonomi baik yang berasal dari eksploitasi sumber daya alam maupun dari utang luar negeri. 

Pakto '88 dapat dianggap sebagai titik tonggak kebijakan liberalisasi ekonomi di Indonesia. Menjamurnya industri perbankan di Indonesia, yang selanjutnya diikuti dengan terjadinya transaksi hutang luar negeri perusahaan-perusahaan swasta yang sangat pesat, mewarnai percaturan ekonomi Indonesia saat itu. Masa pembangunan ekonomi Orde Baru berakhir setelah terjadi krisis moneter yang menyebabkan ambruknya perekonomian Indonesia. Setelah krisis tersebut, Indonesia memasuki era reformasi, namun kebijakan perekonomian tidak mengalami yang signifikan. Bahkan, kebijakan tersebut semakin liberal dengan mengikuti garis-garis yang ditentukan oleh IMF. Dengan demikian, Indonesia telah mengarah ke arah liberalisasi ekonomi.

2. Implementasi Sistem Kapitalis 

Negara yang dipimpin oleh seorang Presiden dimana segala keputusan diambil darinya tentu baik kebijakan maupun sistem pemerintahan berasal dari keputusannya. Ada kemungkinan praktik kapitalisasi adalah karena adanya hutang politik dari seorang pemimpin terpilih. Sehingga pada praktik pelaksanaan pemerintahannya sang pemimpin negara tersebut akan memberikan kesempatan kepada pemilik modal atau segelintir orang yang menguasai ekonomi untuk menjadi bagian dari kebijakannya.

Dalam hal inilah menimbulkan berbagai asumsi dan analisis terkait dengan adanya kapitalisasi tersebut. Kapitalisasi ini terjadi bisa karena adanya hutang politik pemimpin negara tersebut, dimana ketika pemilu tentu memerlukan modal kampanye dan salah satu sumbangan dana tersebut berasal dari suatu perusahaan. Ketika sudah terpilih pemimpin negara tersebut secara tidak langsung "berhutang budi" dalam kata lain "tersandera" sehingga memberikan ruang kepada pemilik modal untuk menjadi kepala dari suatu BUMN tersebut atau bahkan menjadikan proyek yang melibatkan perusahaan tersebut.

Pada pelaksanaannya kapitalisasi yang semua didefinisikan sebagai penguasaan politik dipraktikan dengan cara mempolitisasi regulasi sehingga menguntungkan segelintir orang ataupun kelompok. Karena pada dasarnya bisa diimplementasikan dan dijalankan atau tidaknya suatu badan negara maupun kebijakan haruslah berdasarkan pada regulasi yang dalam konteks ini adalah Undang-Undang.

Mantan Rektor Universitas Andalas yaitu Werry Darta Taifur mengemukakan bahwa "Rakyat berdaulat masih merupakan cerita, faktanya sekarang yang berdaulat itu adalah penguasa dan pengusaha," artinya sistem ekonomi kerakyatan yang terdapat pada Pasal 33 UUD 1945 masih jauh dari yang diharapkan. Pada praktiknya BUMN yang menjadi salah satu instrumen implementasi regulasi tersebut pada fakta empirisnya sudah memakai standar dan ukuran yang berlaku pada perusahaan-perusahaan swasta bahkan mirisnya terjadi privatisasi BUMN. 

Merealisasikan hal tersebut terdapat rencana holding yang dilakukan Kementerian BUMN sejak tahun 2017. Menanggapi hal tersebut Mahfud MD menyatakan, pihaknya menggugat PP tersebut yang menjadi pembentukan dasar holding atau penggabungan BUMN. Menurutnya ketentuan ini merupakan pelanggaran terhadap UU BUMN, karena akan menjadi dasar hukum pencucian aset negara yang akan dialihkan ke pihak lain dengan menyertakan modal pada BUMN, "Ketentuan tentang Penyertaan Modal Negara (PMN) yang berasal dari kekayaan Negara berupa saham milik negara pada BUMN kepada BUMN lain dilakukan tanpa melalui mekanisme APBN (Pasal 2APP72/2016).

Ketentuan di atas bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 62/PUU-XI/2013 dan Nomor 48/PUU-XI/2013. Selain itu juga bahkan bertentangan dengan UU 17 Tahun 2003 tentang Keuangan negara, UU 19 Tahun 2003 tentang BUMN, UU 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan peraturan Perundang-Undangan, dan UU 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD.

Ekonom UI Faisal Basri pun mengecam keras pengesahan dan pemberlakuan PP 72/2016. Menurutnya, langkah holding BUMN hanya akal politisasi dari sekelompok orang di pemerintah yang ingin pemindahan aset BUMN tidak melalui mekanisme pembahasan di DPR terlebih dahulu.

Menanggapi hal tersebut, Hambra S (Kementerian BUMN)  menyatakan bahwa rencana privatisasi BUMN, khususnya sektor minyak dan gas bumi (migas), belum bisa terealisasi saat ini (2017).  Pada akhirnya PP No 72 Tahun 2016 kini telah berlaku dengan nomenklatur "Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 72 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 Tentang Cara Penyertaan Dan Penatausahaan Modal Negara Pada Badan Usaha Milik Negara Dan Perseroan Terbatas.

Dalam implementasinya, sistem kapitalis di Indonesia dapat kita lihat dari beberapa contoh kasus yang pernah terjadi di Indonesia, yakni:

a. Privatisasi BUMN

Privatisasi adalah kebijakan yang multifaset, di mana secara ideologis bermakna mengurangi peran negara. Sedangkan secara manajemen bermakna meningkatkan efisiensi pengelolaan usaha dan secara anggaran maka privatisasi dapat bermakna mengisi kas negara yang sedang defisit. (Wiranta, 2021). 

Salah satu contoh kasus privatisasi BUMN adalah PT Indocement Tunggal Prakarsa. Pada awalnya terdapat dukungan modal dari pemerintah untuk Indocement, tetapi statusnya perlahan bergeser dari BUMN menjadi swasta sejak diambil alih sepenuhnya oleh Grup Salim. Tahun 2001 status kepemilikan PT Indocement berubah sejak Grup Salim, pemilik mayoritas saham Indocement, menjual sahamnya kepada Heidelberg Cement Group. Hal ini resmi menjadikan PT Indocement menjadi perusahaan privat atau swasta. Tentu pada awalnya privatisasi ini banyak menimbulkan kekhawatiran masyarakat akan kenaikan harga pada semen. Kekhawatiran ini bukan tanpa sebab, pasalnya harga semen Filipina yang sahamnya didominasi oleh perusahaan global, mengalami kenaikan dari yang awalnya 30 dollar per ton menjadi 70-80 dollar per ton.

Contoh lain dari kasus privatisasi yang ada di Indonesia yakni privatisasi PT Garuda Indonesia. Pada awalnya, di tahun 2000-an PT.Garuda Indonesia mengalami krisis internal dan eksternal, krisis ini terus berlanjut hingga tahun 2005. Pada tahun 2006 hingga 2010 PT Garuda Indonesia mulai bangkit dari krisis, akan tetapi pada tahun 2011 PT Garuda Indonesia diprivatisasi dengan tujuan agar dapat bersaing dengan perusahaan lainnya.  Adanya privatisasi PT Garuda Indonesia ini juga bertujuan menambah belanja modal untuk mendatangkan unit pesawat baru. Bersamaan dengan tujuan tersebut PT Garuda Indonesia menawarkan IPO pada publik dengan target mencapai US$ 300 juta. PT Garuda Indonesia pertama kali menawarkan sahamnya kepada Aceh, dengan nilai penawaran awal sebesar Rp 850 - Rp 1.100 per lembarnya, PT Garuda Indonesia berharap masyarakat Aceh dapat ikut andil dalam hal ini, terutama perusahaan-perusahaan swasta di Aceh. 

Privatisasi dapat terjadi ketika kepemilikan saham perusahaan milik negara dijual atau dialihkan ke pihak swasta, sehingga dikhawatirkan hal tersebut akan hanya menguntungkan pihak pribadi dan malah merugikan dari segi sosial. Usaha yang dipegang oleh negara tentunya menyangkut hal yang penting dan keberadaannya krusial di Indonesia. Jadi, ketika perusahaan BUMN diprivatisasi oleh pihak swasta, dikhawatirkan pihak swasta  tersebut bertindak semena-mena demi menguntungkan pihak swasta tersebut.

b. Pengurangan Jumlah Subsidi

Adanya kenaikan harga BBM akibat dari pengurangan subsidi. Disebutkan bahwa kenaikan harga BBM pada tahun 2022 ini disebabkan adanya kenaikan harga minyak dunia. Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan menyebutkan bahwa kenaikan anggaran subsidi untuk tahun 2022 dari Rp 502 Milyar menjadi Rp 700 Miliar juga merupakan salah satu faktor kenaikan harga BBM.

Adanya kenaikan anggaran subsidi tiap tahunnya lambat laun dapat menimbulkan kekhawatiran dalam masyarakat. Sehingga pandangan masyarakat terhadap isu ini adalah imbas dari kesalahan dalam pengelolaan sumber daya alam. Krisis ini dapat menjadi peluang bagi perusahaan asing untuk menguasai sumber daya alam seperti minyak, gas, batu bara dan menjadi peluang bagi negara untuk mendapatkan keuntungan.

Imbas kenaikan ini tentunya merugikan masyarakat golongan menengah ke bawah. Banyaknya subsidi salah sasaran yang justru banyak dinikmati oleh masyarakat dari kalangan atas dan bukan untuk golongan menengah ke bawah juga menjadi faktor lain yang mempersempit peluang masyarakat bawah untuk mendapatkan subsidi. 

Dalam konteks ini, BUMN perlu mengelola efisien sumber daya dan pendapatan yang dihasilkan agar dapat memberikan manfaat yang lebih merata kepada seluruh lapisan masyarakat. Hal ini menunjukkan perlunya evaluasi terhadap praktik ekonomi kapitalis dalam BUMN untuk memastikan bahwa keuntungan yang dihasilkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

c. Korupsi BUMN

Kasus baru-baru ini yang terjadi contohnya pada PT Timah Tbk yang merupakan perusahaan BUMN yang bergerak di bidang pertambangan timah, batu bara, dan nikel. Perusahaan ini berdiri pada 2 Agustus 1976 dan sudah terdaftar di bursa efek pada tahun 1995. 

Kasus korupsi PT Timah Tbk ini berkaitan dengan dugaan perjanjian kerjasama fiktif yang dibuat oleh perusahaan boneka guna mengambil bijih timah di wilayah Bangka Belitung. "Kasus ini melibatkan tersangka Alwin Albar, Direktur Operasional PT Timah Tbk tahun 2017, 2018, dan 2021 ; Mochtar Riza Pahlevi Tabrani Direktur Utama PT Timah Tbk tahun 2016-2021 ; dan Emil Ermindra Direktur Keuangan PT Timah Tbk tahun 2017-2018." menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Ketut Sumedana.

Ketiga tersangka diduga mengetahui pasokan bijih timah lebih sedikit dari perusahaan swasta lain yang terjadi karena adanya tambang ilegal. Namun, bukannya menindak penambangan ilegal  tersebut, mereka malah berencana untuk memperkaya individual mereka dengan melakukan kerjasama dengan penambang ilegal tersebut dengan cara membeli hasil penambangan dengan harga diatas standar yang ditetapkan perusahaan. Untuk menutupi ketimpangan di laporan keuangan, selisih harganya dibuat seakan-akan terdapat kerjasama sewa-menyewa peralatan processing peleburan timah dengan para smelter. 

Dari tindakan ini, negara dirugikan lantaran timah yang merupakan kekayaan alam negara diambil secara tidak sah dan menimbulkan kerusakan lingkungan. Untuk melegalkan kegiatan perusahaan tersebut, PT Timah Tbk menerbitkan Surat Perintah Kerja Borongan Pengangkutan Sisa Hasil Pengolahan (SHP) mineral timah, dimana keuntungan atas transaksi pembelian bijih timah tersebut dinikmati oleh tersangka.

Perbuatan para tersangka tersebut mengakibatkan kerugian keuangan negara yang dalam proses penghitungannya melebihi kerugian negara dari perkara korupsi lain. Kejaksaan Agung (kejagung) RI mencatat kerugian ekologis yang disebabkan atas korupsi itu mencapai Rp 271  triliun. Angka itu berasal dari hasil perhitungan ahli lingkungan IPB Bambang Hero Saharjo. Angka tersebut merupakan angka yang begitu besar karena korupsi tersebut telah berjalan sejak 2015-2022.

Dari contoh permasalahan di atas, dapat disimpulkan bahwa kapitalisasi yang terjadi di Indonesia justru bermula dari mempolitisasi regulasi yang pada akhirnya membuka ruang untuk mengkapitalisasi ekonomi. Adanya privatisasi BUMN ke sektor swasta dapat menjadi peluang bagi perusahaan swasta untuk mengeksploitasi sumber daya alam dan mencari keuntungan pribadi tanpa memperhatikan kepentingan publik. Privatisasi juga memunculkan ketimpangan sosial akibat distribusi kekayaan yang tidak merata dan salah sasaran. Kenaikan harga BBM memberikan gambaran terkait kompleksitas dalam mengelola BUMN dalam sistem ekonomi kapitalis yang mengedepankan keuntungan, namun juga menekankan pentingnya peran BUMN sebagai instrumen pembangunan yang berpihak pada keadilan sosial.

Dalam mengelola SDA yang berhubungan dengan banyak orang di Indonesia sebaiknya dilakukan dengan memperhatikan berbagai regulasi dari pemerintah yang salah satunya diatur dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 33 ayat (3) yang berbunyi, "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat". Dalam pelaksanaannya, terjadi privatisasi perusahaan yang dikelola oleh BUMN. Privatisasi ini seringkali menimbulkan pertanyaan mengenai pengelolaan sumber daya alam yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara untuk kepentingan seluruh rakyat.

Dampak privatisasi terhadap ketersediaan dan akses masyarakat terhadap sumber daya alam serta kesejahteraan mereka secara keseluruhan perlu dipertimbangkan secara hati-hati. Oleh karena itu, dari sudut pandang pengelolaan sumber daya alam, penting bagi pemerintah untuk menjaga keseimbangan antara kebutuhan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Untuk mencapai kesejahteraan yang adil bagi seluruh rakyat Indonesia, pengelolaan yang bertanggung jawab dan berkelanjutan harus menjadi prioritas utama.

Privatisasi yang dilakukan pemerintah kepada pihak swasta memang terdapat dampak positif jika dilakukan dengan cara hati hati dan pengawasan penuh  baik dari segi tokoh pengelola nya sampai dengan sumber usahanya. Dampak positif yang bisa didapat dari privatisasi BUMN diantaranya dapat dirasakan dari faktor ekonomi, politik, dan lainnya.

Salah satu alasan ekonomi dilakukannya privatisasi adalah perusahaan akan lebih efisien dan menguntungkan jika berada di bawah kepemilikan swasta dibanding pemerintah yang mungkin dapat terhambat oleh birokrasi. Dalam segi politik, privatisasi dapat meningkatkan partisipasi kontrol dari masyarakat karena kepemilikan saham di perusahaan BUMN menjadi milik publik.

Untuk mengantisipasi dan mengevaluasi permasalahan-permasalahan yang telah terjadi pada tahun sebelumnya, hal yang mungkin bisa pemerintah lakukan adalah dengan lebih mengontrol  dan memperhatikan sektor-sektor usaha BUMN agar tetap berjalan sesuai dengan tugasnya yaitu demi membangun sektor perekonomian negara dengan tidak meninggalkan kesejahteraan rakyat. 

DAFTAR PUSTAKA

Yan, R. H. (2010). Eksistensi Sistem Ekonomi Kapitalis di Indonesia. Jurnal Ilmiah Al-Syir'ah

Wiranta. S. (2011). Privatisasi BUMN dan Perannya Terhadap Pembangunan Ekonomi Nasional: Kasus PT. Garuda. Jurnal Ekonomi & Kebijakan Publik. Vol. 1, No. 2

Lahir, S., & Kurniawan, I. D. (2017). Sistem Kapitalisme Negara Sebagai Alternatif Sistem Ekonomi Kerakyatan Berdasarkan Pancasila. Jurnal Ekonomika. Vol. 1, No. 2

Mentari Puspadini. 2024 Mar 27. Update Terbaru dan Kronologi Korupsi Timah yang Jerat Helena Lim. CNBC Indonesia. Berita. [diakses 1 April 2024]

Erwina Rachmi Puspapertiwi. 2024 Mar 28. Profil PT Timah, Anak Perusahaan BUMN yang Terseret Korupsi Ratusan Triliun Rupiah. Kompas.com. Berita. [diakses 1 April 2024]

T29. 2017 Apr 6. BUMN Mesin Kapitalis ?. Pinter Politik. Berita. [diakses 1 April 2024]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun