Salah satu contoh kasus privatisasi BUMN adalah PT Indocement Tunggal Prakarsa. Pada awalnya terdapat dukungan modal dari pemerintah untuk Indocement, tetapi statusnya perlahan bergeser dari BUMN menjadi swasta sejak diambil alih sepenuhnya oleh Grup Salim. Tahun 2001 status kepemilikan PT Indocement berubah sejak Grup Salim, pemilik mayoritas saham Indocement, menjual sahamnya kepada Heidelberg Cement Group. Hal ini resmi menjadikan PT Indocement menjadi perusahaan privat atau swasta. Tentu pada awalnya privatisasi ini banyak menimbulkan kekhawatiran masyarakat akan kenaikan harga pada semen. Kekhawatiran ini bukan tanpa sebab, pasalnya harga semen Filipina yang sahamnya didominasi oleh perusahaan global, mengalami kenaikan dari yang awalnya 30 dollar per ton menjadi 70-80 dollar per ton.
Contoh lain dari kasus privatisasi yang ada di Indonesia yakni privatisasi PT Garuda Indonesia. Pada awalnya, di tahun 2000-an PT.Garuda Indonesia mengalami krisis internal dan eksternal, krisis ini terus berlanjut hingga tahun 2005. Pada tahun 2006 hingga 2010 PT Garuda Indonesia mulai bangkit dari krisis, akan tetapi pada tahun 2011 PT Garuda Indonesia diprivatisasi dengan tujuan agar dapat bersaing dengan perusahaan lainnya. Â Adanya privatisasi PT Garuda Indonesia ini juga bertujuan menambah belanja modal untuk mendatangkan unit pesawat baru. Bersamaan dengan tujuan tersebut PT Garuda Indonesia menawarkan IPO pada publik dengan target mencapai US$ 300 juta. PT Garuda Indonesia pertama kali menawarkan sahamnya kepada Aceh, dengan nilai penawaran awal sebesar Rp 850 - Rp 1.100 per lembarnya, PT Garuda Indonesia berharap masyarakat Aceh dapat ikut andil dalam hal ini, terutama perusahaan-perusahaan swasta di Aceh.Â
Privatisasi dapat terjadi ketika kepemilikan saham perusahaan milik negara dijual atau dialihkan ke pihak swasta, sehingga dikhawatirkan hal tersebut akan hanya menguntungkan pihak pribadi dan malah merugikan dari segi sosial. Usaha yang dipegang oleh negara tentunya menyangkut hal yang penting dan keberadaannya krusial di Indonesia. Jadi, ketika perusahaan BUMN diprivatisasi oleh pihak swasta, dikhawatirkan pihak swasta  tersebut bertindak semena-mena demi menguntungkan pihak swasta tersebut.
b. Pengurangan Jumlah Subsidi
Adanya kenaikan harga BBM akibat dari pengurangan subsidi. Disebutkan bahwa kenaikan harga BBM pada tahun 2022 ini disebabkan adanya kenaikan harga minyak dunia. Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan menyebutkan bahwa kenaikan anggaran subsidi untuk tahun 2022 dari Rp 502 Milyar menjadi Rp 700 Miliar juga merupakan salah satu faktor kenaikan harga BBM.
Adanya kenaikan anggaran subsidi tiap tahunnya lambat laun dapat menimbulkan kekhawatiran dalam masyarakat. Sehingga pandangan masyarakat terhadap isu ini adalah imbas dari kesalahan dalam pengelolaan sumber daya alam. Krisis ini dapat menjadi peluang bagi perusahaan asing untuk menguasai sumber daya alam seperti minyak, gas, batu bara dan menjadi peluang bagi negara untuk mendapatkan keuntungan.
Imbas kenaikan ini tentunya merugikan masyarakat golongan menengah ke bawah. Banyaknya subsidi salah sasaran yang justru banyak dinikmati oleh masyarakat dari kalangan atas dan bukan untuk golongan menengah ke bawah juga menjadi faktor lain yang mempersempit peluang masyarakat bawah untuk mendapatkan subsidi.Â
Dalam konteks ini, BUMN perlu mengelola efisien sumber daya dan pendapatan yang dihasilkan agar dapat memberikan manfaat yang lebih merata kepada seluruh lapisan masyarakat. Hal ini menunjukkan perlunya evaluasi terhadap praktik ekonomi kapitalis dalam BUMN untuk memastikan bahwa keuntungan yang dihasilkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
c. Korupsi BUMN
Kasus baru-baru ini yang terjadi contohnya pada PT Timah Tbk yang merupakan perusahaan BUMN yang bergerak di bidang pertambangan timah, batu bara, dan nikel. Perusahaan ini berdiri pada 2 Agustus 1976 dan sudah terdaftar di bursa efek pada tahun 1995.Â
Kasus korupsi PT Timah Tbk ini berkaitan dengan dugaan perjanjian kerjasama fiktif yang dibuat oleh perusahaan boneka guna mengambil bijih timah di wilayah Bangka Belitung. "Kasus ini melibatkan tersangka Alwin Albar, Direktur Operasional PT Timah Tbk tahun 2017, 2018, dan 2021 ; Mochtar Riza Pahlevi Tabrani Direktur Utama PT Timah Tbk tahun 2016-2021 ; dan Emil Ermindra Direktur Keuangan PT Timah Tbk tahun 2017-2018." menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Ketut Sumedana.