Mohon tunggu...
Intan Anita
Intan Anita Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan UNNES

Selanjutnya

Tutup

Film

Analisis Film: BUDI PEKERTI

16 Desember 2024   17:40 Diperbarui: 16 Desember 2024   17:18 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Abstract

Wregas Bhanuteja's Budi Pekerti is a compelling exploration of the devastating consequences of cyberbullying in contemporary Indonesia. Through the lens of Bu Prani, a guidance counselor targeted by a vicious online smear campaign, the film exposes the fragility of reputation in the digital age. The film's intense close-ups and symbolic imagery create a sense of claustrophobia and isolation that mirrors Bu Prani's experience. By examining the role of social media in shaping public opinion and perpetuating harmful narratives, Budi Pekerti offers a timely critique of cancel culture and the erosion of empathy in online discourse. Ultimately, the film serves as a poignant reminder of the importance of digital literacy and the need for compassion in an increasingly interconnected world.

Keywords: Budi Pekerti, Indonesian film, Cyberbullying, Social Media, Psychology, Digital violence, Morality

Abstrak

Film Budi Pekerti karya Wregas Bhanuteja merupakan sebuah potret menyayat hati tentang dampak cyberbullying terhadap individu dan masyarakat. Melalui kisah Bu Prani, seorang guru BK yang menjadi sasaran serangan dunia maya, film ini mengungkap bagaimana kebenaran dapat dengan mudah dimanipulasi di era digital. Dengan gaya visual yang kuat dan performa akting yang memukau, film ini berhasil menyadarkan penonton akan pentingnya empati dan literasi digital. Selain itu, Budi Pekerti juga menjadi sebuah kritik sosial yang relevan terhadap fenomena cancel culture dan polarisasi yang terjadi di masyarakat.

Kata kunci: Budi Pekerti, Film Indonesia, Cyberbullying, Media Sosial, Psikologi, Kekerasan Digital, Moral

 

  

Pendahuluan 

Di era digital saat ini, perkembangan media sosial telah membawa dampak besar terhadap cara kita berinteraksi dan membentuk opini. Salah satu fenomena yang muncul bersamaan dengan perkembangan ini adalah cyberbullying, yang telah mengubah lanskap komunikasi dan hubungan sosial, khususnya di dunia maya. Tindak tutur pelaku cyberbullying yang tidak sesuai lah yang menyebabkan cyberbullying, Ekspresi  merupakan  tindak  tutur  yang  dimaksudkan  untuk menyatakan  atau  mengungkapkan  sikap  psikologis  penutur  terhadap  situasi  yang  berkaitan dengan tuturannya. Misalnya mengeluh, memuji, berterima kasih, dan mengkritik. Tindak tutur ekspresif mempunyai kelebihan tersendiri. Pertama dengan melalui ekspresi seseorang dapat memahami apakah maksud pembicara sesuai dengan apa yang dia katakan, karena aspek-aspek tertentu   dari   emosi   manusia   sering   kali   dapat   menyembunyikan   makna-makna   yang tersembunyi. Oleh  karena  itu,  diperlukan  pemahaman  yang  lebih  baik  untuk  memahami  apa yang ingin disampaikan oleh pembicara (Rossi  Galih Kesuma, 2024) , yang  Budi Pekerti, film yang disutradarai oleh Wregas Bhanuteja, mengangkat isu penting ini melalui kisah Bu Prani, seorang guru Bimbingan Konseling (BK) yang menjadi korban dari serangan dunia maya. Film ini bukan hanya mengisahkan dampak dari tindakan cyberbullying, tetapi juga memberikan kritik sosial terhadap cancel culture, yang semakin berkembang di masyarakat digital saat ini (Putri & Jannah, 2023; Aryani et al., 2024).

Film ini menggambarkan Bu Prani sebagai seorang perempuan yang tidak hanya berperan sebagai pendidik, tetapi juga sebagai individu yang terjebak dalam situasi sosial yang penuh dengan konflik, manipulasi informasi, dan ketidakadilan. Budi Pekerti secara efektif memanfaatkan medium film untuk menyampaikan pesan-pesan penting terkait dengan moralitas, tanggung jawab sosial, dan dampak negatif yang ditimbulkan oleh kekerasan digital. Dalam hal ini, film tersebut menekankan pentingnya literasi digital yang seharusnya dimiliki oleh setiap individu di era ini (Amelia, 2024; Djalins et al., 2024).

Pentingnya memahami konsep dan dampak cyberbullying sangat relevan mengingat meningkatnya penggunaan media sosial, yang telah merubah cara orang berkomunikasi. Menurut Rossiana et al. (2024), penggunaan media sosial yang berlebihan dapat menumbuhkan kecenderungan untuk melakukan tindakan kekerasan digital, seperti yang digambarkan dalam film Budi Pekerti. Di sini, kita dapat melihat bagaimana dunia maya menjadi ruang yang tidak hanya mendukung, tetapi juga memicu perundungan yang bersifat emosional dan psikologis, yang seringkali disertai dengan penyebaran informasi palsu.

Sebagai sebuah kritik sosial terhadap fenomena cancel culture, Budi Pekerti menyajikan cerita tentang bagaimana persepsi publik dapat dibentuk dengan cepat dan seringkali tanpa dasar yang kuat. Fenomena ini tidak hanya merusak reputasi individu yang menjadi sasaran, tetapi juga memperlihatkan kelemahan sistem sosial kita dalam memberikan ruang untuk klarifikasi atau pembelaan. Dalam film ini, Bu Prani menjadi simbol dari banyaknya individu yang menjadi korban dalam lingkaran cancel culture, di mana kesalahan atau bahkan kesalahpahaman bisa dengan cepat dijadikan alasan untuk menghancurkan reputasi seseorang tanpa pertanggungjawaban yang memadai (Nurjunita & Dwivayani, 2024).

Dalam konteks ini, cancel culture dan cyberbullying seringkali berinteraksi, saling memperburuk keadaan, dan menciptakan lingkaran negatif di masyarakat. Hal ini sesuai dengan analisis yang dilakukan oleh Novianti (2024), yang mengungkapkan bahwa peran media sosial dalam membentuk opini publik sangat signifikan, namun seringkali juga menyebarkan informasi yang merugikan tanpa verifikasi yang jelas. Oleh karena itu, film ini juga mengajak penonton untuk lebih kritis terhadap apa yang mereka konsumsi di dunia maya dan menyadarkan mereka akan pentingnya verifikasi informasi sebelum membentuk opini atau menyebarkannya kepada orang lain.

Secara visual, Budi Pekerti juga menyajikan simbolisme yang mempertegas tema-tema tersebut. Penggunaan close-up yang intens pada wajah Bu Prani, yang semakin menunjukkan ekspresi ketakutan, keputusasaan, dan isolasi, menciptakan atmosfer yang sangat menegangkan. Hal ini juga menjadi simbol dari pengasingan sosial yang sering dialami oleh korban cyberbullying, di mana mereka merasa terisolasi meskipun hidup dalam dunia yang sangat terhubung melalui teknologi. Menurut Djalins et al. (2024), visualisasi yang kuat ini sangat membantu penonton untuk merasakan langsung pengalaman psikologis dari karakter, sekaligus memberikan dampak emosional yang mendalam.

Selain itu, analisis naratif yang diterapkan dalam film ini mengajak kita untuk lebih memahami hubungan antara individu dan masyarakat. Dengan menganalisis karakter Bu Prani melalui lensa naratif, Budi Pekerti menawarkan sebuah komentar yang tajam terhadap cara kita memperlakukan orang lain dalam dunia digital. Dalam hal ini, Bu Prani tidak hanya berperan sebagai korban, tetapi juga sebagai simbol dari banyak individu yang, meskipun berupaya untuk membantu orang lain, tetap terjebak dalam sistem yang lebih besar yang tidak memperlihatkan belas kasihan (Amelia, 2024; Rossiana et al., 2024).

Seiring dengan perkembangan digitalisasi, literasi digital menjadi aspek yang semakin penting untuk dipahami oleh masyarakat. Budi Pekerti menyampaikan pesan kuat mengenai perlunya empati dan kewaspadaan dalam berinteraksi di dunia maya. Sebagai masyarakat yang semakin terhubung secara digital, kita dituntut untuk memiliki keterampilan dalam memilah dan menyaring informasi, serta memahami dampak sosial dari setiap tindakan yang kita ambil di dunia maya (Noviant, 2024). Film ini memberikan perspektif penting mengenai cara kita harus lebih berhati-hati dan bertanggung jawab dalam menggunakan media sosial, agar tidak terjerumus ke dalam dinamika yang merugikan seperti cyberbullying atau cancel culture.

Secara keseluruhan, Budi Pekerti menawarkan banyak lapisan untuk dianalisis, mulai dari aspek psikologi hingga kritik sosial. Melalui film ini, Wregas Bhanuteja tidak hanya mengajak penonton untuk memahami dampak negatif dari cyberbullying dan cancel culture, tetapi juga mengingatkan kita tentang betapa rapuhnya reputasi di dunia maya. Film ini mengingatkan kita akan pentingnya berinteraksi dengan lebih bijaksana di dunia digital dan memahami betul bagaimana kata-kata dan tindakan kita dapat mempengaruhi orang lain secara psikologis dan sosial.
Film Budi Pekerti adalah karya yang penting untuk dipahami dalam konteks sosial kita saat ini. Dengan memanfaatkan kekuatan visual dan naratif, film ini memberikan wawasan tentang bagaimana fenomena digital, seperti cancel culture dan cyberbullying, dapat merusak kehidupan individu. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk lebih memahami dampak dari teknologi dan meningkatkan literasi digital agar bisa menghindari konsekuensi buruk dari perundungan dunia maya. Film ini juga menjadi pengingat akan pentingnya empati dan kewaspadaan dalam berinteraksi di dunia maya yang semakin terhubung.

Metode

Penelitian ini menggunakan pendekatan analisis wacana kritis untuk mengkaji film Budi Pekerti karya Wregas Bhanuteja. Analisis wacana kritis memungkinkan peneliti untuk menelaah teks film secara mendalam, memperhatikan bagaimana berbagai elemen dalam film, seperti dialog, simbolisme visual, dan struktur naratif, dapat merefleksikan dan membentuk realitas sosial tertentu, terutama terkait dengan isu cyberbullying dan cancel culture. Dalam hal ini, pendekatan analisis semiotika dan naratif juga digunakan untuk mengungkap makna yang tersembunyi di balik simbolisme visual dan alur cerita yang ditampilkan dalam film. Metode ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang mengkaji dampak media terhadap persepsi publik, seperti yang dilakukan oleh Aryani et al. (2024) dan Novianti (2024).

Dalam pelaksanaan analisis, peneliti akan mengidentifikasi elemen-elemen utama dalam film, seperti karakter Bu Prani, yang menjadi pusat dari konflik dalam cerita. Peneliti juga akan menganalisis penggunaan simbolisme visual yang mengiringi perjalanan karakter ini, seperti penggunaan close-up yang intens pada ekspresi wajah Bu Prani untuk menggambarkan perasaan terisolasi dan tertekan. Selanjutnya, film ini akan dianalisis melalui lensa cancel culture, dengan melihat bagaimana narasi yang terbentuk di media sosial dapat merusak reputasi seseorang tanpa adanya ruang untuk klarifikasi. Analisis ini akan dilakukan dengan memanfaatkan teori-teori dari Tzvetan Todorov dalam analisis naratif dan Roland Barthes dalam analisis semiotika, sebagaimana telah diterapkan dalam penelitian oleh Amelia (2024) dan Nurjunita & Dwivayani (2024).

Pembahasan:

Film Budi Pekerti yang disutradarai oleh Wregas Bhanuteja menghadirkan tema yang kuat mengenai moralitas, etika dalam bermedia sosial, dan pengaruh buruk dari dunia maya. Film ini mengangkat isu-isu sosial yang relevan dengan kehidupan sehari-hari, seperti cyberbullying, pengaruh hoax, dan dampak negatif media sosial terhadap karakter individu. Berbagai analisis tentang film ini, terutama menggunakan teori semiotik dan pendekatan moralitas, memberikan pemahaman mendalam mengenai pesan yang ingin disampaikan oleh sang sutradara.

Analisis Semiotik dan Nilai-Nilai Moral dalam Budi Pekerti

Menurut Madinatuzzahroh, E.H., Kom, S.I., MM, R.N., Kom, M.I. (2024), Budi Pekerti menggunakan simbol-simbol visual yang kuat dalam menyampaikan pesan moral tentang etika bermedia sosial. Menggunakan teori semiotik Charles Sanders Peirce, mereka menemukan bahwa simbol dalam film tersebut berfungsi untuk menggambarkan kontras antara dunia maya dan kehidupan nyata. Semiotik ini menggambarkan bagaimana individu merespon tekanan sosial yang datang dari dunia digital, serta dampaknya terhadap tindakan mereka di dunia nyata. Peirce mengemukakan bahwa tanda atau simbol dalam suatu karya seni dapat mengubah cara pandang penonton terhadap realitas, dan hal ini jelas terlihat dalam setiap adegan film Budi Pekerti yang mengundang penonton untuk merefleksikan perilaku mereka di dunia maya (Madinatuzzahroh et al., 2024).

Nilai moral yang terkandung dalam film ini juga sangat kuat. Syarifah dan Urfan (2024) menunjukkan bahwa Budi Pekerti mengajarkan pentingnya empati dan tanggung jawab dalam berinteraksi di dunia maya. Hal ini sangat relevan dengan fenomena sosial yang ada saat ini, di mana banyak orang merasa aman untuk melakukan perundungan atau cyberbullying tanpa konsekuensi yang nyata. Film ini mengingatkan kita akan bahaya dari perilaku negatif di dunia maya yang dapat berdampak langsung pada kehidupan nyata seseorang. Sebagai contoh, dalam adegan di mana tokoh utama mengalami tekanan sosial yang berat akibat serangan digital, penonton dapat melihat bagaimana hal ini mempengaruhi kejiwaan dan hubungan sosialnya.

Pengaruh Cyberbullying dalam Film

Aspek lain yang mendapat perhatian dalam analisis ini adalah fenomena cyberbullying, yang digambarkan dengan jelas dalam Budi Pekerti. Widura (2024) menganalisis bagaimana film ini menggambarkan dampak dari perundungan digital terhadap korban. Film ini tidak hanya menunjukkan efek langsung dari cyberbullying, tetapi juga bagaimana individu yang terlibat dalam perundungan tersebut mengatasi dampak dari tindakan mereka. Dalam perspektif ini, Budi Pekerti berperan sebagai alat edukasi untuk mengingatkan pentingnya kesadaran digital dan etika dalam berinteraksi melalui media sosial.

Syarifah dan Urfan (2024) juga mencatat bahwa dalam film ini, teknologi sering kali digunakan untuk mengungkapkan ketidakadilan sosial, baik itu dalam bentuk penindasan, pencemaran nama baik, maupun penyebaran informasi palsu. Oleh karena itu, film ini berfungsi sebagai kritik terhadap ketergantungan masyarakat terhadap media sosial yang cenderung menciptakan kesenjangan sosial dan merusak keharmonisan antarindividu. Dalam hal ini, peran media sosial tidak hanya sebagai sarana komunikasi, tetapi juga sebagai sarana untuk merusak moral dan hubungan sosial.

Representasi Nilai Pendidikan Karakter dan Akhlak

Dalam hal nilai pendidikan karakter, film ini memberikan pelajaran yang berharga mengenai pentingnya menjaga sikap dan budi pekerti yang baik dalam berbagai situasi. Hendri dan Yustiani (2024) menunjukkan bahwa meskipun film ini menyentuh sisi negatif dari pengaruh media sosial, ia juga menekankan pentingnya pendidikan karakter yang seimbang antara dunia nyata dan dunia maya. Tokoh dalam film tersebut harus mengatasi dilema moral, di mana mereka dituntut untuk memilih antara mengikuti tekanan sosial atau mempertahankan nilai-nilai positif yang telah mereka pelajari sejak kecil.

Afro, Hamidah, dan Syakir (2021) juga mencatat bahwa dalam Budi Pekerti, nilai-nilai pendidikan karakter sangat jelas terlihat, terutama dalam cara tokoh utama menanggapi berbagai tekanan yang dihadapi. Tentu saja, pendidikan karakter dalam film ini tidak hanya berfokus pada moralitas individu, tetapi juga pada bagaimana komunitas dapat berperan dalam memperbaiki sikap dan perilaku dalam masyarakat luas.

Dampak Hoax dan Cancel Culture dalam Budi Pekerti

Selain cyberbullying, film ini juga membahas isu lain yang semakin marak di era digital, yaitu hoax dan cancel culture. Singkoh, Kussanti, dan Palupi (2024) menyatakan bahwa Budi Pekerti mengangkat fenomena ini dengan cara yang kritis, memperlihatkan bagaimana berita palsu dan persepsi yang salah dapat menghancurkan kehidupan seseorang dalam waktu singkat. Dalam film ini, hoax bukan hanya disebarkan melalui media sosial, tetapi juga diperburuk dengan adanya efek sosial yang ditimbulkan oleh persepsi publik yang terbentuk dari informasi yang tidak akurat.

Menurut Bahri et al. (2021), film ini menunjukkan bagaimana individu dapat kehilangan identitasnya hanya karena pengaruh informasi palsu yang beredar di dunia maya. Dalam hal ini, Budi Pekerti memberikan pelajaran yang sangat penting tentang bagaimana cara menyikapi berita dan informasi di media sosial dengan lebih bijaksana dan kritis. Hal ini sangat penting, mengingat besarnya dampak yang dapat ditimbulkan oleh berita yang salah di dunia maya, baik itu pada individu, keluarga, maupun masyarakat secara keseluruhan.

Kesimpulan

Secara keseluruhan, film Budi Pekerti bukan hanya sebuah karya seni yang menghibur, tetapi juga sebuah media pembelajaran yang efektif dalam mengedukasi masyarakat tentang pentingnya moralitas, etika dalam bermedia sosial, dan kesadaran akan dampak buruk dari dunia maya. Menggunakan teori semiotik, film ini memberikan pesan yang sangat dalam mengenai pengaruh media sosial terhadap kehidupan sosial kita. Melalui nilai-nilai moral dan pendidikan karakter yang ditonjolkan dalam film ini, penonton diingatkan untuk selalu menjaga sikap dan perilaku baik, baik di dunia nyata maupun dunia maya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun