Bagian lima buku ini ditulis oleh Dewi Wuryandani memiliki keterkaitan erat dengan kondisi saat ini, yaitu kondisi yang serba digital. Dalam kondisi/ era digital, inovasi marketing di bidang pariwisata harus dilakukan secara nyata. Berbagai platform dan media online sangat dibutuhkan untuk menggencarkan proses promosi.Â
Untungnya di tengah perkembangan yang begitu pesat, Indonesia memiliki banyak negara tetangga yang memungkinkan untuk melakukan perjalanan lintas batas karena memiliki kesamaan geografi, kemudahan transportasi, serta murahnya biaya yang dikeluarkan untuk pergi berwisata di Indonesia.Â
Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa adanya perjalanan wisata lintas batas akan membuka peluang tindak kejahatan seperti penyelundupan narkoba atau kejahatan kriminal lainnya. Maka untuk menyikapi hal ini, dibutuhkan peningkatan keamanan di area belakang/ perbatasan Indonesia dengan negara lain.Â
Pada bagian terakhir, yakni bagian enam yang ditulis oleh Burhanudin Mukhamad Faturahman mengulik bagaimana sektor dan kemitraan bagi pariwisata yang ada di Jawa Timur. Di Jawa Timur sendiri, sektor pariwisatanya sangat berperan penting bagi pertumbuhan perekonomian Indonesia.Â
Provinsi ini mampu menyerap tenaga kerja hingga 239 ribu penduduk per tahun yang artinya provinsi Jawa Timur telah menjadi kontributor penting karena telah menyumbangkan 5.82% terhadap PDRB. Jumlah ini melebihi jumlah PDRB nasional yang hanya berada pada angka 5% (hlm. 107).
Secara keseluruhan terlepas dari siapa penulisnya dari masing-masing bagian, buku ini menarik untuk dibaca karena melalui buku ini, pembaca tidak hanya mengetahui bagaimana potensi pariwisata yang dimiliki Indonesia, namun pembaca juga mengetahui tantangan yang harus dihadapi, serta bagaimana strategi yang dapat diterapkan untuk menyikapi tantangan-tantangan dalam dunia kepariwisataan.Â
Selain itu, faktor lain yang membuat buku ini menarik adalah dalam beberapa pembahasannya mengandung kritik tersirat bahwa sebenarnya masyarakat juga butuh "dianggap ada" dan disetarakan kedudukannya dengan pemangku kebijakan yang lain karena pada dasarnya masyarakat adalah pemangku kebijakan tertinggi yang berhak memiliki kebebasan untuk mengelola segala hal di daerah tempat tinggalnya, termasuk pengelolaan destinasi wisata dalam istilah daerah otonom.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI