Mohon tunggu...
Intan Kartika Sari
Intan Kartika Sari Mohon Tunggu... Lainnya - Perencana Keuangan

Berbagi cerita dan berbagi ilmu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Saat Cinta Kembali Menyapa (4)

28 Maret 2021   06:21 Diperbarui: 28 Maret 2021   06:23 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Usai rapat dengan klien, Tio menyempatkan diri berkunjung ke galeri seni Damar yang baru saja dibuka awal bulan lalu di daerah Sudirman Jakarta. Setelah berbincang saling menanyakan kabar, Damar mengantar Tio berkeliling galeri untuk melihat berbagai lukisan dan karya seni lainnya yang ditata dengan indah dan artistik.

Saat berkeliling, langkah Tio berhenti di depan sebuah lukisan yang menarik perhatiannya. Lukisan itu menggambarkan sekelompok anak laki-laki yang bermain sepakbola di lapangan. Wajah ceria penuh tawa menggambarkan keriangan dan kebahagiaan mereka. Tio merasa tak asing dengan goresan lukisan itu.

"Lukisan ini memang sangat indah. Seolah kita ikut bermain bersama mereka dan merasakannya kebahagiaan mereka," kata Damar sambil turut menatap lukisan itu dan tersenyum.

"Aku merasa pernah melihat lukisan serupa, siapa nama pelukisnya ?" tanya Tio yang masih menatap lekat lukisan itu dan mengerutkan keningnya.

"Namanya Marisa Sukma Dewi, salah satu penulis muda berbakat Indonesia. Sayang sudah beberapa tahun ini ia tidak terdengar kabarnya. Aku dengar perjalanan hidupnya tidak mudah karena ia sempat terkena kanker hingga pernikahannya dibatalkan dan ayahnya meninggal dunia," jawab Damar.

Tio terdiam. Ia cukup yakin ia pernah melihat goresan lukisan yang serupa. Ia berusaha mengingat-ingat di mana ia pernah melihatnya.

"Kabar terakhir, saat ini ia menetap di Yogya dan menjadi guru di sana. Sangat disayangkan sebenarnya bakat cemerlang itu tidak lagi dapat kita nikmati," kata Damar sambil mendesah sedih.

Mendengar penjelasan Damar, Tio tersadar. Ia tahu di mana ia pernah melihat lukisan serupa. Goresan lukisan di depannya serupa dengan lukisan Aya yang tempo hari dilukis oleh Risa dan lukisan-lukisan lain yang terpajang di rumah Risa.

Tio akhirnya paham, Marisa Sukma Dewi adalah Risa.

***

Sudah tiga bulan ini, Aya menjadi siswi SMP dan akhir-akhir ini ia jarang bermain ke rumah Risa. Meskipun demikian, hampir setiap hari mereka berkomunikasi melalui wa dan beberapa kali dengan video call. Hari sabtu ini, Aya berjanji untuk berkunjung ke rumah Risa untuk membuat cheese cake bersama dan Aya sudah sangat menantikannya sejak awal minggu.

Risa beberapa kali melirik jam dinding. Aya berjanji untuk datang pagi ini namun sampat dengan jam 15.00 Aya belum juga datang dan tidak ada kabar. Tidak biasanya Aya terlambat. Wa pun juga tidak dibalas.

"Kenapa tidak menelepon Aya saja ?" tanya mama.

Risa mengangguk dan meraih telepon genggamnya untuk menelepon Aya bertepatan dengan telepon masuk dari Tio.

"Assalamu'alaikum Pak Tio," kata Risa mengangkat telepon.

"Walaikum salam Bu Risa, mohon maaf sekali Bu Risa. Aya tidak bisa berkunjung ke rumah Ibu karena demam tinggi sejak kemarin malam," kata Tio.

Risa seketika panik, "Aya sakit apa ?"

"Nampaknya flu karena tempo hari sempat kehujanan, tapi entah kenapa  sejak semalam demam tinggi. Sempat menggigil semalam, namun pagi ini sudah mulai turun," jelas Tio.

Begitu menutup telepon, Risa bergegas berangkat ke rumah Aya karena khawatir dan ingin melihat keadaan Aya langsung. Ia terpaksa naik taksi karena mobilnya sedang berada di bengkel.

Saat melihat Aya yang sedang tertidur dan tampak pucat, hati Risa terasa perih. Segera dihampirinya Aya, digenggamnya tangan Aya dan diciumnya kening Aya yang ternyata masih demam. Aya terbangun dan tersenyum saat melihat Risa berada di sampingnya.

"Bu Risa..." panggil Aya dengan nada suara lemah.

Risa mengangguk dan mengelus kepala Aya perlahan. "Ya Aya, Bu Risa di sini," ucap Risa.

"Aya dari tadi siang belum mau makan Bu," kata Tio yang berdiri di belakang Risa.

Risa menatap Tio yang tampak lelah karena semalaman tidak tidur karena menjaga Aya. Risa kemudian menoleh kembali ke Aya dan berkata lembut, "Aya makan ya, Bu Risa suapin."

Tio bersyukur dengan kehadiran Risa. Aya mulai mau makan dan nampak sedikit lebih ceria saat Tio meninggalkan kamar. Saat Risa berpamitan pulang pukul 20.00, kondisi Aya sudah tidak demam dan jauh lebih baik.

"Aku ingin ditemani Bu Risa," kata Aya dengan muka cemberut. Tangannya juga menggenggam tangan Bu Risa dan tak mau melepaskannya.


"Bu Risa pulang dulu ya. Setelah ini Aya tidur agar segera sembuh dan main ke rumah Bu Risa," kata Risa sambil tersenyum.

"Bu Risa tidur di sini saja menemani Aya, boleh kan Pah ?" tanya Aya mendadak ke papanya.

Tio yang tidak menyangka akan ditanya oleh Aya menjadi gelagapan. Untungnya Risa dengan sigap menjawab, "Nanti Oma sendirian di rumah dong," sambil mencubit hidung Aya pelan.

***

Risa terpaksa membatalkan pesanan taksi setelah Opa memaksa Tio untuk mengantarkan Risa pulang. Semula Risa menolaknya dengan halus, namun Opa terus memaksanya untuk mau diantar pulang oleh Tio. Akhirnya mereka berdua kini duduk dalam mobil yang dikendarai Tio menuju rumah Risa.

Semula mereka membicarakan asal muasal demam Aya dan keseharian Aya setelah duduk di bangku SMP, berlanjut Tio menanyakan kabar Risa dan sebaliknya. Sampai kemudian, Tio bertanya, " Kalau boleh saya bertanya, mengapa Bu Risa tidak lagi menjadi pelukis ?"

Risa menoleh kaget ke Tio dan bertanya, "Maksud Bapak ?"

"Waktu itu saya lihat di buku tahunan Aya, nama lengkap Bu Risa adalah Marisa Sukma Dewi. Setahu saya, Ibu adalah salah satu pelukis berbakat di Indonesia. Bahkan karya-karya Ibu dicari-cari oleh kolektor-kolektor lukisan," jawab Tio.

Risa terdiam dan menunduk. Tio yang melihat keengganan Risa menjawab segera berkata, "Ah, saya minta maaf kalau pertanyaan ini mengganggu Bu Risa."

Risa menghembuskan napas perlahan dan menoleh menatap Tio. Sesaat mata mereka bertemu dan Risa melihat ketulusan di mata Tio.

"Tidak apa-apa Pak, selama ini saya bahkan tidak pernah berbagi cerita dengan teman-teman guru di SD Amarta tapi saya akan menjawab pertanyaan Bapak," jawab Risa.

Risa lantas bercerita. Papanya adalah seorang dosen seni rupa ISI Yogyakarta dan bakat melukis papa menurun ke dirinya. Sejak kecil ia sangat menyukai melukis dan akhirnya ia mengambil fakultas seni rupa ITB.  Beberapa karyanya berhasil memperoleh penghargaan internasional, sehingga ia kemudian disebut-sebut sebagai salah satu pelukis berbakat di tanah air.

"Lantas kenapa sekarang Bu Risa tidak lagi menjadi pelukis ?" tanya Tio saat Risa kembali terdiam cukup lama.

"Karena saat itu saya terkena kanker ovarium," jawab Risa.

Risa bercerita bahwa dunia seakan runtuh saat  ia divonis menderita kanker ovarium. Dokter mengatakan bahwa ia mesti bersyukur karena terdeteksi sejak dini. Meskipun demikian, dokter menganjurkan untuk melakukan operasi pengangkatan satu indung telur untuk mencegah penyebaran kanker.

"Setelah mencari beberapa second opinion, akhirnya saya memutuskan untuk melakukan operasi. Keputusan ini juga didukung oleh keluarga dan Elang," kata Risa sambil matanya menerawang jauh.

Risa kembali bercerita bahwa salah satu konsekuensi dari pengangkatan satu indung telur adalah kemungkinan untuk tidak memiliki anak. Konsekuensi ini awalnya diterima dengan baik oleh keluarga Elang namun dalam perjalanan waktu ternyata orangtua Elang khawatir Risa tidak dapat memberikan keturunan bagi Elang yang merupakan anak tunggal di keluarganya dan meminta Elang untuk memutuskan hubungan dengan Risa. Akhirnya hubungan kasihnya dengan Elang terpaksa kandas.

"Perpisahan itu ternyata jauh lebih menyakiti hati papa daripada saya. Papa tidak rela saya diperlakukan demikian sehingga tidak lama setelah keluarga Elang membatalkan lamarannya, papa mengalami stroke yang tak kunjung pulih. Setahun kemudian, papa akhirnya meninggal dunia. Lukisan di ruang makan adalah lukisan terakhir papa sebelum stroke," ucap Risa dengan nada suara lirih. Kesedihan tampak jelas terlihat di raut mukanya.

Tio terdiam mendengarkan cerita Risa. Ia tak menduga di balik keceriaan Risa, tersimpan duka yang dalam. Ia teringat akan lukisan abstrak dengan aura kesedihan yang pernah dilihatnya kala itu. Ternyata itu lukisan papa Risa.

"Sejak papa meninggal, saya memutuskan untuk pindah ke Yogya untuk menemani mama. Walaupun dua tahun ini saya sudah kembali melukis, namun lukisan-lukisan itu masih untuk saya nikmati sendiri," tutur Risa tepat di depan rumahnya. Mereka telah tiba di rumah Risa.

Saat membuka pintu pagar, Risa menoleh kepada Tio yang berdiri di sampingnya dan berkata, "Terima kasih sudah mengantarkan saya pulang dan mendengarkan kisah hidup saya Pak."

Tio tersenyum dan menjawab, "Sama-sama Bu Risa dan saya senang Bu Risa mau bercerita kepada saya."

Risa mengangguk dan tersenyum dan mulai melangkah masuk rumah, sebelum mendadak Tio menyentuh pelan lengannya dan bertanya,

"Maukah Bu Risa menjadi bunda Aya ?"

Risa menghentikan langkahnya dan menatap Tio terpana.

**BERSAMBUNG**

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun