"Waktu itu saya lihat di buku tahunan Aya, nama lengkap Bu Risa adalah Marisa Sukma Dewi. Setahu saya, Ibu adalah salah satu pelukis berbakat di Indonesia. Bahkan karya-karya Ibu dicari-cari oleh kolektor-kolektor lukisan," jawab Tio.
Risa terdiam dan menunduk. Tio yang melihat keengganan Risa menjawab segera berkata, "Ah, saya minta maaf kalau pertanyaan ini mengganggu Bu Risa."
Risa menghembuskan napas perlahan dan menoleh menatap Tio. Sesaat mata mereka bertemu dan Risa melihat ketulusan di mata Tio.
"Tidak apa-apa Pak, selama ini saya bahkan tidak pernah berbagi cerita dengan teman-teman guru di SD Amarta tapi saya akan menjawab pertanyaan Bapak," jawab Risa.
Risa lantas bercerita. Papanya adalah seorang dosen seni rupa ISI Yogyakarta dan bakat melukis papa menurun ke dirinya. Sejak kecil ia sangat menyukai melukis dan akhirnya ia mengambil fakultas seni rupa ITB. Â Beberapa karyanya berhasil memperoleh penghargaan internasional, sehingga ia kemudian disebut-sebut sebagai salah satu pelukis berbakat di tanah air.
"Lantas kenapa sekarang Bu Risa tidak lagi menjadi pelukis ?" tanya Tio saat Risa kembali terdiam cukup lama.
"Karena saat itu saya terkena kanker ovarium," jawab Risa.
Risa bercerita bahwa dunia seakan runtuh saat  ia divonis menderita kanker ovarium. Dokter mengatakan bahwa ia mesti bersyukur karena terdeteksi sejak dini. Meskipun demikian, dokter menganjurkan untuk melakukan operasi pengangkatan satu indung telur untuk mencegah penyebaran kanker.
"Setelah mencari beberapa second opinion, akhirnya saya memutuskan untuk melakukan operasi. Keputusan ini juga didukung oleh keluarga dan Elang," kata Risa sambil matanya menerawang jauh.
Risa kembali bercerita bahwa salah satu konsekuensi dari pengangkatan satu indung telur adalah kemungkinan untuk tidak memiliki anak. Konsekuensi ini awalnya diterima dengan baik oleh keluarga Elang namun dalam perjalanan waktu ternyata orangtua Elang khawatir Risa tidak dapat memberikan keturunan bagi Elang yang merupakan anak tunggal di keluarganya dan meminta Elang untuk memutuskan hubungan dengan Risa. Akhirnya hubungan kasihnya dengan Elang terpaksa kandas.
"Perpisahan itu ternyata jauh lebih menyakiti hati papa daripada saya. Papa tidak rela saya diperlakukan demikian sehingga tidak lama setelah keluarga Elang membatalkan lamarannya, papa mengalami stroke yang tak kunjung pulih. Setahun kemudian, papa akhirnya meninggal dunia. Lukisan di ruang makan adalah lukisan terakhir papa sebelum stroke," ucap Risa dengan nada suara lirih. Kesedihan tampak jelas terlihat di raut mukanya.