Mohon tunggu...
Inspirasiana
Inspirasiana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer Peduli Edukasi.

Kami mendukung taman baca di Soa NTT dan Boyolali. KRewards sepenuhnya untuk dukung cita-cita literasi. Untuk donasi naskah, buku, dan dana silakan hubungi: donasibukuina@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jadikan Wu-wei sebagai Resolusi Tahun Baru

13 November 2022   10:14 Diperbarui: 13 November 2022   10:14 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jadikan Wu-wei sebagai Resolusi Tahun Baru - Photo by Lina Trochez on Unsplash

Tanpa terasa penghujung tahun sudah hampir tiba. Sebentar lagi saatnya melakukan evaluasi diri, sekaligus menetapkan target yang ingin dicapai.

Namanya resolusi. Istilah yang biasanya viral menjelang penggantian tahun.

Resolusi umumnya merupakan janji kepada diri sendiri atau keinginan untuk melakukan sesuatu, biasanya tentang perubahan perilaku, etos kerja, atau gaya hidup.

Caranya?

Tentu saja resolusi tidak dibuat secara serampangan. Yang pertama harus mengakui segala kekurangan dan kelemahan diri selama ini. Lalu, yang kedua adalah apa yang pantas dilakukan agar diri dapat berubah menjadi lebih baik. Kedua hal ini lalu digabung dan menjadi resolusi.

Sayangnya, kebanyakan resolusi dibuat untuk tidak dilaksanakan. Ia akan lenyap begitu saja bagai air yang dibiarkan mendidih terlalu lama.

Alasannya?

Ada banyak. Mulai dari lalai, malas, atau sekadar lupa saja. Namun, bagi saya resolusi sangat sulit dijalankan karena adanya perbedaan antara harapan dan kenyataan. Atau dengan kata lain, terkadang kita terlalu memaksakan kehendak.

Lalu, Apa Gunanya Resolusi?

Mungkin sebaiknya tidak usah dipikirkan. Sebabnya hanya buang-buang waktu dan pada akhirnya hanya akan malu sendiri. Tapi, bagaimana jika sebaliknya? Membuat Resolusi dengan tidak melakukan apa-apa. Ha? Bagaimana bisa? Tentu bisa jika kita mencanangkan sebuah filsafat China Kuno sebagai resolusi

Namanya Wu-Wei

Dalam Bahasa Indonesia, Wu-Wei berarti tidak melakukan apa-apa. Filsafat ini dibuat oleh Lao-tze dan tertulis dalam kitab Tao Te Ching. Tapi, jangan salah paham dulu. Wu-wei bukan mengajak kamu, kamu, dan kamu untuk rebahan.

Lao-tze menjelaskan jika bahwa pada dasarnya hidup mengalir sesuai hukum alam. Pohon yang tumbuh di sekitar kita, air sungai yang mengalir, dan burung di udara hanyalah sebagian kecil contoh tentang bagaimana prinsip Wu-wei bekerja.

Artinya, seyogyanya manusia berpikir dan bertindak sebagaimana perilaku alami. Artinya tidak ngotot dan memaksakan kehendak.

Mengapa Hal Ini Penting?

Dalam dunia modern, tuntutan kerja seringkali menimbulkan beban yang berat. Baik secara fisik maupun psikis. Namun, ia tetap harus dijalankan agar hidup kita aman-aman saja.

Namun, yang terjadi seringkali beban yang muncul tidaklah nyata. Hanya sebatas lintasan pikiran saja. Namanya, Over thinking. Alias mengkhwatirkan hal-hal yang seharusnya tidak perlu.

Wu-wei mengajarkan beberapa prinsip yang seharusnya dijalankan, agar diri ini tidak terlalu terbebani dengan segala bentuk modernisasi zaman.

Apa yang kita khawatirkan belum tentu terjadi

Saya teringat dengan sebuah kutipan dari Bhante Uttamo, "99% dari kekhwatiran belum tentu menjadi kenyataan. Sisa 1% akan menyesuaikan dengan kemampuan kita untuk menanganinya."

Artinya, terkadang manusia terlalu memikirkan hal yang sebenarnya tidak perlu. Terlalu banyak scenario yang bertumpah ruah dalam otak yang hanya sebesar batok kelapa.

Tidak semua hal berada dalam kendali

Manusia sudah terbiasa tidak nyaman jika hidup ini berjalan tidak sesuai harapan. Padahal harus diingat bahwa tidak semua hal berada dalam kendali kita.

Hujan turun di saat yang tidak tepat. Permainan sepak bola akbar akan segera berlangsung. Akhirnya, Rara sang pawang hujan kena semprot. Terlebih lagi, Tuhan pun dimaki. Medsos bergetar, postingan menjadi viral.

Apakah dengan makian hujan bisa berhenti? Tentu saja tidak. Hujan adalah kejadian alamiah, ia tidak akan pernah berhenti jika waktunya tiba. Namun, pikiran kita mampu untuk membuatnya berhenti. Cukup bersabar, sepuluh menit kemudian tidak akan terasa menyiksa.

Biarkan Mengalir

Lao-tze mengatakan, "kebahagiaan tertinggi adalah menjadi seperti air. Memberikan manfaat bagi bermacam hal di dunia ini." (Tao Te Ching 8).

Tentu saja tanpa air, tanaman tidak bisa bertumbuh. Tanpa air, kekeringan akan menjadi bencana. Tanpa air, manusia tidak akan bisa hidup. Namun, Lao-tze mengajak kita untuk berpikir lebih jauh lagi, yakni mengikuti sifat alami dari air.

Air bisa mengikuti bentuk wadahnya. Artinya, manusia seharusnya bisa lebih fleksibel dalam menjalani kehidupan.

Air mengalir dari atas turun ke bawah. Hal ini berarti bahwa manusia tidak seharusnya mengingkari kenyataan. Harapan bisa setinggi langit, namun jangan lupa untuk membeli pesawat ulang-alik.

Air yang lembut dapat mengikis batu. Kesabaran menjadi penting. Jika waktunya tiba, maka semua akan terjadi. Anda hanya perlu melakukannya sedikit demi sedikit.

Hidup Saat ini

Teman-teman meditator seringkali menyarankanku untuk selalu Mindfulness. Meyadari hidup kita di saat ini. Awalnya saya tidak paham dengan makna ini. Bukankah tanpa disuruh, kita sudah hidup di saat ini?

Ternyata, mereka benar. Saya tidak pernah hidup di saat ini. Pikiran saya rajin mengembara kesana kemari melintas dimensi. Padahal seharusnya semua upaya berfokus kepada apa yang sedang kita hadapi.

Upekkha

Dalam Buddhisme, ada sebuah istilah yang disebut dengan Upekkha alias Keseimbangan batin. Pada dasarnya pikiran manusia terbentuk dari pengalaman batin. Berbagai hal yang sudah dijalani akan menjadi standar terhadap sesuatu yang layak.

Sayangnya, standar ini bersifat ganda. Itu karena setiap pegalaman batin manusia tidak pernah ada yang sama. Padahal jika ditilik lebih dalam, setiap kejadian yang kita alami pada dasarnya sama. Ia hanyalah sebuah fenomena yang timbul tenggelam dan berulang-ulang.

Upekkha mengajak diri untuk tidak berasumsi, tidak berpersepsi, tidak menilai. Melihat semua kondisi sebagaimana kondisi. Kemacetan di jalan tidak perlu dianggap kemalangan. Cukup berhenti sejenak dan menikmati jalanan.

Wasana Kata

Dengan demikian, tidak melakukan apa-apa bukan berarti menjadi orang yang apati. Heninglah sejenak, nikmati kehidupaan pada momen ini. Sadarilah bahwa segala sesuatu sudah memiliki porsinya sendiri.

Berjalanlah dengan penuh kehati-hatian sesuai dengan arah yang tepat. Tidak mudah terdistrasksi dengan asumsi yang belum tentu pasti. Nikmati saja hidup, apa yang sedang terjadi. Alam bergerak harmonis, dan seharusnya kita pun demikian.

Langkah terakhir yang kamu bisa lakukan adalah; ambillah secarik kertas buatlah resolusimu dengan menuliskan WU-WEI sebesar-besarnya.

**

Acek Rudy untuk Inspirasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun