Fanny menoleh dengan malas. "Saya tidak mau disuntik, dokter. Biarkan saya mati."
Peter tersenyum sambil mengangkat bahu. "Nona manis, kematian tidak perlu dikejar. Kalau sudah tiba saatnya, malaikat maut akan datang sendiri."
"Kalau saya ingin mati sekarang?"
"Orangtuamu tentu sedih."
"Orangtua? Orangtua yang mana?" Fanny tertawa sinis.
Tawanya semakin menjadi ketika ia melihat perubahan wajah Peter.Â
"Bingung? Aku sendiri juga bingung. Sejak usaha papa maju, aku punya mama yang kedua, ketiga, keempat. Dan mama rupanya penganut emansipasi yang membabi buta. Mama ikut wiraswasta, buka butik, buka salon. Sekarang, aku punya papa yang kedua, yang ketiga. Yang terakhir ini umurnya malah sebaya dengan aku."
Susah payah Peter menyembunyikan rasa kagetnya. Ia lahir dalam keluarga yang harmonis, penuh kehangatan kasih, dan selalu rukun.
Ketika usia remaja dan mulai mengenal asmara, ia mempersembahkan kepada gadisnya cinta yang putih, memberinya kasih yang suci. Gadis yang dikasihinya itu membalas dengan cinta kasih yang sama.
Ia hidup di tengah orang-orang yang betul-betul mengasihi dan dikasihinya, dalam lingkungan yang penuh pengertian dan kedamaian. Istilah-istilah broken home, broken heart, hanya dikenalnya dalam cerita.
"Tidak ada yang sedih kalau saya mati, dokter. Dokter tidak perlu lagi berusaha menyembuhkan saya sebab hal itu akan menambah beban orangtua saya. Sebaiknya dokter bunuh saya saja. Jika saya mati, itu artinya berkurang seorang anak terlantar yang harus disumbang orangtua saya setiap bulan. Secara tidak langsung, dokter juga membantu meringankan beban mereka, bukan?"