Alih-alih membalas sapaan Diana dengan kata-kata, Anjar menatap gadis itu lekat-lekat. Seketika Diana merasa detak jantungnya berpacu dengan cepat.
Sepasang telaga bening di wajah itu. Sepasang telaga yang tenang dan dalam, yang selalu membuat Diana ingin berlama-lama berenang di sana.
“Diana …,” suara Anjar tercekat saat melihat kehadiran Diana, “Apa kabar?”
“Kabar baik,” jawab Diana lirih. Diam-diam dia sibuk menenangkan hatinya yang tiba-tiba berdegup kencang.
Anjar memainkan lagu “Diana” yang selalu dia nyanyikan saat masih bersama dulu. Ada sesuatu yang menyelinap dalam hati Diana.
Apakah rasa yang telah terpendam di lubuk hatinya kini muncul lagi di permukaan? Apakah ini waktunya Tuhan menghadirkan seseorang kembali dari masa lalunya.
Jujur, Diana memang belum mampu menepiskan rasa itu dari hatinya. Diana pernah terluka karena hubungan mereka ditentang oleh kedua orangtua Anjar, tetapi rasa cinta itu masih bersemayam di kalbunya.
Sejak perpisahan mereka, Diana tidak pernah mendengar lagi kabar Anjar. Diana berusaha untuk melupakan semua tentang Anjar dan keluarganya.
Diana memandang gitar yang dibawa Anjar.
“Kamu heran melihatku sambil membawa gitar ini, Diana?” Anjar bertanya sambil memandang Diana. Diana hanya tersenyum dan mengangguk perlahan.
“Seluruh harta keluargaku habis, Di. Perusahaan Ayah terlilit utang dan akhirnya pailit. Rumah dan seluruh aset keluarga disita untuk membayar utang,” papar Anjar pelan sambil menundukkan kepalanya, “Selain menyanyi di café sekarang aku juga menyanyi keliling begini.”
“Ya, Tuhan ternyata benar apa kata pepatah bahwa hidup itu laksana roda yang terus berputar. Kadang kita ada di bawah dan kadang pula kita berada di atas. Oleh karena itu kita harus bisa mengatur hidup kita sebaik-baiknya,” batin Diana.