Mohon tunggu...
Inspirasiana
Inspirasiana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer Peduli Edukasi.

Kami mendukung taman baca di Soa NTT dan Boyolali. KRewards sepenuhnya untuk dukung cita-cita literasi. Untuk donasi naskah, buku, dan dana silakan hubungi: donasibukuina@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Nostalgia Cinta di Atas Kereta (II - Tamat)

11 Oktober 2022   06:00 Diperbarui: 11 Oktober 2022   06:09 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nostalgia cinta di kereta | sumber foto: wirestock/Freepik

Sebelum membaca lebih lanjut, silakan baca bagian sebelumnya: Nostalgia Cinta di Atas Kereta (I)

Sejak berangkat tadi, Diana sangat lemas. Entah karena tidak kuasa menahan rindu atau barangkali terlalu lelah sebab perjalanan dari indekosnya ke stasiun harus ditempuh melawan hujan sampai seluruh bajunya sempat basah. 

Saat tiba di stasiun Tugu tadi, ia pergi ke toilet untuk mengganti baju.  Setelah selesai, ia duduk di peron dan langsung memejamkan mata.

Ia tidak sanggup menahan kantuk yang sedari tadi secara tidak sadar membuat kepalanya terangguk-angguk. Belum lama ia berusaha tidur, terdengar suara seorang lelaki. Rupanya, kereta sudah hampir memasuki Stasiun Kota di Jakarta.

"Diana, Diana, kekasihku bilang pada orangtuamu," senandungnya seraya memetik gitar kecil di tangan.

Diana tiba-tiba kaget. Matanya yang sudah bulat dan besar itu terbelalak, terlihat semakin besar, seperti tidak menyangka siapa sosok lelaki yang sedang berdiri dan bernyanyi di depannya. 

Laki-laki yang kerap menemani mimpi-mimpinya sejak kelas satu SMA itu berada tepat di hadapannya. Diana tidak tahu dari mana laki-laki itu muncul.  Rasa rindu kepada ibu dikalahkan oleh rasa herannya.

Apakah ini masih bagian dari mimpi dalam lelapnya yang sesaat? Diana mencubit lengannya sendiri untuk memastikan. Tidak! Ini sungguh-sungguh terjadi. Laki-laki itu, kenapa muncul lagi di saat seperti ini. Dari mana dia, mengapa bisa mendadak ada di sini?

“Anjar kau …,” Dengan pelan Diana mencoba menyapa. 

Tak sampai selesai kalimatnya dibalas senyuman manis Anjar. Iya senyum itu pun masih sama. Masih berhasil menggoyahkan hatinya.

“Ah …Tuhan, mengapa setelah sekian lama, dia muncul lagi,” batin Diana bergejolak antara rindu dan tanya.

Alih-alih membalas sapaan Diana dengan kata-kata, Anjar menatap gadis itu lekat-lekat. Seketika Diana merasa detak jantungnya berpacu dengan cepat.

Sepasang telaga bening di wajah itu. Sepasang telaga yang tenang dan dalam, yang selalu membuat Diana ingin berlama-lama berenang di sana.

“Diana …,” suara Anjar tercekat saat melihat kehadiran Diana, “Apa kabar?”

“Kabar baik,” jawab Diana lirih. Diam-diam dia sibuk menenangkan hatinya yang tiba-tiba berdegup kencang.

Anjar memainkan lagu “Diana” yang selalu dia nyanyikan saat masih bersama dulu. Ada sesuatu yang menyelinap dalam hati Diana. 

Apakah rasa yang telah terpendam di lubuk hatinya kini muncul lagi di permukaan? Apakah ini waktunya Tuhan menghadirkan seseorang kembali dari masa lalunya.

Jujur, Diana memang belum mampu menepiskan rasa itu dari hatinya. Diana pernah terluka karena hubungan mereka ditentang oleh kedua orangtua Anjar, tetapi rasa cinta itu masih bersemayam di kalbunya. 

Sejak perpisahan mereka, Diana tidak pernah mendengar lagi kabar Anjar. Diana berusaha untuk melupakan semua tentang Anjar dan keluarganya.

Diana memandang gitar yang dibawa Anjar.

“Kamu heran melihatku sambil membawa gitar ini, Diana?” Anjar bertanya sambil memandang Diana. Diana hanya tersenyum dan mengangguk perlahan.

“Seluruh harta keluargaku habis, Di. Perusahaan Ayah terlilit utang dan akhirnya pailit. Rumah dan seluruh aset keluarga disita untuk membayar utang,” papar Anjar pelan sambil menundukkan kepalanya, “Selain menyanyi di café sekarang aku juga menyanyi keliling begini.”

“Ya, Tuhan ternyata benar apa kata pepatah bahwa hidup itu laksana roda yang terus berputar. Kadang kita ada di bawah dan kadang pula kita berada di atas. Oleh karena itu kita harus bisa mengatur hidup kita sebaik-baiknya,” batin Diana.

“Bapak … ditunggu Ibu di café,” Seorang bocah tiba-tiba mendekati mereka.

“Ini anakku, Diana. Raysa kenalkan, ini Tante Diana kawan Ayah saat sekolah dulu,” ujar Anjar memperkenalkan Diana. Bocah kecil itu menyalami Diana.

Hati Diana tercekat saat mengetahui Anjar sudah mempunyai keluarga. Dia harus mengubur kembali asa yang sempat hadir dalam hatinya. Diana tetap yakin, suatu saat nanti, Tuhan akan menghadirkan jodoh yang sesuai dengan harapannya.

Cinta yang mengajarinya kebijaksanaan baru, mengubahnya menjadi lebih baik, membuatnya merasakan keindahannya beserta seluruh duri dan rasa sakitnya dan membutuhkan waktu seumur hidup untuk sembuh. Karena cinta tak harus memiliki.

Diana melangkah menyusuri Stasiun Kota. Didengarnya suara kereta api membelah malam. Diana memandang purnama yang memberikan sinar di kegelapan. Baginya sekarang kerinduannya pada Ibu harus segera terobati.

Tamat

Cerpen ini merupakan hasil kolaborasi beberapa anggota Komunitas Inspirasiana. 

Penyunting: Nina Sulitiati

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun