“Ya, bahkan lebih daripada itu, Tuhan menyediakan lebih dari yang kuharapkan. Ia menyediakan seorang gadis manis sehingga hari-hariku jadi ceria. Febi, tiba-tiba aku jadi teringat sesuatu.”
“Apa itu?”
“Sebuah peribahasa: asam di gunung, garam di laut. Bertemu juga dalam periuk. Seperti itulah kita, ya?”
Saat itu, Febi hanya tersipu. Tetapi ia merasa sangat bahagia.
“Febi, kau percaya bahwa kau diciptakan dari tulang rusukku? Namun, karena kita memilih orangtua yang berlainan bangsa, maka jadilah kita terpisah begitu lama. Tetapi sebandel-bandelnya kita, toh, akhirnya kita dipertemukan juga.”
“Ngaco, ah! Memangnya kita yang memilih orangtua kita?” balas Febi sambil tertawa.
George membuka mulut, masih ingin membantah. Tetapi Febi buru-buru menutup mulut itu dengan telunjuknya.
Febi menghela nafas. Saat itu, mereka begitu yakin bahwa Febi memang diciptakan dari tulang rusuk George. Karena itu, tidak ada yang dapat memisahkan mereka. Tidak juga orangtua George serta papa dan mama Febi .
Ke mana perginya keyakinan itu sekarang? Tanya Febi dengan hati nelangsa. Tidak ada yang mampu menjawabnya.
Febi memejamkan mata, memaksakan diri larut dalam tidur yang tidak lelap.
Bersambung ke: Melewati Deru Prahara (IV - Tamat)
Siska Dewi untuk Inspirasiana