Sebelum membaca lebih lanjut, silakan baca dua bagian pertama:
Febi menghela nafas panjang. Ia tahu, George bermaksud baik. George meninggalkannya dengan maksud memberinya kebahagiaan.
Tetapi tidak adakah jalan lain yang lebih baik? Kenapa harus perpisahan yang mereka tempuh?
Apakah George kira ia dapat merobek lembaran-lembaran kisah manis mereka yang ditulisnya selama lima tahun, semudah seorang bocah merobek bukunya? Masih adakah kebahagiaan yang akan menyapanya, jika ia melangkah sendiri menyusuri hari-hari panjang yang sepi, tanpa George?
Febi memejamkan mata. Diusapnya mukanya berulang kali. Dicobanya melupakan George barang sedetik.
Tetapi bayangan cowok terkasih itu terus saja mengusiknya. Sedang apakah George sekarang? Membenahi pakaian dan merencanakan terbang ke negerinya besok pagi-pagi?
Apakah tidak berat baginya meninggalkan bumi nusantara dan gadis yang sangat dikasihinya? Benarkah ia akan kembali ke dalam pelukan salju putih yang dingin?
Ah, Tuhan .. benarkah Engkau tidak menghendaki kami bersatu? Lalu, apa sebenarnya kehendakMu?
Febi ingat, pada awal musim bunga mereka, George pernah bercerita.
“Ketika aku mendengar Papa akan ditugaskan ke negaramu, aku sedih sekali, meski aku sudah banyak mendengar tentang keindahan negeri ini, tentang keramahan penduduknya. Tetapi, rasanya tetap ada sesuatu yang mengganjal: dapatkah aku menyesuaikan diri?”
“Tetapi nyatanya kau tidak mengalami kesulitan dalam hal itu, bukan?”
“Ya, bahkan lebih daripada itu, Tuhan menyediakan lebih dari yang kuharapkan. Ia menyediakan seorang gadis manis sehingga hari-hariku jadi ceria. Febi, tiba-tiba aku jadi teringat sesuatu.”
“Apa itu?”
“Sebuah peribahasa: asam di gunung, garam di laut. Bertemu juga dalam periuk. Seperti itulah kita, ya?”
Saat itu, Febi hanya tersipu. Tetapi ia merasa sangat bahagia.
“Febi, kau percaya bahwa kau diciptakan dari tulang rusukku? Namun, karena kita memilih orangtua yang berlainan bangsa, maka jadilah kita terpisah begitu lama. Tetapi sebandel-bandelnya kita, toh, akhirnya kita dipertemukan juga.”
“Ngaco, ah! Memangnya kita yang memilih orangtua kita?” balas Febi sambil tertawa.
George membuka mulut, masih ingin membantah. Tetapi Febi buru-buru menutup mulut itu dengan telunjuknya.
Febi menghela nafas. Saat itu, mereka begitu yakin bahwa Febi memang diciptakan dari tulang rusuk George. Karena itu, tidak ada yang dapat memisahkan mereka. Tidak juga orangtua George serta papa dan mama Febi .
Ke mana perginya keyakinan itu sekarang? Tanya Febi dengan hati nelangsa. Tidak ada yang mampu menjawabnya.
Febi memejamkan mata, memaksakan diri larut dalam tidur yang tidak lelap.
Bersambung ke: Melewati Deru Prahara (IV - Tamat)
Siska Dewi untuk Inspirasiana
Cerpen ini telah dimuat di Album Cerpen “Anita Cemerlang” edisi 159, 18 April 1985
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI