Mohon tunggu...
Inspirasiana
Inspirasiana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer Peduli Edukasi.

Kami mendukung taman baca di Soa NTT dan Boyolali. KRewards sepenuhnya untuk dukung cita-cita literasi. Untuk donasi naskah, buku, dan dana silakan hubungi: donasibukuina@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sepotong Kisah Lama (III)

4 Oktober 2022   06:00 Diperbarui: 4 Oktober 2022   06:22 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sepotong kisah lama | Ilustrasi oleh Yoanna Yudith

Sebelum membaca lebih lanjut, silakan baca dua bagian sebelumnya:

Sepotong Kisah Lama (I)

Sepotong Kisah Lama (II)

Keduanya membisu. Lapangan basket yang lengang, pepohonan hijau yang rindang, dan bangku taman berwarna hijau, semua sabar menunggu terciptanya episode mereka yang kesekian.

Vava menghembuskan nafas berat. Ia tengadah, memandang langit biru di atasnya. Tadi, suara Ferry terdengar sangat tenang ketika menyampaikan salam dari seorang teman lamanya. Jo!

Baca juga: Angelia

Ah, pemuda terkasih! Vava mengeluh dalam hati.

Betapa ia berbeda dengan Jo. Ia memang belum tahu sama sekali tentang masa lalu Jo dan Vava. Selama ini Vava merasa tak perlu menceritakannya. Bahkan kalau bisa, ia ingin menganggap kisah lama itu tak pernah ada. Tapi kini…

“Kau ingin tahu siapa Jo?” tanyanya kemudian.

Baca juga: [RTC] Rahasia Ayah

“Kalau kau merasa aku perlu mengetahuinya.”

Vava menelan ludah. Ferry selalu begitu. Selalu lembut, penuh perhatian dan tak pernah memaksakan kehendaknya. Tapi itu justru membuat Vava tak sanggup merahasiakan apa pun terhadapnya.

Maka meluncurlah kata-kata itu, kisah lamanya dengan Jo, keluar dari mulutnya. Ferry mendengarkan dengan sabar, penuh perhatian. Padahal semalam ia telah mendengarkan kisah yang sama, dari mulut Jo.

“Aku mengerti perasaanmu,” katanya dengan lembut, setelah Vava selesai bercerita. “Wajar kalau waktu itu hatimu sakit dan kecewa. Tapi sakit hati itu akan menggerogoti jiwa jika kita terus-menerus memendamnya.”

“Tapi aku sudah berusaha menutupi luka itu dan melupakannya.”

“Tapi ternyata luka itu menganga kembali setelah kau melihat Jo, bukan? Dan semua rasa kecewa, sakit hati, dendam, yang selama ini terpendam dan terlupakan, kini muncul kembali ke permukaan.” Ferry berkata dengan emosi terkendali dan senyum bijak. “Keadaan akan menjadi sebaliknya jika kau dengan tulus memaafkannya.”

“Memaafkannya?” mata Vava terbelalak. “Tidak! Sampai kapan pun aku tidak akan memaafkannya!”

“Dendam, eh? Itu tidak baik.”

“Kau bisa berkata begitu, Fer. Karena kau tidak mengalaminya ….”

“Apakah tidak ada maaf bagi seseorang yang sungguh-sungguh menyesali kesalahannya?”

“Menyesali kesalahannya? Fer, aku tidak tahu berapa banyak kebohongan yang diceritakannya kepadamu dalam perkenalan kalian yang singkat itu. Tapi pengalaman masa lalu mengajarkan kepadaku untuk tidak mudah memercayai kata-katanya. Ia terlalu pandai bersandiwara. Dan orang berhati polos macam kau … tentu mudah termakan oleh kebohongannya.”

“Vava … Vava …” Ferry menggeleng-geleng dengan senyum sabar.

“Apakah kau juga tidak akan percaya, kalau kukatakan bahwa sekarang dia kuliah di Seminari?”

Apa? Vava terbelalak dengan hati tak percaya. Jo sekarang kuliah di Seminari? Manusia yang pernah dicintai, kemudian dibenci dan dikutukinya habis-habisan, akan menjadi pendeta? Tuhan, mukjizat apa ini?

“Aku telah memberinya alamatmu,” Ferry tersenyum ketika dilihatnya mata Vava yang melebar. “Maafkan kalau kau menganggapku terlalu lancang. Tapi Jo ingin sekali bicara denganmu, sebagai teman lama.”

“Jadi, dia juga tahu tentang kita?”

“Tentu saja dia harus tahu. Setidaknya itu akan mengurangi rasa berdosanya padamu.”

“Kau tidak keberatan dia datang ke rumah dan berbicara empat mata denganku?”

Polosnya pertanyaan itu! Ferry tersenyum menepuk pundak gadisnya, nona kecilnya yang terkasih.

“Kenapa harus keberatan? Aku percaya padamu, juga pada Jo. Calon pendeta bukan playboy yang patut dicemburui. Gadisku bukan gadis yang mudah goyah yang setiap saat harus diawasi.”

***

Sepotong kisah lama | Ilustrasi oleh Yoanna Yudith
Sepotong kisah lama | Ilustrasi oleh Yoanna Yudith

“Jo!” Dada Vava terlonjak ketika didengarnya suara mama dari ruang depan.

Jadi, akhirnya dia betul-betul datang. Sekadar ingin meminta maaf pada seorang teman lama yang pernah disakitinya?

Atau ingin mengumpulkan kembali puing-puing kenangan lama? Ah, Vava tak mengharapkan kemungkinan terakhir itu.

“Vava,” suara mama disusul ketukan di pintu. “Lihat siapa yang datang.”

Setelah menyisir rambut dan merapikan pakaiannya yang agak kusut, Vava melangkah ke luar. “Jo, Ma?”

“Ya,” mama menatapnya lembut. “Bersikaplah wajar kepadanya.”

“Ya, Ma.”

Jo tersenyum agak kikuk ketika Vava berdiri di hadapannya.

“Hai,” suara yang amat tenang itu membuat Jo menelan ludah.

Betapa beda dengan sikapnya ketika melihat Jo di kampusnya. Waktu itu, Jo merasa Vava melihatnya seperti melihat setan.

Apakah perubahan ini karena Ferry? Pemuda itu memang sangat baik dan sangat pantas mendampingi Vava.

“Apa kabar?” pertanyaan Vava menyentakkan lamunannya. Gadis itu sudah duduk di hadapannya.

“Seperti yang kau lihat,” Jo tersenyum hambar.

Gadis ini, keluhnya, betapa asingnya kini! Padahal, seabad yang lalu …

“Lama sekali tidak berjumpa, ya?” Jo berusaha membuka pembicaraan.

Bersambung .......

Siska Dewi untuk Inspirasiana

Cerpen ini pernah dimuat di Album Cerpen “Anita Cemerlang” edisi 168,  1 Agustus 1985

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun