Mohon tunggu...
Inspirasiana
Inspirasiana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer Peduli Edukasi.

Kami mendukung taman baca di Soa NTT dan Boyolali. KRewards sepenuhnya untuk dukung cita-cita literasi. Untuk donasi naskah, buku, dan dana silakan hubungi: donasibukuina@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sepotong Kisah Lama (II)

3 Oktober 2022   06:00 Diperbarui: 3 Oktober 2022   19:23 456
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelum membaca lebih lanjut, silakan baca bagian sebelumnya: Sepotong Kisah Lama (I)

Vava memandangi mobil Jo yang menjauh sambil memegangi bingkai pintu. Ada sesuatu yang lain dirasakannya. Simpatinya pada Jo yang mulai tumbuh.

Barangkali pelajaran, organisasi dan nona-nona cantik menyita hampir seluruh waktunya. Tapi jauh di balik semua itu ternyata ia masih menyayangi dan memikirkan adiknya. Hal itu membuat Vava merasa patut menghargainya.

Baca juga: Angelia

Sejak itu, Jo selalu setia mengantar Melin ke rumah Vava. Kadang-kadang ia hanya mengantar, lalu pergi menunaikan segala kegiatannya, dan menjemput setelah pelajaran Melin selesai. Tapi tak jarang ia menunggu dengan sabar di rumah Vava, sambil menemani mama bercerita.

“Di rumah ini, aku menemukan sesuatu yang selama ini kucari di tempat-tempat lain tapi tak pernah kutemukan,” kata Jo padanya suatu hari.

“Kehangatan kasih, Vava. Kasihmu kepada anak-anak, kasih mama kepadamu. Aku… kalau saja sebagian dari kasih itu boleh kumiliki…”

Hati Vava tersentuh oleh rasa kasihan. Tiba-tiba ia ingin sekali menghibur Jo. “Kasih itu ada di mana-mana, Jo.”

Baca juga: [RTC] Rahasia Ayah

“Tadinya aku juga berpikir begitu,” Jo menatapnya. “Kau mau mendengarkan aku?”

Vava menatap mata lelah di hadapannya. Benang-benang harapan yang teranyam di wajah itu… Vava tidak tega memutuskannya. “Berceritalah.”

“Sejak kecil aku selalu kesepian, Vava. Papa dan mama selalu sibuk dan tak pernah mempunyai waktu untukku. Aku sering membayangkan, betapa senangnya kalau aku memiliki seorang adik untuk teman bermain. Tapi ketika Melin lahir, kerinduanku akan seorang adik kecil sudah hampir pudar. Aku merindukan sesuatu yang lain, kasih yang memesona dan membahagiakan, seperti yang sering kubaca dalam cerita-cerita remaja.”

Jo menarik nafas panjang. “Aku mulai memburunya dan berharap dapat menemukannya dalam diri nona-nona cantik yang kudekati. Kadang-kadang, aku merasa seperti sudah mendapatkannya. Tapi semua itu tak pernah berumur panjang. Aku lelah, Vava. Lelah sekali.”

Tanpa sadar tangan Vava telah terulur memegang tangan Jo. “Jangan biarkan kelelahan menekanmu terus menerus, Jo. Masa lalu, biarkanlah berlalu. Yang penting adalah meyakinkan diri untuk menghadapi yang terjadi, dan melangkah lagi dengan lebih pasti.”

Hari-hari selanjutnya dalam hidup mereka adalah masa-masa yang penuh semangat dan tawa ceria. Jo tidak lagi menghabiskan waktunya untuk memburu nona-nona cantik. Kalau tidak untuk pelajaran dan organisasi, seluruh waktunya diperuntukkan bagi Vava dan Melin.

Jo memang telah berubah. Gereja yang dulu tidak pernah ada dalam kamusnya, kini pun mulai diakrabinya.

Lalu di sekolah muncul berita baru yang mengejutkan. Johanes Gunawan, Arjuna penakluk nona-nona cantik akhirnya bertekuk lutut di depan seorang gadis sederhana, debu perpustakaan yang selalu luput dari perhatian.

Entah kenapa, Jo dan Vava tidak merasa terganggu oleh berita itu.

Sampai suatu malam, di bawah cahaya bulan yang berwana perak keemasan, Jo berkata dengan nada gemetar dan gelisah.

“Melin sangat menyayangimu. Ia ingin sekali kau menjadi kakaknya.”

“Bukankah selama ini ia memang kuanggap sebagai adik sendiri?”

“Ya, tapi aku mengharapkan lebih dari itu.” Jo menatapnya lekat-lekat.

Vava tiba-tiba merasakan darahnya berhenti mengalir.

Pijar sejuta bintang dalam sepasang mutiara hitam itu… mama, betapa memesona!

Kemudian datang prahara itu. Dimulai dengan kunjungan-kunjungan Jo yang jarang. Lalu keluhan-keluhan Melin bahwa kakaknya itu mulai tak menyayanginya lagi.

Disusul dengan berita burung tentang kambuhnya penyakit Jo, kelana itu mulai mengembara lagi setelah sekian bulan melepaskan lelahnya!

Kenyataan itu menghempaskan Vava. Hatinya lebur bersama kehancuran mimpi-mimpi indah yang dibangunnya.

Jadi, bagi Jo ia tidak lebih dari sekedar tempat melepas lelah! Oh, oh, betapa tololnya ia!

Seiring dengan semakin mendekatnya masa ujian akhir SMA, ia memakai kesempatan itu untuk melepaskan semua murid privatnya. Vina, saudara sepupunya yang juga penyayang anak-anak, tidak keberatan mengambil alih tugas itu.

Vava menenggelamkan diri dalam buku-buku pelajarannya. Ia harus berjuang mati-matian untuk menutup mata dan telinga terhadap berita-berita yang gencar di sekolahnya. Berita-berita yang mencemoohkan kebodohannya.

Jo ternyata tidak pernah sedikit pun mencintainya. Sebelum merebut hatinya, Jo dengan mudah dapat menaklukkan nona-nona cantik di sekolah mereka dengan harta orang tuanya.

Teman-teman dekat Jo menantang, mengatakan bahwa mereka baru akan mengakui kehebatan Jo jika ia dapat menaklukan hati putri salju yang tak pernah memandang sebelah mata pun pada kemilau harta.

Vava menyesali dirinya. Ia telah lengah.

Senyum khas Jo, racun itu, betul-betul telah mematikan perasaan yang dimilikinya. Ia tidak akan dapat memaafkan Jo. Sampai kapan pun!

Ketika lulus ujian, berkali-kali Jo menghubunginya. Tetapi ia sudah bersumpah pada dirinya, tidak akan melihat muka manusia terkutuk itu lagi.

Baginya cinta pertama adalah warna paling putih. Tapi setelah jelaga hitam dari hati Jo bertabur di atas cinta yang disodorkannya… dengan apa pun tidak bisa dibersihkan lagi.

Setelah itu Jo pergi, menghilang bagai ditelan bumi.

Dengan kasih dan doa mama, Vava akhirnya bangkit kembali. Dengan bersandar pada kasih dan bimbingan Tuhan, ia melangkah lagi melalui lorong-lorong sepi dalam hidupnya. Perlahan-lahan, ia benahi kembali hatinya.

Vava mulai kuliah. Ia bertekad membuka lembaran baru dalam hidupnya. Kenangan-kenangan bersama Jo, ia lipat dan kuburkan rapi-rapi bersama puing-puing cinta pertamanya.

Vava berhasil. Tarumanagara menyambutnya dengan hangat dan ramah. Almamater itu makin hari makin mencintai dan dicintainya. Saudara-saudara di Voms, MEGA, Dharmayana, semua ramah kepadanya. Juga POUT yang selalu banjir kasih dan pengertian. Semua membantunya memendam kenangan lama, semakin dalam.

Hari-hari cerah penuh harapan dilaluinya di kampus tercinta ini. Sampai Ferry hadir menawarkan lembaran-lembaran seputih dan sehalus sutra untuk ditulisi bersama.

Bersambung ...

Siska Dewi untuk Inspirasiana

Cerpen ini pernah dimuat di Album Cerpen “Anita Cemerlang” edisi 168,  1 Agustus 1985

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun