Jo menarik nafas panjang. “Aku mulai memburunya dan berharap dapat menemukannya dalam diri nona-nona cantik yang kudekati. Kadang-kadang, aku merasa seperti sudah mendapatkannya. Tapi semua itu tak pernah berumur panjang. Aku lelah, Vava. Lelah sekali.”
Tanpa sadar tangan Vava telah terulur memegang tangan Jo. “Jangan biarkan kelelahan menekanmu terus menerus, Jo. Masa lalu, biarkanlah berlalu. Yang penting adalah meyakinkan diri untuk menghadapi yang terjadi, dan melangkah lagi dengan lebih pasti.”
Hari-hari selanjutnya dalam hidup mereka adalah masa-masa yang penuh semangat dan tawa ceria. Jo tidak lagi menghabiskan waktunya untuk memburu nona-nona cantik. Kalau tidak untuk pelajaran dan organisasi, seluruh waktunya diperuntukkan bagi Vava dan Melin.
Jo memang telah berubah. Gereja yang dulu tidak pernah ada dalam kamusnya, kini pun mulai diakrabinya.
Lalu di sekolah muncul berita baru yang mengejutkan. Johanes Gunawan, Arjuna penakluk nona-nona cantik akhirnya bertekuk lutut di depan seorang gadis sederhana, debu perpustakaan yang selalu luput dari perhatian.
Entah kenapa, Jo dan Vava tidak merasa terganggu oleh berita itu.
Sampai suatu malam, di bawah cahaya bulan yang berwana perak keemasan, Jo berkata dengan nada gemetar dan gelisah.
“Melin sangat menyayangimu. Ia ingin sekali kau menjadi kakaknya.”
“Bukankah selama ini ia memang kuanggap sebagai adik sendiri?”
“Ya, tapi aku mengharapkan lebih dari itu.” Jo menatapnya lekat-lekat.
Vava tiba-tiba merasakan darahnya berhenti mengalir.