“Aku dengar kau guru les,” Jo berkata tenang. “Kurasa kau tidak keberatan menerima adik bungsuku menjadi murid privatmu.”
“Maaf, Jo.” Vava menghela nafas. “Bukan aku tidak mau menerima adikmu. Tapi jadwalku sudah terlalu padat. Aku…”
“Cuma satu orang, Vava.” Jo memandangnya dengan mata membujuk.
“Kau tidak perlu datang ke rumahku kalau memang itu merepotkanmu. Aku yang akan mengantarnya ke sini kapan saja kau sempat. Atau… kau boleh menggabungkannya dengan grup yang sudah ada. Adikku pasti senang belajar bersama teman-teman baru dan aku yakin murid-muridmu yang sekarang pun tidak akan keberatan jika teman belajar mereka bertambah satu.”
Vava terdiam. Ia berpikir keras, apa kira – kira yang ada di balik tawaran Jo dan bagaimana menolak dengan alasan yang tepat. Jo pandai sekali berbicara.
“Aku tidak akan memaksamu, Vava.” Jo berkata setelah diam sejenak. “Mungkin kau ragu karena mendengar cerita-cerita sumbang tentang kehidupanku. Mungkin kau – seperti mereka - menganggap aku manusia brengsek.” Jo menghela nafas.
Sekilas Vava melihat kekecewaan dan kesedihan mengabut di wajahnya. “Tapi adikku berbeda dengan kakaknya, Vava. Melin, ia gadis kecil yang manis. Kau pasti akan menyukainya.”
“Masalahnya bukan itu, Jo. Tapi…”
“Kau tahu, Vava. Aku jarang di rumah. Papa dan mama juga selalu sibuk.” Mata Jo menerawang. “Kasihan Melin. Tidak ada yang mengajarinya kalau ia belajar di rumah.”
Vava kembali terdiam. Pandangan Jo, berbaur antara kekecewaan, kesedihan dan permohonan. Menerbitkan rasa iba di hati Vava.
“Tolonglah, Vava. Jangan melihat padaku. Lihatlah adikku yang kekurangan perhatian dan kasih sayang. Lihatlah rasa sayangmu pada anak-anak.”