“Vava”
Valerie menoleh. Senyumnya segera mengembang melihat Ferry melambai ke arahnya dari depan ruang sekretariat POUT (Persekutuan Oikoumene Universitas Tarumanagara).
Ia akan membatalkan niatnya ke perpustakaan dan bergabung dengan teman-temannya yang sedang berkumpul di ruang itu, kalau saja tidak terlihat olehnya sebuah kepala yang menoleh dan memandang dengan tertegun ke arahnya.
Johanes Gunawan! Nama itu kembali berdentang, memantulkan gema ke segala penjuru hatinya. Valerie menghela nafas panjang.
Dengan enggan ia membalas lambaian beberapa orang temannya yang sedang berada di ruang sekretariat POUT itu, lalu meneruskan langkah dengan hati tak menentu.
“Kenapa gadismu, Fer?” Gun bertanya pada Ferry dengan mata tertuju pada Valerie yang sudah menjauh.
Ferry tersenyum lucu sambil mengangkat bahu. Dipandanginya saja punggung Valerie – nona kecilnya yang terkasih – dengan hati penuh tanda tanya.
“Entah salah makan apa dia hari ini,” Linggar tertawa kecil. “Tidak biasanya dia begitu gugup dan melangkah terburu-buru.”
Di dalam elevator, Valerie bersandar pada dinding sambil mengatur nafasnya yang terengah- engah. Ia memejamkan matanya, menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya kuat-kuat.
Betapa inginnya ia melupakan kejadian tadi. Betapa inginnya ia mengatakan pada dirinya kalau tadi ia hanya bermimpi.
Tapi kepala yang tadi menoleh dan wajah yang memandang tertegun ke arahnya? Meski dari jarak yang agak jauh, Valerie dapat memastikan bahwa matanya tidak salah lihat.
Sepasang mata yang tadi sempat singgah sedetik di wajahnya, sempat memberitahukan Valerie kalau pemuda itu masih mengenalinya.
Ya! Ia memang Jo! Tapi, bagaimana mungkin ia bisa sampai ke tempat ini dan berbaur dengan keakraban anak-anak persekutuan Oikoumene di sini?
Keluar dari elevator, masih dengan hati tak menentu Valerie menyusuri koridor. Sampai di perpustakaan, ia memilih tempat duduk di pojok, menghadap ke arah jendela kaca yang terbuka lebar.
***
Semua penghuni sekolah mereka mengenal Johanes Gunawan. Jagoan dalam dalam pelajaran, jagoan dalam organisasi, juga jagoan dalam menaklukan hati nona-nona cantik.
Maka ketika suatu hari cowok itu muncul di rumahnya, Valerie merasa kaget dan waspada.
“Aku mengganggu?” Jo bertanya dengan senyum khasnya.
Senyum yang oleh beberapa temannya diibaratkan dengan lautan anggur yang memabukkan, bagi Vava adalah racun yang sewaktu-waktu bisa menamatkan riwayatnya jika ia lengah!
“Ada perlu apa?” tanyanya datar tanpa menjawab pertanyaan Jo.
“Aku dengar kau guru les,” Jo berkata tenang. “Kurasa kau tidak keberatan menerima adik bungsuku menjadi murid privatmu.”
“Maaf, Jo.” Vava menghela nafas. “Bukan aku tidak mau menerima adikmu. Tapi jadwalku sudah terlalu padat. Aku…”
“Cuma satu orang, Vava.” Jo memandangnya dengan mata membujuk.
“Kau tidak perlu datang ke rumahku kalau memang itu merepotkanmu. Aku yang akan mengantarnya ke sini kapan saja kau sempat. Atau… kau boleh menggabungkannya dengan grup yang sudah ada. Adikku pasti senang belajar bersama teman-teman baru dan aku yakin murid-muridmu yang sekarang pun tidak akan keberatan jika teman belajar mereka bertambah satu.”
Vava terdiam. Ia berpikir keras, apa kira – kira yang ada di balik tawaran Jo dan bagaimana menolak dengan alasan yang tepat. Jo pandai sekali berbicara.
“Aku tidak akan memaksamu, Vava.” Jo berkata setelah diam sejenak. “Mungkin kau ragu karena mendengar cerita-cerita sumbang tentang kehidupanku. Mungkin kau – seperti mereka - menganggap aku manusia brengsek.” Jo menghela nafas.
Sekilas Vava melihat kekecewaan dan kesedihan mengabut di wajahnya. “Tapi adikku berbeda dengan kakaknya, Vava. Melin, ia gadis kecil yang manis. Kau pasti akan menyukainya.”
“Masalahnya bukan itu, Jo. Tapi…”
“Kau tahu, Vava. Aku jarang di rumah. Papa dan mama juga selalu sibuk.” Mata Jo menerawang. “Kasihan Melin. Tidak ada yang mengajarinya kalau ia belajar di rumah.”
Vava kembali terdiam. Pandangan Jo, berbaur antara kekecewaan, kesedihan dan permohonan. Menerbitkan rasa iba di hati Vava.
“Tolonglah, Vava. Jangan melihat padaku. Lihatlah adikku yang kekurangan perhatian dan kasih sayang. Lihatlah rasa sayangmu pada anak-anak.”
Kini nurani Vava terusik. Kalau betul cerita Jo, kasihan sekali gadis kecil bernama Melin itu. Hati Vava selalu tergugah melihat anak-anak kecil yang kesepian pada saat mereka memerlukan perhatian.
Anak-anak itu, selalu membuatnya ingin mencurahkan waktu, perhatian dan seluruh kasih sayangnya.
“Kelas berapa adikmu?” tanyanya kemudian.
“Kelas dua,” Jo tersenyum. “Kami memang Cuma berdua, tapi umur kami terpaut jauh. Sepuluh tahun.”
Vava hanya tersenyum kecil menanggapinya.
“Ajaklah Melin ke sini setiap Senin, Rabu, dan Jumat sore. Kebetulan ada tiga anak lain yang juga kelas dua semua, jadi Melin bisa bergabung dengan mereka. Mudah-mudahan ia bisa menyesuaikan diri belajar di tempat seperti ini.”
“Ah, terima kasih, Vava!” Jo tersenyum dengan bibir dan matanya. Dijabatnya tangan Vava dengan hangat lalu minta diri.
Bersambung ke:
Sepotong Kisah Lama (IV - Tamat)
Siska Dewi untuk Inspirasiana
Cerpen ini pernah dimuat di Album Cerpen “Anita Cemerlang” edisi 168, 1 Agustus 1985
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H