3. Kesaksian korban dan satu alat bukti sudah cukup untuk menjerat pelaku
KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) membedakan barang bukti dan alat bukti. Barang bukti dalam KUHAP dijelaskan pada Pasal 39, sementara alat bukti diatur dalam Pasal 284. Sedangkan dalam UU TPKS, alat bukti itu adalah antara lain barang bukti,
Saat ini menurut pasal 45 UU TPKS, keterangan seorang korban sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah apabila disertai dengan satu alat bukti lainnya. Sebelumnya, kekerasan seksual dibuktikan dengan minimal dua alat bukti.Â
4. Pelaku kekerasan seksual kini dapat diminta juga membayar ganti rugi atau restitusi
Menurut pasal 47 UU TPKS, jenis ganti kerugian untuk korban dan atau keluarga korban kekerasan seksual meliputi:
a. uang sebagai ganti kerugian materiil dan immaterial; b. layanan Pemulihan yang dibutuhkan Korban dan/atau Keluarga Korban;
c. permintaan maaf kepada Korban dan/atau Keluarga Korban; dan d. Pemulihan nama baik Korban dan/atau Keluarga Korban.
Rrestitusi wajib dibebankan kepada pelaku kekerasan seksual. Adapun besarannya diputuskan oleh majelis hakim. Jika pelaku tidak memiliki cukup uang, dilakukan penyitaan dan pelelangan harta benda untuk membayar restitusi tersebut.
Hal ini adalah kabar gembira karena hak korban dan keluarganya lebih terjamin dan juga menambah beban hukuman bagi pelaku kekerasan seksual.
5. Penyelesaian perkara hukum secara "kekeluargaan" dilarang
Restorative Justice atau penyelesaian perkara hukum di luar pengadilan, antara lain dengan memaksakan perkawinan korban dengan pelaku perkosaan ataupun mengusir korban dari tempat tinggalnya kini dilarang.Â
UU TPKS melarang praktik penyelesaian kasus kekerasan seksual, yang dilakukan di luar pengadilan (biasanya dengan memberi uang ganti rugi agar korban dan keluarga bungkam).
Peran masyarakat dalam pasal 79 UU TPKS ini antara lain adalah memberikan pertolongan darurat, memberikan perlindungan, dan membantu proses pemulihan korban.
6. Adanya pidana tambahan kerja sosial