Meskipun tersenyum tapi kami bisa melihat perasaan sedih dan keletihan di sorot bola matanya.
"Bapak nggak bawa mi goreng?" tanya adikku.
"Ya, bapak nggak bawa hari ini. Nanti lain kali bapak bawakan ya, Nak" kata bapak sambil memandangi wajah kami bertiga.
30 tahun kemudian...
Setelah kini saya memiliki tiga orang anak, semakin aku merasakan apa makna kenangan dari 30 tahun yang lalu itu . Orang tua sering kali merasakan dilema dalam hidupnya.
Pada satu sisi mereka harus selalu tampak tegar di hadapan anak-anak yang selalu mengharapkan perlindungan dan sandaran dari mereka. Di sisi lain mereka juga merasakan letih, sedih, dan memerlukan tempat untuk mengadu.
Tapi semua orang tua yang lain juga memikul bebannya sendiri-sendiri. Bapak dan ibu yang selalu tampak biasa di hadapan anak-anak dan keluarganya, bisa jadi sering kali harus menumpahkan ratapan sambil memanjatkan doa menghadap ke tembok rumah untuk menyembunyikan air matanya.
Pada hari di mana bapak tidak membawa sebungkus mi goreng yang biasanya tergantung di setang sebelah kiri motor bututnya karena ia belum menerima gaji. Entah apa sebabnya saya juga tidak pernah menanyakannya.
Barangkali jemaat juga banyak mengalami kesulitan hidup sehingga persembahan pun tersendat. Bapak telah memberikan dirinya sepenuhnya bagi pelayanan sambil memikul tanggung jawab kepada keluarga.
Ia menerima pemeliharaan Tuhan atas hidupnya dari persembahan dan kemurahan hati jemaat. Namun, bapak tidak juga menjadi beban bagi jemaat karena ibu sudah terbiasa mengerjakan apa saja untuk memenuhi kebutuhan kami berlima.
Bagaimana pun, bapak ditemani motor bututnya telah sepenuh waktu menjadi pelayan jemaat. Tidak sempat mengolah ladang, karena jemaat dan segala pergumulannya adalah ladang pelayanannya.
Aku jadi merasa iri mengenangkan sepeda motor butut bapak. Dari sana aku menyaksikan dan belajar tentang arti mencintai dan menikmati panggilan hidup dengan pergumulannya sekaligus.