Mohon tunggu...
Inspirasiana
Inspirasiana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer Peduli Edukasi.

Kami mendukung taman baca di Soa NTT dan Boyolali. KRewards sepenuhnya untuk dukung cita-cita literasi. Untuk donasi naskah, buku, dan dana silakan hubungi: donasibukuina@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Kisahku di Penjara: Banyak yang Terlewatkan (Bagian 13)

23 Maret 2022   10:14 Diperbarui: 23 Maret 2022   10:27 431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ditahan di penjara sebenarnya tidak menyebabkan gugurnya hak politik termasuk hak memilih dalam sebuah pemilu. Hak politik ini bisa saja gugur apabila Majelis Hakim dalam putusannya mencabut hak politik terdakwa. 

Ini biasanya dikenakan kepada mantan pejabat publik (seperti menteri negara, kepala daerah, atau anggota legislatif) yang terkena kasus tindak pidana korupsi.

Pencabutan hak politik itu berlaku ketika terpidana korupsi itu telah menyelesaikan masa hukuman penjaranya. Dengan demikian setelah bebas dari penjara, mereka tidak dapat serta merta menggunakan hak politik mereka sebagai warga negara, misalnya saja mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau anggota legislatif.

Pada saat Pemilu 2019 saat saya masih berada di Rutan Kejati saya masih mendapatkan surat panggilan untuk mencoblos meski hanya untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan tempat pencoblosan di Tempat Pemungutan Suara (TPS) keliling.

Sedangkan untuk Pemilu Legislatif dan pemilihan Gubernur saya tidak bisa mencoblos karena faktor domisili. Adapun untuk pemilihan Presiden, hak suara saya pun akhirnya tidak bisa digunakan karena menjelang hari H pencoblosan saya dilayar dari Rutan Kejati ke Lapas Kelas 1 Surabaya di Porong, Sidoarjo.

Pada pemilu itu di Lapas Porong sebenarnya terdapat 3 TPS, namun tetap saja saya tidak dapat menggunakan hak pilih saya karena alasan keterbatasan surat suara. Pemilu kedua yang tidak bisa saya ikuti dalam arti menggunakan hak pilih yang saya miliki adalah pemilihan Bupati Bandung yang diselenggarakan dalam Pilkada Serentak Tahun 2020.

Kehilangan kesempatan menggunakan hak pilih dalam sebuah pemilu terasa sangat mengecewakan meski misalnya calon-calon yang saya dukung berhasil memenangkan kontestasi yang diikutinya.

Bagi saya pemilu bukan sekedar urusan kalah dan menang, akan tetapi lebih dari itu pemilu merupakan manifestasi dari kehendak rakyat dalam kerangka demokrasi negara. Karenanya bagi saya menggunakan hak pilih bukan semata-mata hak yang harus diperjuangkan, melainkan sebuah kewajiban sebagai seorang warga negara yang menghormati negaranya.

Sahabat pembaca, hal-hal di atas hanya sebagian dari banyak hal yang terpaksa terlewatkan karena keberadaan saya di penjara. Dan itu semua adalah bagian dari dinamika yang terjadi yang menyertai keberadaan saya di penjara.

Salam. Winardi. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun