Lanjutan kisah nyata Kang Win di penjara. Silahkan ikuti akun Inspirasiana untuk membaca lanjutan ceritanya.
Paradoks Nasi Bungkus (Melawan Dengan Sabar, Bagian 12)
Hari Jumat, 19 April 2019. Ini adalah hari ke-5 saya berada di Lapas Porong setelah dilayar dari Rutan Kejaksaan Tinggi Jawa Timur pada hari Senin,15 April 2019. Layaran yang saya jalani ini adalah proses eksekusi dengan telah inkrahnya (berkekuatan hukum tetap) perkara saya.
Tidak semua layaran merupakan proses eksekusi, karena ada yang hanya merupakan mutasi antar rutan atau lapas. Layaran semacam ini biasanya karena di rutan atau lapas sebelumnya seorang tahanan atau napi mempunyai masalah serius atau karena alasan tertentu yang bersangkutan minta dipindahkan.
Selama empat hari pertama itu saya ditempatkan di blok pengamanan dengan status Mapenaling (masa pengenalan lingkungan) selama 20 hari.Â
Selama Mapenaling, seorang napi harus berada di dalam kamar selama 24 jam penuh setiap harinya. Karenanya napi tersebut belum boleh dikunjungi oleh keluarganya.
Saya cukup beruntung karena saat masuk jumlah penghuni kamar termasuk saya hanya berjumlah 12 orang. Terasa sangat longgar.
Pada saat tertentu, yakni pada saat jumlah layaran yang masuk cukup banyak, kamar itu bisa diisi sampai 40 orang. Dengan jumlah 40 itu sangat mungkin tidak semua bisa tidur dengan berbaring.
Saya juga cukup beruntung karena pada hari keenam masuk layaran yang sangat banyak sehingga saya langsung 'bongkaran' (dikeluarkan) dari Mapenaling dan 'turun' ke blok hunian dan berstatus WBP penuh.
Ada satu kesempatan keluar kamar saat Mapenaling yaitu saat salat Jumat bagi yang muslim dan ibadah minggu bagi umat Kristiani. Ini seperti yang saya alami pada hari kelima itu. Kami para Mapenaling yang Muslim diizinkan mengikuti Salat Jumat di Masjid Lapas.
Saya menyaksikan pemandangan yang luar biasa. Masjid yang cukup besar itu penuh dengan jamaah sampai meluber ke selasar yang memisahkan jalan dengan lapangan bola. Pemandangan seperti itu terus saya saksikan selama beberapa bulan setelahnya.
Sampai pada suatu ketika jamaah salat Jumat turun drastis sampai kurang dari setengah biasanya. Apa yang menjadi penyebabnya? Penyebabnya ialah berhentinya pembagian nasi bungkus setelah Salat Jumat.
Alkisah beberapa bulan sebelum kedatangan saya, ada seorang napi dari Lapas Cipinang yang dilayar ke Lapas Porong. Napi inilah yang setiap Jumat bersedekah dengan menyediakan nasi bungkus.
Tidak tanggung-tanggung nasi yang disediakan adalah Nasi Bebek Sinjai yang terkenal itu. Saya coba menghitung jika satu porsi Bebek Sinjai itu Rp. 20.000 dan jumlah yang disediakan 1000 kotak, maka untuk satu Jumat itu si empunya niat bersedekah sebanyak Rp. 20 juta atau sebulan Rp. 80 juta.
Jika ia berada di Lapas Porong ini katakanlah selama 1 Â tahun maka bisa dihitung berapa jumlah uang yang dikeluarkan untuk sedekah "Jumat Barokah" yang diinisiasinya itu. Sedekah itu berakhir ketika ia meninggal dunia karena penyakit yang dideritanya. Semoga Almarhum diampuni segala dosanya, Amin.
Fenomena membludaknya jumlah jamaah masjid karena faktor nasi bungkus juga terjadi pada saat Ramadhan. Selama bulan itu masjid membagikan paket buka puasa berupa nasi bungkus, kurma, dan air mineral.
Paket buka bersama itu dibagikan ba'da salat Ashar. Saat salat Ashar itulah jamaah masjid membludak. Ini berbeda dengan saat salat Duhur yang kurang dari setengahnya. Saya berani mengatakan membludaknya salat berjamaah itu terjadi karena faktor paket buka puasa itu.
Tidak semua yang berjamaah itu berpuasa. Sering kali bisa disaksikan, beberapa orang dengan entengnya menyantap paket buka puasa itu di depan masjid sesaat selesainya salat Ashar.
Begitu Ramadhan berakhir maka berakhir pula membludaknya jamaah. Bahkan saat salat Idul Fitri, jamaah yang hadir tidak sebanyak salat Ashar di bulan Ramadhan.
Fenomena nasi bungkus ini juga bisa disaksikan di momen-momen lain saat masjid secara rutin menyediakannya. Misalnya pada acara Istighotsah setiap hari Senin dan Yasinan di hari Kamis. Acara-acara ini memang tidak terlalu menarik minat jamaah. Ini mungkin karena nasi bungkus yang disediakan sangat ala kadarnya, tidak seperti saat salat Jumat dan paket buka puasa Ramadhan.
Meski jumlah jamaah tidak terlalu banyak masih bisa dilihat ada jamaah yang hadir karena faktor nasi bungkus itu. Mereka ini hanya duduk bahkan mengobrol tanpa mengikuti bacaan-bacaan dalam acara itu. Sebagian lagi dengan serta merta meninggalkan acara yang belum selesai ketika nasi bungkus sudah diterimanya.
Tersedianya nasi bungkus untuk dibagikan kepada jamaah masjid dimungkinkan karena adanya beberapa WBP yang mengeluarkan infaq dan shodaqoh.Â
Katakanlah mereka benar-benar melakukannya dengan niat infaq dan sodaqoh (saya berharap memang seperti itu dan saya berdoa semoga infaq dan shodaqoh mereka diterima oleh Allah SWT), mereka tentu punya harapan bahwa infaq dan shodaqoh mereka setidaknya bisa menjadi stimulan dalam upaya memakmurkan masjid.
Lebih dari itu tentu mereka sangat berharap saudara-saudara seimannya bisa meningkat kesadaran beragamanya dan pada ujungnya bermuara kepada meningkatnya keimanan.
Persoalannya adalah harapan mereka (yang berinfaq dan shodaqoh dalam penyediaan nasi bungkus) ternyata jauh panggang dari api. Dalam skala minimal harapan mereka untuk memakmurkan masjid tidak bisa dicapai, apalagi lebih jauh dari itu berharap meningkatnya kesadaran beragama yang berujung kepada meningkatnya keimanan dari saudara-saudaranya sesama WBP.
Salahkah mereka yang berinfaq dan bershodaqoh untuk penyediaan nasi bungkus itu ? Saya kira tidak. Selama mereka melakukannya dengan niat yang ikhlas semata-mata untuk mendapatkan Ridlo Allah SWT, itu sah-sah saja. Toh setidaknya apa yang mereka lakukan bermanfaat bagi WBP lainnya yang memang sangat membutuhkannya.
Bagi jamaah yang datang hanya karena berburu nasi bungkus juga tidak terlalu salah. Setidaknya mereka pernah bersujud di masjid, meski mereka tidak (atau belum) rutin menjalankan salat 5 waktu. Setidaknya dalam capaian usia mereka, juga pernah menunaikan salat Jumat. Ibadah wajib yang hanya 1 kali dalam seminggu.
Fenomena membludaknya jamaah karena faktor nasi bungkus yang terjadi di Lapas Porong, tentu tidak bisa digeneralisasi menjadi fenomena umum di luar Lapas. Akan tetapi ini bisa menjadi indikasi buruk dalam konteks kesadaran beragama dan tingkat keimanan.
Ini tidak hanya berlaku untuk umat Islam saja, tetapi juga bagi keseluruhan umat-umat beragama lainnya di Indonesia. Mungkin terlalu jauh untuk mengulas tentang tingkat keimanan disini.
Bukan kapasitas kita sebagai manusia untuk mengukur tingkat dan kualitas keimanan seseorang atau sekelompok orang. Akan tetapi dalam konteks kesadaran beragama, kita bisa menarik benang merah dari fenomena nasi bungkus itu.
Fenomena membludaknya jamaah masjid karena faktor nasi bungkus bisa mewakili kondisi objektif dalam kesadaran beragama kita. Dalam contoh kasus yang terjadi di Lapas Porong, jamaah masjid membludak karena sebagian besar jamaah hadir karena punya kepentingan, mendapatkan nasi bungkus.
Mereka ini hadir kemudian salat atau mengikuti kegiatan lainnya semata-mata untuk mendapatkan nasi bungkus itu. Dengan perkataan lain mereka gunakan ritual agama untuk kepentingan perutnya.
Dalam skala yang lebih besar kita bisa menyaksikan fenomena penggunaan agama untuk kepentingan pragmatis yang sempit, termasuk kepentingan ekonomi yang antara lain bermuara kepada kepentingan 'perut' dalam arti yang luas. Penggunaan agama untuk kepentingan perut dalam makna yang luas itu juga bisa dikemas dalam bentuk politik.
Kesadaran beragama secara umum bisa dilihat dari seberapa besar upaya dari seseorang atau sekelompok orang untuk bisa menjalankan ajaran agamanya secara utuh. Dalam tataran awam kesadaran beragama itu antara lain dapat dilihat dalam pelaksanaan ritual ibadah yang diajarkan agamanya.
Bagi umat Islam misalnya bisa dilihat seberapa kuat seorang Muslim berupaya menjalankan Rukun Islam dan memenuhi Rukun Iman, dalam bentuk melaksanakan segala perintah dan menjauhi segala larangan. Dalam tataran awam, ini sudah cukup. Mereka yang berhasil menjalankannya dapat dipastikan akan membawa kebaikan, setidaknya tidak membuat kerusakan.
Kesadaran beragama harus berujung kepada kebaikan bagi semua, bagi manusia lainnya tidak memandang latar belakangnya. Ini hanya bisa terjadi jika dan hanya jika ajaran agamanya dijalankan secara utuh tanpa diwarnai kepentingan pragmatis yang sering kali justru bertolak belakang dengan ajaran agama itu sendiri. Radikalisme dan terorisme adalah contoh terbaik untuk menggambarkan itu.
Penggunaan agama untuk kepentingan pragmatis justru sering kali dilakukan oleh mereka yang mengklaim sebagai golongan elite dalam agamanya. Mereka yang mengaku atau berupaya diakui sebagai yang menguasai ilmu agama yang dianutnya.
Mereka inilah yang punya andil terbesar dalam 'memperbodoh' umat. Mereka berkepentingan umat menjadi bodoh. Karena bodohnya umat merupakan modal terbesar mereka dalam merealisasikan agenda-agenda kepentingan mereka. Inilah peer terbesar kita umat beragama di negeri kita ini.
Sekaranglah waktunya para pemuka agama sejati yang secara tradisional menjadi panutan umat, yang tiada lelah berusaha 'mencerdaskan' umatnya, untuk berlomba dengan upaya 'pembodohan' yang dilakukan mereka para penjual agama.
Salam, Winardi.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H