Mohon tunggu...
Inspirasiana
Inspirasiana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer Peduli Edukasi.

Kami mendukung taman baca di Soa NTT dan Boyolali. KRewards sepenuhnya untuk dukung cita-cita literasi. Untuk donasi naskah, buku, dan dana silakan hubungi: donasibukuina@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Kisahku di Penjara: Paradoks Nasi Bungkus (Bagian 12)

20 Maret 2022   09:14 Diperbarui: 20 Maret 2022   09:16 501
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi nasi bungkus | Foto diambil dari Shutterstock

Katakanlah mereka benar-benar melakukannya dengan niat infaq dan sodaqoh (saya berharap memang seperti itu dan saya berdoa semoga infaq dan shodaqoh mereka diterima oleh Allah SWT), mereka tentu punya harapan bahwa infaq dan shodaqoh mereka setidaknya bisa menjadi stimulan dalam upaya memakmurkan masjid.

Lebih dari itu tentu mereka sangat berharap saudara-saudara seimannya bisa meningkat kesadaran beragamanya dan pada ujungnya bermuara kepada meningkatnya keimanan.

Persoalannya adalah harapan mereka (yang berinfaq dan shodaqoh dalam penyediaan nasi bungkus) ternyata jauh panggang dari api. Dalam skala minimal harapan mereka untuk memakmurkan masjid tidak bisa dicapai, apalagi lebih jauh dari itu berharap meningkatnya kesadaran beragama yang berujung kepada meningkatnya keimanan dari saudara-saudaranya sesama WBP.

Salahkah mereka yang berinfaq dan bershodaqoh untuk penyediaan nasi bungkus itu ? Saya kira tidak. Selama mereka melakukannya dengan niat yang ikhlas semata-mata untuk mendapatkan Ridlo Allah SWT, itu sah-sah saja. Toh setidaknya apa yang mereka lakukan bermanfaat bagi WBP lainnya yang memang sangat membutuhkannya.

Bagi jamaah yang datang hanya karena berburu nasi bungkus juga tidak terlalu salah. Setidaknya mereka pernah bersujud di masjid, meski mereka tidak (atau belum) rutin menjalankan salat 5 waktu. Setidaknya dalam capaian usia mereka, juga pernah menunaikan salat Jumat. Ibadah wajib yang hanya 1 kali dalam seminggu.

Fenomena membludaknya jamaah karena faktor nasi bungkus yang terjadi di Lapas Porong, tentu tidak bisa digeneralisasi menjadi fenomena umum di luar Lapas. Akan tetapi ini bisa menjadi indikasi buruk dalam konteks kesadaran beragama dan tingkat keimanan.

Ini tidak hanya berlaku untuk umat Islam saja, tetapi juga bagi keseluruhan umat-umat beragama lainnya di Indonesia. Mungkin terlalu jauh untuk mengulas tentang tingkat keimanan disini.

Bukan kapasitas kita sebagai manusia untuk mengukur tingkat dan kualitas keimanan seseorang atau sekelompok orang. Akan tetapi dalam konteks kesadaran beragama, kita bisa menarik benang merah dari fenomena nasi bungkus itu.

Fenomena membludaknya jamaah masjid karena faktor nasi bungkus bisa mewakili kondisi objektif dalam kesadaran beragama kita. Dalam contoh kasus yang terjadi di Lapas Porong, jamaah masjid membludak karena sebagian besar jamaah hadir karena punya kepentingan, mendapatkan nasi bungkus.

Mereka ini hadir kemudian salat atau mengikuti kegiatan lainnya semata-mata untuk mendapatkan nasi bungkus itu. Dengan perkataan lain mereka gunakan ritual agama untuk kepentingan perutnya.

Dalam skala yang lebih besar kita bisa menyaksikan fenomena penggunaan agama untuk kepentingan pragmatis yang sempit, termasuk kepentingan ekonomi yang antara lain bermuara kepada kepentingan 'perut' dalam arti yang luas. Penggunaan agama untuk kepentingan perut dalam makna yang luas itu juga bisa dikemas dalam bentuk politik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun