Mohon tunggu...
Inspirasiana
Inspirasiana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer Peduli Edukasi.

Kami mendukung taman baca di Soa NTT dan Boyolali. KRewards sepenuhnya untuk dukung cita-cita literasi. Untuk donasi naskah, buku, dan dana silakan hubungi: donasibukuina@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kata-kata Membangkitkan, 4 Pertimbangan Penting Sebelum Berkata dan Menulis

28 Februari 2022   12:14 Diperbarui: 28 Februari 2022   12:20 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kata-kata yang membangkitkan - Brett Jordan/Unsplash

"Kita mesti memperbaiki hati agar dapat berkata santun, positif, dan bermanfaat bagi orang lain."

Tersebutlah sebuah kisah dari daratan Eropa. Syahdan, ada sepasang suami-istri yang sama-sama berdarah seni yang sangat kental. Sang istri adalah seorang ibu rumah tangga yang sangat gemar menyanyi, sedangkan sang suami adalah seorang komposer lagu. Mereka hidup dalam suasana berkesenian. Pendek cerita, tidak ada hari yang terlewati tanpa berkesenian.

Setiap berlatih, sang istri didampingi oleh suaminya. Selalu begitu.

Hanya saja, kenyataan tidak selalu seindah harapan. Tiap kali sang istri berlatih, ia selalu ditegur oleh suaminya. Maklum, sang suami adalah komposer ternama. Terang saja ia ahli dalam hal musik. Sang suami selalu berkata, "Suara kamu buruk, kamu tidak berbakat menjadi seorang penyanyi!" 

Lama kelamaan, sang istri kehilangan harapan. Ia enggan berlatih menyanyi lagi. Ia tidak mau ditegur setiap hari oleh suaminya sendiri. Ia berhenti bernyanyi.

Pada suatu hari, sang suami mengalami kecelakan cukup fatal dan berakibat meninggal dunia. Sang istri terpaksa harus hidup seorang diri. Beberapa tahun kemudian, ia menikah lagi dengan seorang tukang leding---profesi yang sangat jauh dari dunia seni.

Dunia si wanita kembali berwarna. Ia kembali menekuni hobinya. Ia kembali giat berlatih.

Suaminya, sang tukang leding yang sehari-hari bersentuhan dengan pipa atau saluran air, selalu menemani istrinya latihan. Lantaran tiap hari ia bersentuhan dengan nada ricik air dan bunyi ketukan pipa leding, ia tidak bisa memberikan masukan layaknya pakar di bidang seni musik. Ia hanya memuji istrinya dengan mengatakan, "Suaramu amat bagus, teruslah berlatih!"

Kata-kata sang suami itu memantik gairah sang istri untuk lebih giat berlatih. Lambat laun ia terima undangan untuk mengisi acara, lalu mengikuti lomba, hingga akhirnya masuk dapur rekaman dan membuat album lagu. Wanita yang semula dianggap "tidak berbakat" oleh suami pertamanya itu kini telah menjadi artis yang tersohor. Ia bisa begitu lantaran menerima asupan semangat dan pujian dari suaminya yang kedua.

Makna Kata-Kata

Jangan remehkan "kuasa kata". Kisah di atas hanya salah satu contoh betapa kata-kata dapat memengaruhi orang lain. Kata-kata berpotensi "membunuh" atau "menghidupkan". Kata-kata yang kita ucapkan kepada orang lain pun dapat direspons secara berbeda. Orang tertentu bisa jadi termotivasi, orang lain mungkin terpukul, sekalipun kata-kata yang kita gunakan sama sekali tidak berbeda.

Definisi "kata" adalah 'unsur bahasa yang diucapkan atau dituliskan yang merupakan perwujudan kesatuan perasaan dan pikiran, serta dapat digunakan dalam berbahasa'. Adapun pengertian "berkata" adalah 'melahirkan isi hati dengan kata-kata atau berbicara'.

Berdasarkan pengertian "kata" dan "berkata" di atas, ada dua pengertian yang perlu kita pahami.

Satu, Kata berupa verbal dan nonverbal

Kata sebagai unsur bahasa dapat diucapkan atau dituliskan. Jadi, "kata" tidak sebatas yang keluar dari mulut kita secara lisan (nonverbal), tetapi dapat juga berupa tulisan (verbal). Dalam bentuk tulisan, kata dapat berupa tulisan di atas kertas atau tulisan berbentuk digital, seperti pesan pendek (SMS), obrolan (chat) dan surel atau surat elektronik (email).

Dua, Kata-kata yang keluar dari hati

Kata yang merupakan perwujudan kesatuan perasaan dan pikiran seharusnya melalui tahap filter atau dicerna terlebih dahulu sebelum dituangkan atau diucapkan. Jadi, tidak asal mengatakan atau menuliskan. Dengan demikian, kata yang kita keluarkan benar-benar merupakan kata-kata pilihan yang baik dan benar.

Santun dalam berkata-kata

Pada Pilpres 2019, dunia mayantara diramaikan oleh saling hujat dan saling ejek antara kubu cebong dan kampret yang berafiliasi pada tokoh capres/cawapres tertentu. Akibatnya, ujaran kebencian itu menyulut permusuhan dan perkelahian. Malahan di Madura sampai menelan korban jiwa. Belakangan, beberapa orang harus di penjara karena menghina presiden.

Belajar dari peristiwa itu, hendaklah kita menjadi orang santun dalam berkomunikasi. Kita mesti menggunakan kata demi kata dengan arif dan bijak. Dalam menulis pun demikian. Gagasan yang kita tuangkan ke dalam tulisan dapat menguap dengan mudah apabila kata per kata yang kita gunakan tidak mencerminkan kebaikan.

Nah, tulisan yang baik akan mempertimbangkan 4 hal berikut.

Pertama, Pertimbangkan jika ingin berkata kasar

Kata-kata bagi pihak komunikator (pengirim pesan) boleh jadi tidak berdampak apa-apa. Namun, bagi komunikan (penerima pesan) bisa menyulut rasa sakit hati. Kata-kata kasar yang dilontarkan oleh orangtua kepada anak, walaupun anak tampak diam dan membisu, bisa saja menyimpan kekesalan di dalam hati. Jika dilakukan terus-menerus, kelak ketika anak sudah menjadi dewasa dapat menjadi pemberontak. Bisa jadi pula, sang anak akan melakukan hal serupa kepada orang lain.

Kedua, Pertimbangkan karakter komunikan

Kata-kata orangtua sebaiknya mempertimbangkan karakter anak. Ada anak yang bisa menerima kata-kata yang keras dari orangtua; ada anak yang tidak bisa walau sebatas digertak. Walau demikian, gunakanlah kata-kata halus yang dapat diterima oleh sang anak.

Ketiga, Kata-kata bagaikan api

Kata-kata bagaikan api kecil yang dapat membakar hutan rimba. Kuasa kata dapat menggerakkan orang lain. Kalimat berapi-api bisa menyulut banyak orang. Silakan lihat kata-kata yang kerap digunakan oleh Ir. Soekarno ketika berpidato. Presiden pertama RI itu sering memanfaatkan mimbar untuk membakar semangat rakyatnya. Pada saat lain beliau menyerukan, "Beri aku seribu orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya; beri sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia!" 

Keempat, Kata-kata bisa dikekang

Kata-kata yang akan kita lontarkan sejatinya dapat kita kekang. Lidah kita mirip dengan seekor kuda---bisa menuruti tuannya karena ada kekang di mulutnya. Begitu pula lidah atau jari-jemari kita. Sebelum mengucapkan sesuatu, lidah bisa kita tahan agar tidak melukai hati orang lain; sebelum mengetik sesuatu, jari-jemari dapat kita kendalikan supaya "melahirkan" kalimat yang membangun.

Dengan demikian, penting bagi tiap-tiap orangtua untuk memperhatikan kata-kata yang meluncur dari mulutnya. Sebelum orang lain terluka, berhati-hatilah menggunakan lidah dan jemari.

Kita bisa memilih menjadi "suami"---seperti pada kisah pembuka di atas---yang hanya bisa mencari kelemahan dan mencerca kekurangan. Kita juga bisa memilih "suami"---seperti pada kisah pembuka di atas---yang rajin memuji dan memantik semangat.

Silakan memilih! (Kris Banarto untuk Inspirasiana)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun