Pertama, Pertimbangkan jika ingin berkata kasar
Kata-kata bagi pihak komunikator (pengirim pesan) boleh jadi tidak berdampak apa-apa. Namun, bagi komunikan (penerima pesan) bisa menyulut rasa sakit hati. Kata-kata kasar yang dilontarkan oleh orangtua kepada anak, walaupun anak tampak diam dan membisu, bisa saja menyimpan kekesalan di dalam hati. Jika dilakukan terus-menerus, kelak ketika anak sudah menjadi dewasa dapat menjadi pemberontak. Bisa jadi pula, sang anak akan melakukan hal serupa kepada orang lain.
Kedua, Pertimbangkan karakter komunikan
Kata-kata orangtua sebaiknya mempertimbangkan karakter anak. Ada anak yang bisa menerima kata-kata yang keras dari orangtua; ada anak yang tidak bisa walau sebatas digertak. Walau demikian, gunakanlah kata-kata halus yang dapat diterima oleh sang anak.
Ketiga, Kata-kata bagaikan api
Kata-kata bagaikan api kecil yang dapat membakar hutan rimba. Kuasa kata dapat menggerakkan orang lain. Kalimat berapi-api bisa menyulut banyak orang. Silakan lihat kata-kata yang kerap digunakan oleh Ir. Soekarno ketika berpidato. Presiden pertama RI itu sering memanfaatkan mimbar untuk membakar semangat rakyatnya. Pada saat lain beliau menyerukan, "Beri aku seribu orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya; beri sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia!"Â
Keempat, Kata-kata bisa dikekang
Kata-kata yang akan kita lontarkan sejatinya dapat kita kekang. Lidah kita mirip dengan seekor kuda---bisa menuruti tuannya karena ada kekang di mulutnya. Begitu pula lidah atau jari-jemari kita. Sebelum mengucapkan sesuatu, lidah bisa kita tahan agar tidak melukai hati orang lain; sebelum mengetik sesuatu, jari-jemari dapat kita kendalikan supaya "melahirkan" kalimat yang membangun.
Dengan demikian, penting bagi tiap-tiap orangtua untuk memperhatikan kata-kata yang meluncur dari mulutnya. Sebelum orang lain terluka, berhati-hatilah menggunakan lidah dan jemari.
Kita bisa memilih menjadi "suami"---seperti pada kisah pembuka di atas---yang hanya bisa mencari kelemahan dan mencerca kekurangan. Kita juga bisa memilih "suami"---seperti pada kisah pembuka di atas---yang rajin memuji dan memantik semangat.
Silakan memilih! (Kris Banarto untuk Inspirasiana)