"Puisi Umpatan! Emoh Aku, Yang romantis napa?" demikian komentar dari grup perpesanan.
Saya terhenyak sebentar, tulisan di atas jelas tidak mewakili perasaanku yang sedang duduk jaga toko. Suasana hatiku pada hari ini terasa biasa saja. Meski ada satu dua kesibukan yang bikin penat.
Katanya sih, penulis puisi adalah mereka yang paling jago menerjemahkan perasaan ke dalam bentuk kata per kata. Bak pelukis yang menorehkan kuasnya di atas kertas kanvas.
Lantas "puisi umpatan" yang kukeluarkan ini, apakah memang adalah refleksi hati?Â
Rasanya bukan. Atau memang adalah perasaan berkecamuk yang sedang berada di alam bawah sadar. Mungkin saja.
Tidak usah dipeduli, karena bukan itu yang ingin aku bahas.
Di Kompasiana, saya adalah pemuisi dadakan. Hanya senang jika "sedang mood saja." (Meminjam istilah Kompasianer Ari Budiyanti).
Nah, beliau adalah salah satu pemuisi top di K. Ada pula deretan nama lainnya, seperti Fatmi Sunarya, Abdul Hama, Syahrul Chelsky, Ayah Tuah, Katedrarajawen, Indra Rahadian, dan Ikhlas Julak.
(Note; maafkanlah diriku yang tidak bisa menyebut nama lain satu persatu).
Puisi adalah seni dan pemuisi adalah seniman. Jadi, para pemuisi di Kompasiana pada dasarnya adalah seniman.Â
Semoga saya tidak khilaf jika berasumsi bahwa mereka adalah "mahluk berbeda" dengan para penulis artikel lainnya.