Mohon tunggu...
Inspirasiana
Inspirasiana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer Peduli Edukasi.

Kami mendukung taman baca di Soa NTT dan Boyolali. KRewards sepenuhnya untuk dukung cita-cita literasi. Untuk donasi naskah, buku, dan dana silakan hubungi: donasibukuina@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Kisahku di Penjara, Hanya kepada Tuhan Kutitipkan (Bagian 3)

24 Februari 2022   10:14 Diperbarui: 24 Februari 2022   10:19 585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lanjutan dari Sendiri Menghuni Penjara Berhantu. Ini adalah kisah nyata Kang Win.

*

Hanya Kepada Tuhan Kutitipkan (Melawan Dengan Sabar, Bagian III)

Pada hari Senin, tepatnya tanggal 8 Januari 2018, di sebuah rumah sakit di Bandung. Telepon genggam saya berdering pelan. Sebuah telepon dari Kejaksaan Tinggi Jawa Timur yang memberitahu akan ada jadwal pemeriksaan lanjutan pada hari Selasa, 9 Januari 2018 pada pukul 10:00.

Saya minta penundaan ke hari Kamis, 11 Januari 2018 dengan alasan sedang mengurus istri saya yang dirawat di rumah sakit. Hari itu menjadi hari terakhir saya sebagai manusia bebas, karena terhitung hari itu saya menjadi tersangka dan ditahan.

Sejak saat itu saya harus menepi dari tanggung jawab mendampingi istri saya yang sedang sakit berkepanjangan dan merawat ibu saya yang sudah sepuh yang kebetulan tinggal serumah dengan saya. Juga dari tanggung jawab membiayai kuliah anak saya yang pertama dan kedua.

Tidak kalah beratnya, saya tidak lagi bisa mendampingi anak saya yang ketiga. Seorang anak perempuan satu-satunya dalam keluarga yang secara emosional lebih dekat kepada bapaknya. Ia sedang bersiap mengikuti UAN (Ujian Akhir Nasional) SMA. Sungguh ini bukan persoalan kecil bagi saya dan juga bagi keluarga saya.

Persepsi publik

Menjadi tersangka dan terdakwa, ditahan kemudian terpidana mengandung persoalan yang multi-dimensi. Sangat kompleks, jauh lebih besar dari sekedar terpisah dari keluarga.

Publik lazim melihat seseorang menjadi tahanan atau narapidana, keduanya sama saja. Ketika seseorang kemudian ternyata dinyatakan tidak bersalah atau mendapat hukuman yang lebih ringan dari ekspektasi umum, maka yang muncul adalah dugaan kekuatan keberadaan uang ikut bermain.

Jadi seseorang yang menjalani proses hukum pidana sudah akan terhukum sejak dini lewat persepsi publik. Ini sesuatu yang harus diterima dengan segenap ‘ke-lapangdada-an’ oleh mereka yang terjerat proses hukum pidana. Salahkah persepsi publik seperti itu? Tidak, tidak sepenuhnya salah.

Persepsi bahwa seseorang yang menjalani proses hukum itu kemungkinan besar bersalah adalah sesuatu yang wajar. Pada kenyataannya sebagian besar mereka yang menjalani proses hukum dengan menjadi tersangka apalagi terdakwa hampir dapat dipastikan akan dinyatakan bersalah.

Kekuatan uang dan masalah ekonomi

Demikian pula halnya dengan kekuatan uang. Sebagai orang yang mengalami langsung terjerat kasus hukum, saya bisa mengatakan bahwa penggunaan kekuatan uang untuk mempengaruhi sebuah proses hukum adalah sesuatu yang nyata adanya.

Dalam skala mikro, kondisi di atas menjadi tekanan berat bagi keluarga dari seseorang yang terjerat proses hukum itu. Dan tekanan yang dirasakan oleh keluarga jauh lebih berat daripada yang dirasakan oleh yang bersangkutan secara langsung.

Misalnya saja, bukan hal mudah menjawab pertanyaan dari tetangga, kerabat jauh atau dari siapa pun juga tentang anggota keluarganya yang dipenjara. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul bisa karena ketidaktahuan tentang keberadaannya maupun pertanyaan yang menyangkut perkara hukum yang dihadapinya.

Dipenjara, pasti membawa konsekuensi negatif terhadap ekonomi dan keuangan keluarganya. Sebagian akan terputus dengan sumber penghasilan yang selama ini menjadi pencari nafkah keluarga.

Maka keluarga yang ditinggalkan mau tidak mau harus menjadi penggantinya. Bagi mereka yang punya usaha keluarga, punya tabungan yang besar atau yang punya uang pensiun misalnya, tentu sedikit lebih ringan menghadapinya.

Persoalan sosio-kultural dan persoalan ekonomi hanyalah sedikit dari banyak persoalan yang muncul sebagai konsekuensi seseorang dipenjara. Semua persoalan itu bisa saja saling bertemu, terakumulasi dan membentuk sebuah resultante yang melahirkan masalah besar bagi yang bersangkutan dan keluarganya.

Sebuah resultante

Bagi penghuni rutan atau lapas, stres adalah persoalan umum. Dalam skala ringan, stres ini bisa menyebabkan menurunnya kondisi kesehatan. Stroke, baik dalam stadium ringan sampai berat menjadi penyakit yang cukup banyak diderita penghuni lapas.

Dalam skala yang lebih berat, stres yang terus menerus dan tidak terkendali menjadi sebab terjadinya depresi yang berujung kepada status Orang dengan Gangguan Jiwa (ODKJ). Depresi juga bisa menyebabkan putus asa yang berujung percobaan bunuh diri.

Ini bisa menimpa siapa saja, tidak tergantung kasus yang menjeratnya atau latar belakang yang bersangkutan. Selama 35 bulan ‘mondok’ di lapas saya menyaksikan setidaknya terjadi lima percobaan bunuh diri dan tiga di antaranya ditemukan sudah tidak bernyawa.

Keluargaku

Derita lain yang mungkin dialami oleh seorang yang menghuni penjara adalah retaknya hubungan suami istri. Digugat cerai oleh istri atau suami atau sekedar "dikhianati" dalam bentuk perselingkuhan.

Bagaimana dengan keluarga? Kami mengalami sendiri bagaimana beratnya keluarga kami harus berjuang menjaga kelangsungan hidup berkeluarga tanpa seorang suami, tanpa seorang ayah, yang menjadi kepala keluarganya.

Seperti sudah saya singgung di awal tulisan ini, saat saya mulai ditahan istri sedang mengalami sakit yang berkepanjangan. Berganti-ganti dokter untuk konsultasi penyakit, keluar masuk rawat inap dan menjalankan terapi rutin. Saya juga harus merelakan anak pertama dan kedua berjuang sendiri menyelesaikan kuliahnya. Juga meninggalkan anak ketiga yang sedang bersiap menghadapi UAN SMA.

Mereka sangat membutuhkan kehadiran saya. Saya tidak lagi ada di tengah-tengah mereka. Kami bukanlah keluarga dengan basis keuangan yang kuat. Jangan bayangkan kami punya harta berlimpah. Meski kasus hukum yang saya jalani adalah kasus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dengan sangkaan/dakwaan merugikan keuangan negara sejumlah sekitar 28 Miliar rupiah.

Saya hanyalah "koruptor kere" lebih tepatnya "koruptor abal-abal". (Catatan: “koruptor abal-abal” adalah klaim sepihak dari penulis untuk mewakili perasaan tidak bersalah. Pada realitanya, penulis dinyatakan bersalah oleh Pengadilan. Perasaan “merasa tidak bersalah” ini bisa jadi menghinggapi 99% terpidana korupsi.)

Tidak ada yang dapat saya lakukan untuk mereka. Mereka harus berjuang sendiri bahkan membiayai kebutuhan hidup saya selama di penjara. Oh ya, harus saya katakan penjara itu tidak gratis (tentang ini akan saya ulas pada tulisan yang lain).

Satu-satunya yang bisa saya lakukan adalah mengembalikan semuanya kepada Allah SWT. KepadaNYA lah saya mengadu. "Ya Allah, Ya Tuhanku, semua yang ada padaku termasuk istriku dan anak-anakku adalah bagian dari amanahMU kepadaku. Hari ini aku kembalikan semuanya kepadaMU. Hanya kepadaMU Ya Allah aku titipkan mereka".

Itulah hal pertama dan satu-satunya hal penting yang bisa saya lakukan. Hanya kepada Allah saya titipkan, karena tidak ada yang bisa saya lakukan bahkan untuk sekedar menitipkan mereka kepada kerabat dan handai taulan.

Keajaiban-keajaiban yang kemudian datang menghampiri kami

Dalam perjuangannya melawan penyakit yang dideritanya, istri saya ditakdirkan bertemu dengan seorang dokter yang memberikan diagnosa yang tidak pernah diperoleh dari beberapa dokter sebelumnya. Terlambat memang. Sudah terlanjur parah dan harus segera dioperasi.

Dengan membawa referensi dari dokter itu dan berbekal kartu BPJS Kelas 2, istri saya menjalani pemeriksaan di RSUD Al Ihsan, sebuah RS tipe B yang tidak jauh dari tempat tinggal kami. Istri saya lalu dirujuk ke RSUP Hasan Sadikin (RSHS) di kota Bandung dan mendapat jadwal operasi sekitar sebulan kemudian.

Pihak RSHS memberi alternatif untuk bisa lebih cepat, jika memilih pembiayaan secara mandiri tanpa BPJS dengan estimasi biaya sekitar Rp. 80 juta. Jumlah yang cukup besar untuk kami. Apabila jalur ini yang diambil sangat mungkin realisasi biayanya jauh di atas estimasi di atas. Dari situ diketahui bahwa dokter yang akan memimpin tindakan operasi pernah satu kelas dengan saya saat SMA.

Adalah seorang dokter gigi sahabat saya sejak kecil yang kebetulan juga pernah sama-sama satu kelas dengan saya dan dokter itu. Dokter gigi inilah yang tanpa diminta telah memberitahu dokter itu bahwa calon pasien operasinya adalah istri saya. Mengetahui itu, dokter itu minta agar pindah rumah sakit ke sebuah RS swasta agar operasi bisa segera dilakukan.

Persoalan muncul, rujukan ke RSHS tidak bisa diubah karena prosedur yang berlaku di BPJS. Pertolongan lain hadir, istri saya berhasil mendapat rujukan baru atas bantuan Wakil Direktur RSUD Al Ihsan, seorang dokter yang kebetulan tetangga masa kecil istri saya.

Hanya butuh waktu 3 hari sejak mendaftar di RSHS, istri saya akhirnya dioperasi di RS Swasta yang diarahkan oleh dokter kawan SMA saya itu. Operasi berjalan sukses dan dokter kawan saya itu tidak membebankan biaya dokter.

Dan berapa biaya yang harus dikeluarkan istri saya? Hanya Rp. 4 jutaan. Jauh lebih rendah dari biaya mandiri jika operasi dilakukan di RSHS. Jumlah Rp. 4 jutaan itu adalah kelebihan biaya operasi dari plafon BPJS. Kini istri saya sudah bisa beraktivitas secara normal meski tidak semaksimal sebelum terkena penyakit.

Anak ketiga kami yang sebenarnya sangat dikhawatirkan akan drop secara psikis ternyata berhasil mengatasi dirinya sendiri. Ia berhasil lulus UAN dengan sangat memuaskan. 

Ia menjadi peraih nilai tertinggi se-Kabupaten Bandung untuk pelajaran Bahasa Jepang. Dan kemudian lolos SMPTN jurusan Sastra Jepang di salah satu PTN. Saat ini ia sedang menunggu wisuda sarjananya.

Anak pertama dan kedua berhasil menyelesaikan kuliahnya saat penulis di penjara. Ketiga anak kami itu berhasil dalam kuliahnya dengan sokongan biaya dari para kerabat dekat. Dari para uwa, emang, bibi dan kakak-kakak sepupu mereka yang sudah terlebih dahulu berhasil. Mereka ini juga yang secara rutin mengirimi saya bekal biaya hidup selama di penjara.

Kebutuhan biaya hidup di lapas

Ada cerita sendiri tentang mencukupi kebutuhan biaya hidup ini. Saya punya banyak sahabat di berbagai kota, antara lain di Bandung, Jakarta, Surabaya, Bali dan Kupang. Merekalah yang menyokong saya jika ada kebutuhan yang mendesak. Tidak semua kebutuhan biaya "mondok" saya bagikan ke keluarga. Saya tidak ingin terlalu membebani keluarga.

Sementara itu, saat saya hampir memutuskan menggunakan pengacara prodeo (pengacara atas biaya negara) karena tidak memiliki cukup uang untuk menyewa pengacara sendiri, Tuhan memberi saya seorang pengacara papan atas di Surabaya.

Dengan di koordinir salah satu keponakan, keluarga besar kami urunan untuk biaya penasihat hukum. Jumlah yang relatif besar untuk ukuran kami, tapi tidak cukup besar untuk normalnya jasa pengacara papan atas. Mungkin tidak lebih dari sekedar biaya operasional.

Namun meski dengan anggaran yang sangat terbatas Tim Penasihat Hukum yang terdiri dari 4 orang tetap bekerja maksimal. Mereka benar-benar bekerja secara profesional.

Ada yang lucu tentang ini. Saat tahanan/napi Tipikor umumnya harus merogoh kocek cukup dalam, menyediakan amplop yang cukup tebal untuk bisa bertemu penasihat hukumnya, saya justru selalu "disangoni" pengacara saya setiap dia mengunjungi saya. “Ini untuk ngopi”, itu yang selalu dikatakannya.

***

Sahabat pembaca, itu hanyalah beberapa dari sekian banyak "kemudahan" yang kami peroleh. Tentu ini tidak berarti saya dan keluarga selalu mulus-mulus saja tidak pernah bertemu persoalan atau masalah. Namun Tuhan senantiasa memberikan jalan keluarnya.

Bagi orang lain mungkin itu hanyalah sesuatu yang biasa-biasa saja. Tapi bagi keluarga kami yang hanya keluarga sederhana, itu semua adalah rangkaian keajaiban yang datang menghampiri.

Hanya kepada Tuhan kutitipkan. Allah SWT Tuhan kami, membuktikan kasih sayangnya kepada kami sekeluarga. Allah SWT telah menggerakkan hati orang-orang yang dipilihnya untuk menjadi perantara kasih sayangNYA kepada kami.

الْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَا لَمِيْنَ

“Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam”

Salam. Winardi. 

Nantikan bagian keempat dengan tajuk "Menjadi Pak RT". Follow akun Inspirasiana ini. Salam sehat selalu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun