Mohon tunggu...
Inspirasiana
Inspirasiana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer Peduli Edukasi.

Kami mendukung taman baca di Soa NTT dan Boyolali. KRewards sepenuhnya untuk dukung cita-cita literasi. Untuk donasi naskah, buku, dan dana silakan hubungi: donasibukuina@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Kisahku di Penjara, Menjadi Pak RT (Bagian 4)

25 Februari 2022   10:14 Diperbarui: 25 Februari 2022   10:23 774
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lanjutan dari kisah nyata Kang Win, Hanya Kepada Tuhan Kutitipkan

*

Menjadi Pak RT (Melawan Dengan Sabar, Bag. 4)

Kamis 18 Januari 2018 adalah hari ke 8 saya "berkamar" di Rutan Kejati. Di minggu kedua saya "berkamar" itu penghuni rutan sudah bertambah menjadi 8 orang, tidak lagi sendirian menghuni penjara berhantu itu.

Sebelumnya, secara guyon saya meminta kepada seorang pejabat tinggi Kejati agar penghuni rutan bisa segera ditambah.

Dia inilah yang "memamerkan" saya kepada belasan wartawan baik media cetak, media elektronik dan media online. Dia pula yang pada saat saya masuk rutan pertama kali, memberi saya sebuah Kitab Suci Al Qur'an edisi luks yang masih baru serta sebuah sarung.

Dia juga memerintahkan stafnya mengambil sajadah yang biasa dia pakai di ruangan kerjanya untuk saya pakai. Sebuah sajadah indah berlapiskan anyaman rotan Banjarmasin di bagian bawahnya. Saya menjadi satu-satunya orang yang mendapatkan itu semua selama dia menjabat di Kejati Jatim.

Sejak itu kami sering ngobrol ngalor-ngidul. Kami akhirnya seperti menjadi dua "kawan". Aneh juga memang. Mungkin kepedean ya kalau saya mengatakan dia mungkin merasa saya berjasa kepadanya.

Ini ceritanya. Tahun 2014, lima tahun setelah saya mengakhiri jabatan di sebuah perusahaan plat merah, saya mendapat panggilan dari sebuah Polda untuk kasus dugaan tindak pidana korupsi. 

Hanya sekali saya diperiksa dan menurut info dari salah satu sumber di Polda itu, pihak kepolisian tidak (belum) mendapatkan bukti yang cukup untuk melanjutkan kasus ini. Sampai kemudian di pertengahan 2017 saya mendapat panggilan dari Kejari untuk kasus yang sama. Sekali pemeriksaan, lalu berhenti pula.

Akhir Nopember 2017, saya dapat panggilan lagi. Kali ini dari Kejati. Saya kaget, ketika ternyata Jaksa yang akan memeriksa saya adalah salah seorang Tim Jaksa yang memeriksa saya di Kejari Surabaya beberapa bulan sebelumnya. 

Dia cerita pimpinannya di Kejari  mendapat promosi ke Kejati dan "saya diminta ikut pindah ke sini dan kasus bapak juga dibawa ke sini" katanya. Sambil guyon kepadanya saya katakan, "Kalau begitu yang pindah kesini bertiga dong, termasuk saya". 

Kami berdua tertawa. Tertawa yang terasa hambar. Kasus saya menjadi kasus pertama yang ditanganinya. Jadi ini mungkin yang dianggap jasa saya kepadanya.

Oh ya perlu diketahui bahwa "perkawanan" kami betul-betul hanya hubungan personal, tidak ada hubungannya sama sekali dengan "perkara". Buktinya, pada tahap penuntutan saya mendapat tuntutan yang tinggi. Dialah yang menaikkan besaran tuntutan pidana bagi saya dari yang diusulkan Kejari. 

Bagi saya ini adalah profesionalitas. Saya menghormatinya. Meski banyak yang mengatakan sebagai "musang berbulu domba", saya tidak pernah menyesal bisa kenal dan "berkawan" dengannya, juga mendoakan untuk "kemonceran" karirnya.

Maka jika pada suatu kesempatan saya meminta agar penghuni tahanan segera ditambah, itu mungkin manfaat yang bisa saya ambil dari "perkawanan" kami yang belum seumur jagung. "Jadi saya tidak sendirian lagi", guyon saya. 

Tidak disangka, saat itu juga dia memerintahkan stafnya untuk memindahkan beberapa tahanan tipikor di daerah-daerah ke Rutan Kejati. Begitulah pada hari ke 8 saya di situ, saya mendapat teman baru sebanyak 7 tahanan, dan saya menjadi penghuni paling "senior" dengan rompi oranye no 1.

Dengan predikat "senior" itu dan kemudian didaulat menjadi "Pak RT", saya mendapat cukup banyak privilese dari pihak Rutan. Misalnya saja bisa menempati kamar A tanpa harus mengeluarkan uang sepeser pun. 

Konon, entah benar atau tidak, ini kamar "termahal" dari semua kamar yang ada. Hanya ada 3 kamar yang ada "tarifnya" yakni kamar A dan B serta kamar isolasi yang sebenarnya 3 toilet yang berjajar yang kemudian diberi pintu besi di bagian depan dari area toilet itu. 

Jika pada kamar A dan B berlaku tarif masuk, artinya untuk bisa "berkamar" di situ seorang tahanan harus rela mengeluarkan sejumlah uang. Sebaliknya, pada kamar isolasi berlaku tarif keluar. Tahanan yang baru masuk harus melalui tahap isolasi selama 20 hari. Nah apabila ingin masa isolasi itu singkat atau tidak sama sekali kita harus mau memberikan sesuatu kepada petugas.

Apakah hal itu sesuatu yang benar terjadi ? Entahlah. Saya sendiri tidak pernah menyaksikan secara langsung dengan mata kepala sendiri transaksi yang berkaitan dengan hal itu. Karenanya saya tidak ingin mengungkapkan nominal dari tarif-tarif itu di sini. 

Lagi pula bisa bikin pembaca ngakak dan kemudian berkerut kening berlama-lama. Kalaupun benar ada, tentu ini semua bukanlah tarif resmi dari Rutan atau Kejati, tetapi sepenuhnya permainan oknum-oknum petugas.

Dengan previlege sebagai "Pak RT" saya bisa "berkamar" di kamar A tanpa uang sepeserpun. Pertama kali saya hanya berdua dengan anak seorang mantan pejabat tinggi Kejaksaan Agung. Kemudian berdua dengan mantan Kepala Daerah, lalu bertambah menjadi 3 orang dengan masuknya salah seorang pengusaha terkaya di salah satu kota. 

Setelah pengusaha kaya ini "dilayar" ke NN, masuklah bos salah satu perusahaan dari sebuah grup yang dimiliki 2 orang terkaya di Indonesia.

Bagi saya, yang notabene "koruptor kere", lebih tepatnya "koruptor abal-abal", kondisi tersebut sesuatu yang luar biasa. Bisa dibayangkan "senangnya" saya dipenjara. 15 bulan di Rutan Kejati, berat badan saya naik 7 kg, dari 65 menjadi 72. 

Ini bertolak belakang dengan saat saya di NN yang pada 2 tahun pertama berat badan turun 17 kg menjadi hanya 55 kg. Sehingga sisa waktu sampai saatnya bebas saya gunakan untuk berusaha meningkatkan berat badan agar saat pulang tidak terlalu kelihatan kurus kerempeng.

Previlege lain yang saya dapatkan sebagai "Pak RT" adalah tidak terkena "dana kelonggaran". Ini adalah dana yang dikumpulkan dari para tahanan untuk mendapatkan beberapa kelonggaran, misalnya kamar tidak dikunci dan bebas menggunakan ruang bersama sampai waktunya istirahat tidur yaitu jam 9 malam. 

Kelonggaran lainnya adalah penggunaan hp secara bebas terbatas. Artinya hp bebas berada di dalam Rutan selama tidak diketahui pihak Kejati. Berdasarkan kepemilikan hp inilah "dana" itu dipungut setiap seminggu sekali. Berapa nominal yang dipungut dari satu orang ? Cukuplah buat nraktir bakso satu kelas SMP. 

Seperti juga "tarif kamar", dana ini bukanlah kebijakan resmi dari Kejati selaku pengelola Rutan. Ini merupakan hasil kesepakatan antara petugas rutan (tentu saja oknum) dengan perwakilan para tahanan. Inilah bukti lain dari kehebatan dan kelihaian para "koruptor" itu. 

Mereka (bisa juga termasuk saya) dalam kondisi terjepit sekalipun mampu menyeret aparat untuk masuk ke dalam permainannya dengan risiko sepenuhnya ada di pundak aparat/petugas. Kondisi-kondisi seperti yang saya gambarkan di atas, bisa saja saat ini sudah tidak ada lagi.

Sebagai Pak RT, saya juga punya privilese untuk bisa leluasa berada di luar area tahanan, yakni di area petugas dan tempat kunjungan. Saya bisa berlama-lama ngobrol dengan petugas maupun staf atau pejabat Kejaksaan sampai larut malam.

Oh ya perlu diketahui rompi oranye itu adalah pakaian "kebesaran" bagi para tahanan kasus tipikor. Yang paling terkenal tentu saja rompi oranyenya KPK. Memang tidak semua rutan atau instansi yang menangani tipikor menggunakan rompi oranye. 

Sebuah Kejari, misalnya, menggunakan warna pink untuk rompi tahanannya. Tapi ini berlaku untuk semua tahanan termasuk tahanan tipikor. Saya yang kebetulan saat tahap penuntutan dilimpahkan ke Kejari, maka setiap dijemput ketika hendak sidang harus menggunakan rompi pink itu. 

Yang lucu jika saat berangkat dari Rutan ke tempat sidang itu bertepatan dengan jam kunjungan, saya sering diledek sebagai teletubies. Diledek seperti itu oleh keluarga pengunjung, saya hanya bisa ketawa. Tidak ada perasaan tersinggung atau marah. 

Dengan jumlah tahanan yang tidak banyak yakni kisaran 20 - 60 orang, kami bisa saling mengenal dengan baik ke hampir semua keluarga tahanan yang biasa berkunjung.

Sampai pada titik ini saya bisa mengatakan bahwa di penjara itu ternyata tidak seseram yang dibayangkan sebelumnya.

Salam. Winardi

Nantikan kelanjutan kisah nyata ini dengan tajuk Menikmati Kebersamaan. Ikuti akun Inspirasiana ini. Salam sehat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun