Mohon tunggu...
Inspirasiana
Inspirasiana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer Peduli Edukasi.

Kami mendukung taman baca di Soa NTT dan Boyolali. KRewards sepenuhnya untuk dukung cita-cita literasi. Untuk donasi naskah, buku, dan dana silakan hubungi: donasibukuina@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ode buat Ibunda

14 Desember 2021   10:14 Diperbarui: 14 Desember 2021   10:18 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Untaian melati ini untukmu
harumnya semerbak menyebar di angkasa
sepertimu yang senantiasa menghiasi kalbuku
dengan cinta dan kasih yang tiada terkira

Kau terus melangkah meski penuh darah dan nanah
onak yang tertancap di setiap kisah tak pernah kau hiraukan
Hadirmu senantiasa memberikan nur dalam gelapnya hatiku
Rinduku padamu tak akan pernah usai dikalang waktu

 Adinda memandang foto keluarga yang tergantung di kamar kost-nya. Di sana ada gambar Bunda, Adinda, almarhum ayah dan Dion, adiknya. Foto itu dibawanya saat keberangkatannya ke kota yang dijuluki Paris Van Java ini.

Sudah beberapa bulan ini kerinduan pada keluarganya, dia pendam di lubuk hatinya yang terdalam. Adinda tidak bisa pulang ke rumahnya karena ia harus berhemat. Andai saja dia memiliki sayap, ingin rasanya dia terbang ke kotanya, Sukabumi, untuk melepas rindu pada keluarganya, khususnya Bunda.

Adinda sedang menempuh pendidikan S1-nya di Fakultas Kedokteran universitas ternama di Bandung dengan beasiswa Bidikmisi. Berkat bea siswa ini, Dinda menggapai mimpinya untuk menjadi seorang dokter. Kini dia sudah memasuki semester delapan dan sedang melaksanakan tugas praktik lapangan di salah satu rumah sakit.

 Adinda mengenang kembali perjuangannya hingga tiba di titik ini. Harapan dan mimpinya yang kerap menjadi olok-olok teman-temannya tak membuatnya sakit hati. Dia malah semakin bersemangat untuk mewujudkan cita-citanya itu.

“Aih… mana mungkin kamu bisa meneruskan kuiliah. Paling kamu meneruskan ke KUA,” ledek Sifa teman SMA-nya saat itu diiringi oleh tawa teman-teman sekelas.

“Takdir itu hanya milik Allah. Siapa kamu… yang sok menentukan nasib manusia,” bela Dewi sahabat Adinda sambil melotot ke arah Sifa.

Saat itu ada bimbingan wali kelas yang sedang berdiskusi tentang cita- cita. Kami disuruh menyampaikan harapan, mimpi dan cita-cita setelah lulus SMA.

 Adinda menyatakan mimpinya untuk menjadi seorang dokter. Cita-citanya itu tumbuh saat dia mendapatkan kenyataan jika ayahnya tidak tertolong karena tidak ada biaya. Ayahnya mengalami kecelakaan. Dia tertabrak motor dan terbentur kepalanya. Ayahnya tidak cepat ditangani saat dia dibawa ke rumah sakit. Alasan klise karena ibunya tidak bisa menyiapkan sejumlah dana sebagai jaminan awal di rumah sakit tersebut.

Wajar saja jika teman-teman Adinda berkata seperti itu. Adinda hanya seorang anak miskin dan tidak berpunya. Ayahnya meninggal saat Adinda masih duduk di bangku SMP. Ibunya hanya menjadi asisten rumah tangga di rumah pak Gandi, kepala desa mereka. Adinda sendiri berjualan kue yang dia titipkan ke ibu kantin untuk mengganti ongkos ke sekolahnya.

Namun, Adinda tak pernah menyerah oleh keadaan. Dia tetap belajar dengan giat. Hal itu terbukti dengan nilai-nilainya yang bagus. Juara umum selalu dia peroleh setiap tahunnya.

 Bu Dania menyarankan agar Adinda mengikuti beasiswa Bidikmisi. Awalnya dia ragu. Adinda tahu bahwa ibunya pasti tidak akan mampu memberikan dana tambahan buatnya jika harus kuliah di luar kota. Adinda tidak mau membebani ibunya lagi.

 “Kamu jangan berpikiran begitu. Ambil kesempatan ini, Dinda. Sayang sekali jika kamu tidak mengambil kesempatan itu. Kamu anak yang pandai,” nasihat Ibu saat dia bercerita tentang saran Bu Dania.

“Dinda tidak mau memberatkan ibu lagi. Biar Dinda bekerja saja dan membantu ibu di sini,’ ujar Adinda sambil memandang ibunya yang sedang menyetrika baju.

“Adinda, Ibu sangat mengharapkan agar kamu bisa mengubah hidup keluarga kita. Jika kamu kuliah kemudian mendapat pekerjaan yang layak, Ibu dan Ayahmu pasti akan bangga. Masalah biaya, yakinlah Allah akan memberikan rejeki untukmu. Ibu akan berusaha sekeras mungkin untuk membiayai kuliahmu.” Ibu meyakinkan Adinda sambil memegang bahunya.

“Ibu yakin mengizinkan Dinda kuliah di luar kota?” tanya Adinda sambil memandang ibunya.

“Pergilah. Ambil kesempatan itu, Anakku,’ ujar ibu lirih. Adinda memeluk erat ibunya.

Air mata mengalir di kedua pipinya. Adinda berjanji tidak akan mengecewakan ibunya. Akan dia wujudkan setiap mimpi dan harapan sang bunda.

Akhirnya Adinda memutuskan untuk mengikuti program beasiswa Bidikmisi. Bisa dipastikan Adinda diterima di kampus pilihannya karena nilainya sangat memuaskan. Hal itu sangat membanggakan guru, kepala sekolah dan tentu saja keluarganya.

Tahun pertama kuliah merupakan saat yang sangat memberatkan untuknya. Adinda harus mencapai nilai IPK yang memuaskan sebagai syarat penerima beasiswa Bidikmisi. Oleh karena itu Adinda harus memusatkan pikirannya untuk belajar dengan sungguh-sungguh.

Ibunya selalu memotivasi Adinda dengan doa. Setiap bulan dia mendapat kiriman uang dari ibunya. Adinda tidak tega saat mengetahui ibunya harus bekerja keras untuk mendapat biaya tambahan untuknya.

Selain bekerja sebagai asisten rumah tangga, ibu juga menerima jasa setrika di rumah yang dia kerjakan sepulang dari rumah Pak Gani. Semangat Adinda semakin bertambah dengan harapan dia dapat menyelesaikan kuliah dengan waktu yang cepat.

Hal itu dapat terwujud. Adinda dapat menyelesaikan semua mata kuliah dalam waktu tiga tahun setengah. Kini dia sedang menjalankan praktik sebagai tenaga koas di sebuah rumah sakit.

“Dokter Dinda, ada telepon,” ujar ibu Pratiwi, ibu kost-nya sore tadi. Adinda segera menuju ruang tengah untuk menerima telepon.

“Assalamualaikum, Dinda. Ini Pak Le Danar.” Suara Pak Le Danar terdengar di telepon.

“Waalaikumussalam. Pak Le, apa kabar? “jawab Adinda sambil menduga-duga ada apa kok pak Le Danar meneleponnya.

“Nduk, kamu bisa pulang tidak? Ibumu kangen sama kamu. Sudah setahun lebih kamu tidak pulang, to.”

Pak Le Danar benar. Adinda sudah setahun lebih tidak pulang. Jika dia kangen, paling menelepon ibu dengan menggunakan telepon rumah pak Gani. Hal itu Adinda lakukan agar lebih fokus belajar dan tentu saja menghemat biaya.

“Maaf, Pak Le. Bagaimana kabar ibu? Kok bukan ibu sendiri yang menelepon Dinda.” Dinda menanyakan sambil diliputi rasa cemas.

“Ibumu…ibumu sedang sakit, Nduk. Kalau bisa kamu pulang segera ya.” Ucapan Pak Le Danar sangat mengejutkan hati Adinda.

“Sakit apa. Pak Le? Sudah dibawa ke rumah sakit belum? Apa yang dirasakan ibu?” berondong Adinda dengan nada cemas.

“Kamu lebih baik melihat sendiri keadaan ibumu, Nduk. Ibumu sedang dirawat di rumah sakit Jebres. Ibumu selalu menanyakanmu, Nduk. Mungkin dia kangen padamu,” jelas pak Le Danar kemudian.

“Ya Pak Le. Saya akan secepatnya pulang,” jawabku sambil menahan tangis yang hampir pecah.

Setelah menutup telepon, Adinda segera menelepon dosennya. Dia menceritakan keadaan ibunya dan meminta izin untuk beberapa hari ke depan. Alhamdulillah, izin itu diberikan dan Adinda harus memberitahukan dokter pembimbing di rumah sakit. Untunglah dokter Adrian memberikan izin kepada Adinda selama tiga hari.

Besok Adinda akan pulang ke Solo. Tiket kereta api sudah dibelinya tadi. Rasanya sudah tak sabar Adinda menunggu besok. Rasa rindu kepada ibu dan berita sakitnya ibu bercampur aduk dalam benak Adinda.

Adinda segera mengambil wudhu. Dia ingin bersimpuh di hadapan Sang Pemilik Hidup. Dia memohon agar ibunya segera disembuhkan. Adinda tak ingin kehilangan ibu yang sangat disayanginya.

“Ibu, tunggulah kedatanganku…” ucap Adinda lirih. Air mata menetes di ujung matanya.

 

Cerpen karya Nina Sulistiati Untuk Inspirasiana

Cibadak, 8 Desember 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun