Dalam banyak budaya, kematian adalah momen yang penting. Macam-macam upacara dilakukan saat memakamkan anggota keluarga yang meninggal dunia.
Salah satu upacara pemakaman yang menurut penulis cukup unik, adalah pemakaman etnis Tionghoa di Bagansiapiapi, khususnya yang beragama Buddha atau Kong Hu Cu.
Membakar kertas perak
Umumnya jenazah diletakkan di atas dipan. Dipan diberi bantalan yang terbuat dari kertas perak.
Anggota keluarga secara bergantian duduk di samping jenazah dan membakar kertas perak di dalam baskom pembakaran. Kertas perak dipercaya berfungsi sebagai uang di dunia arwah.
Upacara tutup peti
Upacara tutup peti dipimpin oleh seorang “sai kong”. Selain berperan sebagai protokol acara, sai kong juga berperan sebagai penentu tanggal baik untuk tutup peti maupun pemakaman.
Upacara tutup peti diawali dengan memasukkan jenazah ke dalam peti mati. Sanak keluarga berkumpul dengan mengenakan pakaian berkabung. Mereka diminta membakar hio, berlutut dan mengelilingi peti mati berulang-ulang sebagai tanda hormat.
Anak sulung laki-laki memegang “tong huan” sebagai alat sembahyang selama ritual itu. Tong huan terbuat dari ranting-ranting bambu.
Barisan dipimpin oleh sai kong yang mengenakan pakaian kebesarannya, diikuti anak sulung laki-laki yang memegang tong huan, kemudian saudara-saudaranya sesuai urutan kelahiran.
Selesai upacara, anggota keluarga dan kerabat mengelilingi peti mati untuk memasukkan baju serta barang yang disukai almarhum semasa hidupnya ke dalam peti mati. Anak-anak almarhum memasangkan mutiara atau kapas pada tujuh lubang panca indera almarhum.
Ketujuh lubang panca indera adalah dua lubang telinga, dua ujung mata, dua lubang hidung dan di bawah lidah. Jika almarhum tidak mempunyai anak, maka suami, isteri, atau keponakan boleh memasangkan mutiara atau kapas tersebut.
Masyarakat Tionghoa percaya bahwa roh orang yang meninggal pergi ke tempat yang jauh dan penuh misteri. Manusia yang masih hidup tidak mengetahui ke mana tujuannya. Sebagai simbol sesuatu yang bersinar, mutiara atau kapas diharapkan dapat membantu agar panca indera almarhum masih bisa berfungsi saat melewati jalan yang gelap.
Setelah peti mati ditutup, sai kong memandu anak laki-laki atau menantu laki- laki sulung untuk memukul paku di empat sudut searah dengan jarum jam. Tiap paku hanya dipukul satu kali, dari paku pertama hingga paku terakhir. Setiap paku memiliki makna tersendiri, yaitu:
1. Paku pertama di kanan atas melambangkan anggota keluarga mendapat banyak berkah,
2. Paku kedua di kanan bawah melambangkan anggota keluarga mendapat kekayaan yang berlimpah,
3. Paku ketiga di kiri bawah melambangkan anggota keluarga mendapatkan keberuntungan,
4. Paku keempat di kiri atas melambangkan anggota keluarga dijauhkan dari musibah.
Pakaian berkabung
Sebagai contoh, keluarga penulis yang berasal dari daerah Jinmen, Fujian, mengenakan pakaian berkabung berwarna hitam. Mereka yang berasal dari daerah lain, ada yang mengenakan baju putih.
Baju berkabung harus dikenakan terbalik (jahitannya di luar) sebagai lambang anggota keluarga dalam suasana berduka, sehingga tidak ada waktu untuk mengurus diri sendiri. Anggota keluarga lelaki diikat kepalanya, anggota keluarga perempuan menggunakan kerudung.
Di bagian tengah ikat kepala dan kerudung ini terjahit potongan kain berbentuk persegi dan berwarna sesuai hubungannya dengan almarhum (disebut “ha”). Ha terbuat dari kain goni kasar untuk anak laki-laki dan menantu perempuan serta anak perempuan yang belum menikah.
Untuk anak perempuan yang sudah menikah dan menantu laki-laki, ditambahkan potongan kain berbentuk persegi yang lebih kecil berwarna merah di tengah potongan kain sebelumnya. Warna pakaian berkabung untuk cucu adalah biru tua. Pada ha yang dikenakan oleh cucu luar, ditambahkan potongan kain persegi berwarna merah.
Menangisi kematian orang yang dikasihi
Jika almarhum sudah sangat lanjut usia dan sudah memiliki canggah, keluarga dihimbau untuk bersikap tenang dan tidak menangisi kematiannya. Masyarakat Tionghoa percaya bahwa mereka sudah berbahagia semasa hidup di dunia dan kematiannya adalah untuk menyongsong kebahagiaan yang lebih lagi.
Sebaliknya, jika almarhum belum berusia lanjut, keluarga akan meratapinya dengan suara keras. Ratapan ini terdengar seperti nyanyian pilu yang sangat menyayat hati.
Pakaian pelayat dan wan-lian (輓聯)
Pelayat dilarang mengenakan pakaian berwarna merah, kecuali jika almarhum adalah seorang yang sudah memiliki canggah.
Pada umumnya, pelayat memberikan pepau (uang duka dalam amplop putih) sebagai tanda turut berduka. Namun, keluarga yang berada biasanya tidak menerima pepau. Jika mereka menerima pepau, maka dana yang terkumpul biasa disumbangkan kepada sekolah-sekolah yang membutuhkan.
Jika keluarga yang berduka tidak menerima pepau, pelayat akan memberikan “wan lian”, salah satu bentuk seni kaligrafi huruf Mandarin.
Wan lian adalah sajak yang terdiri dari dua baris kalimat. Masing-masing kalimat terdiri dari tujuh kata. Wan lian berisi pujian dan doa untuk almarhum, serta ungkapan simpati untuk keluarga yang berduka. Tulisan dan gambar dibuat di atas kertas, kemudian dipotong dan ditempel di atas kain.
Kain yang digunakan biasa berwarna gelap. Kain wan lian digantung di dinding rumah duka hingga saat pemakaman. Selesai pemakaman, kain dapat digunakan oleh keluarga yang berduka untuk membuat pakaian yang akan dikenakan selama masa berkabung.
Perjalanan ke tempat pemakaman
Pemberangkatan jenazah ke tempat pemakaman dimulai dengan sembahyang. Sanak famili mempersembahkan korban berupa san-xing atau wu-guo.
San-xing artinya tiga jenis hewan, umumnya terdiri dari daging, ikan dan ayam. Wu-guo artinya lima buah-buahan, umumnya dipiliha buah-buahan yang berbentuk bulat, rasa manis, berbiji. Selain itu, dipilih juga buah yang namanya mirip lafal bunyi kata yang mengandung kebaikan. Setelah selesai upacara, persembahan ini boleh dibawa pulang untuk dimakan bersama, supaya mendapat berkat dan rezeki.
Contoh buah yang umum digunakan:
Jeruk (Juzi, 橘 子), diidentikan dengan lafal bunyi Jixiang 吉 祥 artinya Kebaikan.
Apel (Pingguo, 苹 果), diidentikan dengan lafal bunyi Pingan 平 安 artinya Tentram.
Pir (Liguo, 莉 果), diidentikan dengan lafal bunyi Liyi 利 益 artinya keberuntungan.
Nanas dalam lafal hokkian disebut "Ong Lay", bermakna kejayaan datang. Hal ini sesuai juga dengan bentuk yang menghadap ke atas menandakan kejayaan.
Terinspirasi dari saudara-saudara Tionghoa yang tinggal di daerah Jawa, buah srikaya pun kini cukup banyak digunakan karena erat dengan kata "kaya".
Pada saat yang sama menantu laki mengadakan ritualnya dengan mempersembahkan “Leng Ceng”. Bentuknya seperti umbul-umbul, berwarna merah, berisi tulisan nama almarhum dan nama-nama menantu. Leng Ceng ini nantinya diletakkan di atas kubur persis di atas peti mati.
Bagi mereka yang masih memegang ketat tradisi, untuk menunjukkan rasa cinta anak kepada orangtua, maka mereka diharuskan telanjang kaki berjalan sampai persimpangan jalan barulah boleh masuk ke mobil jenazah yang mengantar sampai ke kubur. Dewasa ini tradisi demikian sudah jarang dilakukan, sebab selain udara yang panas juga mengganggu lalu-lintas jalan.
Sembahyang di kuburan
Ritual penyembahan di kubur dilakukan dengan cara membakar hio, berlutut, mengelilingi peti jenazah, dipimpin oleh sai kong. Selesai sembahyang, dilakukan tabur bunga yang dimulai oleh sanak keluarga dan diikuti oleh pelayat.
Menurut tradisi, anak kandung dari almarhum wajib mengenakan pakaian berkabung selama tiga tahun. Anak perempuan yang sudah menikah diizinkan memakai pakaian berkabung selama 1 tahun. Cucu dalam boleh melepas pakaian berkabung ketika sudah melewati tiga bulan.
Selama masa berkabung, mereka mengenakan pakaian berwarna putih atau hitam serta memasang Ha di lengan kiri baju. Khusus cucu luar, boleh mengambil kesempatan membuang Ha saat sembahyang di kuburan. Dengan demikian, mereka sudah boleh memakai pakaian bebas.
Makam ditutupi dengan tumpukan alang-alang
Pada umumnya peti mati terbuat dari kayu jati. Setelah dikubur, peti lalu ditutupi dengan tumpukan alang-alang.
Bertahun-tahun kemudian, tumpukan alang-alang hampir rata dengan tanah sejalan dengan hancurnya peti. Yang tersisa hanya tulang-belulang.
Makam yang tertutup tumpukan alang-alang dibuka. Tulang-belulang yang tersisa dipungut dan dikumpulkan di guci. Tidak jelas apakah tradisi ini terjadi karena besarnya biaya untuk membuat makam yang bagus atau karena keinginan untuk membawa tulang tersebut mengikuti perpindahan keluarga ke daerah lain.
Seorang teman penulis bercerita bahwa keluarganya menunggu 23 tahun sebelum mengumpulkan tulang belulang almarhum kakeknya dan membawa guci berisi tulang-belulang tersebut ke kediaman baru mereka di Surabaya.
Teman yang lain bercerita bahwa jenazah ayahnya tetap dikubur bersama peti yang tertutup alang-alang selama belasan tahun. Tiga tahun setelah ibunya menyusul sang ayah, mereka memungut tulang-belulang ayah dan ibu.
Tulang-belulang ayah dikumpulkan di sebuah guci dan tulang-belulang ibu dikumpulkan di guci yang lain. Kedua guci tersebut lalu diletakkan bersisian di makam yang baru mereka bangun. Setiap tahun, pada saat ceng beng, mereka berziarah untuk membersihkan makam dan memberi penghormatan kepada kedua orangtua mereka.
Demikianlah sekelumit kisah tentang uniknya pemakaman dan tradisi pungut tulang yang dilakukan oleh masyarakat Tionghoa di Bagansiapiapi. Sebagaimana disebut di alinea pembuka, tradisi di atas dilakukan oleh saudara-saudara yang masih beragama Buddha atau Kong Hu Cu.
Dewasa ini, sudah cukup banyak keluarga Tionghoa di Bagansiapiapi yang menganut agama Kristen atau Katolik. Tradisi pemakaman para keluarga ini mengikuti tata cara yang ditentukan oleh Gereja. Namun demikian, tradisi mengenakan pakaian berkabung masih diikuti, meskipun rata-rata hanya seratus hari hingga satu tahun.
Jakarta, 21 April 2021
Ditulis oleh Siska Dewi untuk Inspirasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H