Menurut tradisi, anak kandung dari almarhum wajib mengenakan pakaian berkabung selama tiga tahun. Anak perempuan yang sudah menikah diizinkan memakai pakaian berkabung selama 1 tahun. Cucu dalam boleh melepas pakaian berkabung ketika sudah melewati tiga bulan.
Selama masa berkabung, mereka mengenakan pakaian berwarna putih atau hitam serta memasang Ha di lengan kiri baju. Â Khusus cucu luar, boleh mengambil kesempatan membuang Ha saat sembahyang di kuburan. Dengan demikian, mereka sudah boleh memakai pakaian bebas.
Makam ditutupi dengan tumpukan alang-alang
Pada umumnya peti mati terbuat dari kayu jati. Setelah dikubur, peti lalu ditutupi dengan tumpukan alang-alang.
Bertahun-tahun kemudian, tumpukan alang-alang hampir rata dengan tanah sejalan dengan hancurnya peti. Yang tersisa hanya tulang-belulang.
Makam yang tertutup tumpukan alang-alang dibuka. Tulang-belulang yang tersisa dipungut dan dikumpulkan di guci. Tidak jelas apakah tradisi ini terjadi karena besarnya biaya untuk membuat makam yang bagus atau karena keinginan untuk membawa tulang tersebut mengikuti perpindahan keluarga ke daerah lain.
Seorang teman penulis bercerita bahwa keluarganya menunggu 23 tahun sebelum mengumpulkan tulang belulang almarhum kakeknya dan membawa guci berisi tulang-belulang tersebut ke kediaman baru mereka di Surabaya.
Teman yang lain bercerita bahwa jenazah ayahnya tetap dikubur bersama peti yang tertutup alang-alang selama belasan tahun. Tiga tahun setelah ibunya menyusul sang ayah, mereka memungut tulang-belulang ayah dan ibu.
Tulang-belulang ayah dikumpulkan di sebuah guci dan tulang-belulang ibu dikumpulkan di guci yang lain. Kedua guci tersebut lalu diletakkan bersisian di makam yang baru mereka bangun. Setiap tahun, pada saat ceng beng, mereka berziarah untuk membersihkan makam dan memberi penghormatan kepada kedua orangtua mereka.