Mohon tunggu...
Inspirasiana
Inspirasiana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer Peduli Edukasi.

Kami mendukung taman baca di Soa NTT dan Boyolali. KRewards sepenuhnya untuk dukung cita-cita literasi. Untuk donasi naskah, buku, dan dana silakan hubungi: donasibukuina@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Togal, Tarian Tradisional yang Terkepung Zaman

13 Desember 2020   12:30 Diperbarui: 14 Desember 2020   04:30 1598
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Gesekan fiyol, pukulan tifa dan petikan gambus serta tiupan suling seakan menghipnotis warga desa. Di bawah tenda sederhana yang terbuat dari atap seng, lantunan pantun dan sajak-sajak tentang cinta, kehidupan, pendidikan, nasihat dan kekecewaan asmara membuat suasana pesta; tarian togal semakin meriah. Tua muda menari; baronggeng, penuh ceria. Di sisi lain, banyak pula yang meneteskan air mata, mengingat-ingat kenangan tentang orang tua, orang-orang yang telah berpulang".

Menjelang sore, saat senja sedang memanjakan mata, seorang teman kemudian berujar, "Malam minggu ada pesta di kampung sebelah."

"Pesta apa?" tanya yang lain.

"Pesta Togal," ujarnya.

"Haduh, kairain bikin pesta joget. Kalau pesta togal tara (tidak) asik," harapnya kecewa.

Saya hanya menyimak percakapan pada sore itu. Percakapan seperti itu sudah tidak asing. Beberapa tahun belakangan, anak-anak di desa kami dan desa lainnya lebih antusias jika ada pesta joget ketimbang pesta togal atau pesta fiol; biola yang terbuat dari kayu bersenar serabut kelapa (gomutu).

Alasan mereka sederhana, pesta togal tidak mengasyikan dan tak ramai, kaku. Gerakan tarian monoton, itu-itu saja, dan tidak ada alternatif lain. Sementara pesta joget, mereka bisa berekspresi sesuka hati dan banyak variasi, mulai dari lagu hingga tarian. Contoh pesta joget ialah poco-poco, wayase, tide-tide dan lalayon (dua tarian tradisional yang dibuat modern), cha-cha (mirip tarian salsa), disko, dll.

Kebanyakan dari generasi muda ini beranggapan bahwa pesta togal ialah pestanya para orang tua. Yap, sebuah kondisi yang unik setiap kali warga yang melakukan hajatan menyelenggarakan pesta, apakah pada acara nikah, akikah, penyambutan tamu, kampanye, sukuran kampung, hingga hal-hal yang berbau religius.

Sumber: Opan Sangadji
Sumber: Opan Sangadji
Di mana, para generasi tua menginginkan pesta togal, sementara anak muda menginginkan pesta joget. Alhasil, perdebatan tak terelakkan.

Budaya pesta sendiri adalah budaya orang timur yang masih melekat hingga saat ini terutama pesta joget; baronggeng. Walaupun sudah dibatasi jam penyelenggaraan dan larangan oleh berbagai pihak, akan tetapi tak memusnahkan acara hura-hura ini.

Masyarakat tetap menyelenggarakan acara pesta ronggeng ini setiap ada hajatan, semisal pernikahan, sukuran, kampanye, memenangkan sebuah pertandingan, perpisahan mahasiswa dengan warga, dan segala bentuk landasan lainnya.

Kebiasaan orang Timur, utamanya orang Maluku Utara, menyelenggarakan pesta ronggeng (modern) karena pengaruh kebudayaan Portugis dan Belanda. Sementara pesta tradisional, tide-tide (Tobelo-Galela), togal (Makian), lalayon, dll sudah ada sebelum kedatangan penjajah.

Secara tidak langsung ada dua kebudayaan yang bertabrakan. Di satu sisi, tarian tradisional semisal togal sedang mengalami degradasi karena perkembangan jaman, sementara pesta joget 'baronggeng', tumbuh subur.

Pada posisi ini, yang kalah tentu saja tarian tradisonal. Sehingga, tari-tari tradisonal kebanyakan dimainkan hanya pada saat acara-acara penyambutan serta pesta rakyat. Tak jarang, tarian traisional menjadi ajang perlombaan setiap sanggar.

*

Malam acara pun tiba, anak-anak remaja di desa kami, Tafasoho, Kabupaten Halmahera Selatan, selepas Ba'dah Isya sudah bersiap-siap. Mereka akan pergi meramaikan acara pesta togal karena undangan dari kepala pemuda desa tetangga. Walaupun pesta togal kurang disukai, tetapi karena undangan, mereka harus hadir.

Undangan ini selain karena bagian dari tradisi juga bagian dari keamanan saat pesta berlangsung. Jika tak ada undangan dan masyarakat dari kampung sebelah tetap datang menghadiri sebuah acara, maka konsekuensi ditanggung sendiri. Sebab, setiap penyelenggaraan pesta, baku pukul selalu terjadi.

Baju terbaik, spokat andalan dan minyak wangi adalah bentuk persiapan yang sering dilakukan masyarakat sebelum menuju  lokasi acara pesta. Walaupun sampai di lokasi semua persiapan terbaik itu sering tak berguna, karena derasnya keringat akibat menempuh perjalanan  dengan jalan kaki.

Pukul 10 hingga 11 malam biasanya mereka sudah bergerak menuju lokasi acara. Pun dengan masyarakat desa tetangga lain yang sama-sama mendapat undangan.

Tak jarang anak-anak remaja atau masyarakat membentuk kelompok-kelompok, berjumlah 10 atau 15 orang sekali jalan. Selain itu,  tak lupa mereka juga melakukan briefing kalau-kalau acara pesta berujung konflik.

Jika pesta yang diselenggarakan adalah pesta togal maka orang tua-tua juga sering ikut. Namun, jika pesta joget maka jarang sekali orang tua-tua di desa kami ikut ke lokasi acara.

Sesampai di lokasi acara, gesekan fiol diringi pukulan tifa, petikan gambus dan lantunan syair sang komando atau pemimpin pesta sudah menggema. Para orang tua terlihat begitu menikmati setiap gerakan. Komando yang berada paling depan sesekali membuat gaya unik dan membuat masyarakat tertawa.

Alat musik gambus (Sumber: Amrul dotoru)
Alat musik gambus (Sumber: Amrul dotoru)
Pantun dan syair laksana pedang yang mengiris-ngiris hati, menampar dan menyadarkan diri. Jika syair yang dilantunkan tentang cinta, maka tak jarang masyarakat berteriak kegirangan di ujung syair.

Namun, jika syairnya tentang nasihat, banyak yang berkaca-kaca. Mengingat setiap kenangan tentang orang tua dan kehidupan yang sudah mereka jalani.

Walaupun dalam setiap tarian, gerakan yang ditunjukan tidak lagi murni atau asli. Ada beberapa bagian yang dihilangkan, terutama yang paling nampak ialah cara berpakian dan berpegangan tangan.

Saya masih mengingat dengan detail, dulu di periode 1990-an silam, ketika diadakan pesta togal, nenek saya dan anak-anaknya mengenakan kebaya dan pakian bernuansa Islami. Tak lupa mereka membawa selendang kecil yang digunakan untuk wadah yang bakal dipegang oleh para pria.

Pakian kebaya mereka seragam. Tak lupa rambut setiap dari mereka dikonde. Sementara bawahan menggunakan kain batik. Sementara para pria, menggunakan celana kain dan kameja.

Setiap gerakan yang dimainkan sangat berirama, teratur dan rapi. Dalam sekali melakukan tarian hanya terdapat 15-20 pasangan.

Saya juga masih mengingat bagian-bagian yang hilang tersebut, seperti saat berhadapan dan berapa kali putaran dilakukan. Dulu, mereka melakukan gerakan dengan halus dan berkesan.

Sementara yang terjadi saat ini, mulai dari pakaian hingga gerakan sudah banyak yang hilang. Bahkan, dengan dalil seni, tarian togal terutama soal musik, sudah tidak dimainkan melainkan diputar lewat kaset dengan sedikit tambahan musik modern.

Gerakannya pun banyak yang hilang. Bahkan para tetua (mereka yang berada di umur 60-70 an) pun sering berujar bahwa tarian togal yang sekarang dimainkan sudah tak asli. Kasar dan semrawut diperagakan.

Pesta togal malam ini, hanya diselenggarakan hingga pukul 12 malam. Selebihnya dirangkai dengan pesta joget. Bagiannya anak muda.

Ini sudah biasa terjadi beberapa tahun belakangan untuk mengakomodir permintaan anak muda. Pesta joget akan berlangsung hingga masuk waktu Ba'dah Subuh. Pada pesta joget ini, para orang tua biasanya sudah kembali ke rumah.

*

Tari togal atau baronggeng fiyol adalah salah satu tarian asli suku Makian atau Makeang. Suku terbesar di Maluku Utara. Wilayah administrasi masuk ke Kabupaten Halmahera Selatan dan merupakan wilayah Kesultanan Bacan. Suku Makeang sendiri terdiri dari suku Makeang Dalam dan Suku Makeang Luar.

Secara bahasa, keduanya berbeda bak langit dan bumi. Jika bisa dianalogikan, maka sama seperti bahasa Thailand dan Bahasa Indonesia, sangat berbeda.

Suku Makeang adalah wilayah kekuasaan Kesultanan Bacan. Di Pulau Makeang sendiri bukti keberadaan kekuasaan kesulatanan terletak di Desa Tahane (Makeang dalam) dan Desa Tafasoho (Makeang Luar).

Tarian togal diyakini sudah ada sebelum jaman penjajahan. Menurut Maman Jumati (2014), togal adalah tarian kedaerahan "orang Makian" atau suku makian yang secara sisiologi menunjukan identitas suku Makian.

Secara etimologi, kata togal berasal dari kata "toga" berarti jubah, pakian hakim atau para wisudawan, dan"gala", berarti pesta besar. Togal diartikan sebagai suatu kebudayaan yang memiliki makna kebesaran.

Tarian ini dimainkan dengan alat pendukung yaitu, fiyol, gambus, tifa dan suling. Para pemain alat tradisional ini juga tidak sembarangan orang. Mereka bagian dari keluarga yang turun temurun yang sudah memainkan alat-alat ini, semisal fiyol.

Alat musik dalam tarian togal (Sumber: Pustakamalut.blogspot.com)
Alat musik dalam tarian togal (Sumber: Pustakamalut.blogspot.com)
Tarian ini dilakukan saat menyambut tamu besar dan acara-acara masyarakat setempat. Secara konsep, kesenian ini terdiri atas tiga unsur, yaitu musik, lirik, dan tarian

Dalam pesta togal, ada satu orang sebagai komando yang memimpin. Ia bertugas memimpin sekaligus melantunkan syair-syair dan pantun dengan bahasa lokal.

Menurut Muhammad (2018) ungkapan bermakna budaya yang digunakan masyarakat Pulau Makian sebagian besar terdiri dari frase, klausa, dan kalimat, serta ungkapan-ungkapan tersebut merupakan cerimanan pola pikir masyarakat tentang nilai-nilai kehidupan.

Syair-syair ini berawal dari orang tua yang saling berbalas pantun di ladang atau hutan sebagai tanda bahwa dia tidak sendiri. Lalu, berlanjut pada situasi biasa. Kemudian berkembang menjadi seperti sekarang.

*

Perubahan zaman membawa dampak pada kesenian lokal, terutama pada tarian tradisonal suku Makian, togal. Hal ini tercermin dari bergesernya nilai togal dan bentuk --bentuk tarian yang diperagakan.

Bahkan, dari beberapa diskusi penulis dengan beberapa pemain alat musik seperti fiyol yang rata-rata sudah bermumur diatas 50-an berujar, bahwa generasi sekarang sudah tidak memiliki minat mempelajari kesenian tradisonal ini.

Walaupun secara harfiah mereka harus menurunkan ilmu mereka ke anak-anak, tetapi tidak ada keinginan berbalas dari anak mereka. Bahkan mereka berujar, ilmu memainkan fiyol sudah putus pada generasi mereka.

Di pulau Makeang sendiri bahkan hanya tersisa satu pemain atau pengiris fiyol yang memiliki ilmu murni atau masih asli. Ia saat ini berjuang keras agar musik yang mengiringi tarian togal dapat di mainkan generasi berikut. Ia berharap agar baik tarian maupun musik tidak berhenti di generasinya.

Tentunya ini adalah kondisi yang sangat riskan. Berbagai upaya penyelamatan juga belakangan mulai digalakan, seperti memasukkannya kedalam kegiatan ekstrakulikuler bagi siswa SD.

Upaya ini karena tarian togal sudah mulai punah secara perlahan. Namun, semua itu belum dapat menjawab permasalahan inti. Masih dibutuhkan sebuah kebijakan besar agar tarian tradisional seperti ini tidak punah. (Sukur dofu-dofu).

Ditulis oleh Fauji Yamin untuk Inspirasiana.

Sumber (1), (2) 

Refensi Video (1) (2)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun