Mohon tunggu...
Inspirasiana
Inspirasiana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer Peduli Edukasi.

Kami mendukung taman baca di Soa NTT dan Boyolali. KRewards sepenuhnya untuk dukung cita-cita literasi. Untuk donasi naskah, buku, dan dana silakan hubungi: donasibukuina@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membiasakan Diri atau Mendirikan Kebiasaan, Apa Salah Tuak?

16 November 2020   06:23 Diperbarui: 16 November 2020   07:04 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menampung air nira, bahan membuat tuak (Dokpri)

Merasa tidak enak menolak keramahtamahan seorang kerabat, suatu kali pada sebuah kesempatan menghadiri pesta adat, saya ikut menenggak segelas tuak. Hari siang menjelang sore pada saat itu.

Saat akan tiba waktunya makan malam, saya yang takut ketinggalan langsung ikut mengambil bagian menyajikan hidangan. Kami yang sedari tadi duduk-duduk, dan sebagian lagi berdiri-diri, bahkan ada yang berjongkok di sudut dapur rumah, adalah pihak yang bertugas menyiapkan dan menyajikan hidangan makan malam itu.

Sekilas tentang Tuhan dan Manusia dalam Kaca Mata Budaya Karo

Pada suku Karo, pihak yang bertugas di dapur ini disebut dengan "anak beru". Dalam sistem sosial budaya Karo, anak beru adalah anak perempuan dan/ atau pihak yang mempersunting anak perempuan dari suatu keluarga.

Setiap kali ada acara yang menyediakan jamuan, terutama jamuan besar pada suatu acara atau pesta adat, maka pihak anak beru bertanggung jawab mendukung suksesnya penyelenggaraan seluruh rangkaian acara. 

Mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, hingga pengawasan/ pengendalian acara. Tentu saja dengan dukungan sumber daya dari tuan dan nyonya rumah (host acara).

Sang pemilik acara atau pesta adat itu disebut sukut. Dalam peran dan status sosialnya, sukut dalam acara/ pesta adat menjadi kalimbubu bagi pihak anak beru. Kalimbubu dipandang sebagai dibata ni idah (tuhan yang terlihat, terjemahan bebas dalam bahasa Indonesia).

Tanpa usaha pembelaan diri, pandangan hidup masyarakat adat ini bukan berarti suatu praktik menduakan Tuhan atau memberhalakan manusia. Jauh sebelum dikenal dan masuknya agama-agama yang diakui negara, suku Karo juga sudah mengenal adanya Tuhan yang tak terlihat. Kami menyebutnya Dibata.

Menjadi menarik, nenek moyang suku Karo juga sudah memahami konsep bahwa untuk memuliakan Tuhan yang tak terlihat, maka ia juga harus mampu memuliakan tuhan yang terlihat (dibata ni idah). Kalimbubu yang dipandang sebagai tuhan yang terlihat ini adalah juga sebagai saluran berkat dari Tuhan yang di atas (Dibata si ni Datas).

Menempatkan kalimbubu dalam peran dan status sosial ini bukan tanpa alasan, karena mempelai perempuan berasal dari pihak kalimbubu. Oleh sebab itu, kalimbubu dipandang sebagai sumber atau pemberi kehidupan.

Selanjutnya, kepada kalimbubu sudah sepatutnya anak beru (anak perempuan dan pihak laki-laki yang mempersuntingnya) menaruh hormat dan bertanggung jawab atas seluruh kepentingan, termasuk acara/ pesta adatnya. Sebaliknya, kalimbubu bertanggung jawab memberkati dan melindungi anak beru-nya.

Lagipula, pembagian peran ini, sebagai kalimbubu dan anak beru sering kali bergantian, disebabkan hubungan keluarga sanak saudara antar pihak (entah dari pihak orang tua, anak, menantu, cucu) tak jarang memiliki keterkaitan sehubungan dengan perkawinan. Siapa mempersunting siapa.

Jadi, hari ini memulikan, besok bisa jadi dimuliakan. Hari ini menerima, besok bisa jadi memberi. Bukankah hukum yang pertama dan terutama sebagaimana dalam salah satu kitab suci mengatakan, "Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu", dan hukum yang kedua yang sama pentingnya dengan itu adalah "Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri"?

 Potret Keseharian di sebuah Desa dalam kilasan Tuak

Saya mencoba melihat sekilas potret keseharian di sebuah desa, yang menyingung sekilas tentang tuak. Ia bukan suku Karo.

Adalah seorang tokoh wanita inspiratif asal Sulawesi Selatan, tepatnya Tana Toraja, yang telah mengikuti pembinaan di Cipanas untuk menjadi seorang motivator atau fasilitator desa yang diwadahi oleh departemen pemberdayaan masyarakat Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia. Ia mungkin bisa juga dikatakan sebagai seorang kader pemberdayaan masyarakat desa.

Ruth Tandi Ramba foto bersama salah seorang peserta Toraja Youth Camp 2018 (Tangyar FB)
Ruth Tandi Ramba foto bersama salah seorang peserta Toraja Youth Camp 2018 (Tangyar FB)
Namanya adalah Ruth Tandi Ramba. Pada tahun 1980-an, usai menamatkan pembinaan kader pemberdayaan, ia ditempatkan di sebuah desa terpencil di Sumatera Utara, jauh dari kampung halamannya.

Namun, ibu Ruth, tampaknya sebagaimana anjuran teori antropologi dari Bronislaw Malinowsky (salah seorang pencetus mula-mula metode antropologi partisipatif), menyadari bahwa cara terbaik untuk dapat cepat memahami, serta cepat dapat diterima sebagai orang asing di sebuah komunitas dan lingkungan baru, adalah dengan hidup membaur di tengah-tengah mereka dan terlibat langsung bersama-sama dengannya.

Demikianlah Ruth Tandai Ramba selama bertahun-tahun hidup di antara dan bersama-sama dengan warga desa itu. Ciri umum warga desa itu adalah sebagai masyarakat petani.

Para suami umumnya terlihat sangat betah duduk berlama-lama di kedai kopi, juga di lapau tuak, sementara para istri sudah sangat sibuk bekerja sejak pagi hari. Para istri, harus sudah lebih dahulu bangun dibandingkan seluruh anggota keluarga.

Para istri di desa umumnya, harus menyiapkan keperluan makan pagi bagi anggota keluarga, memberi makan ternak peliharaan mereka yang ada di belakang rumah, mencuci piring, mencuci kain kotor, menyapu rumah, dan menyapu halaman.

Setelah itu semua, jangan kira mereka bisa beristirihat. Para istri masih akan menjadi yang lebih dahulu berangkat membajak sawah, atau mengarit rumput, atau mencangkul di ladang, dibandingkan para suami.

Para suami bahkan bisa saja tidak sempat memakan sarapan pagi yang telah disiapkan oleh istrinya, karena lekas pergi ke warung kopi di pagi hari. Mereka sibuk membahas politik lokal hingga isu internasional sambil duduk berlama-lama.

Sebagian mungkin akan beranjak dari kedai, saat menjelang makan siang. Kurang lebih, demikianlah gambaran keseharian masyarakat di desa terpencil itu, tempat di mana Rut Tandhi Ramba ditugaskan sebagai seorang motivator desa.

Lalu, Apa Salah Tuak?

Pada sore menjelang malam itu, saya yang takut ketinggalan menyajikan hidangan makan malam di rumah kalimbubu saya itu, langsung ikut mengambil bagian. Bagi saya, itu diniatkan sebagai bentuk rasa hormat saya kepada paman, karena ibu saya adalah pihak perempuan di keluarga paman, tuan rumah acara itu.

Sebelumnya saya sudah menenggak segelas tuak. Tidak cukup, satu lagi jadi dua gelas. "Bagus tuaknya", kata kerabat saya yang menawarkannya dengan ramah itu.

Ketika akan membantu menyajikan makan malam itu, saya merasa sudah agak sempoyongan saat akan mengambil salah satu sajian. Parahnya, sajian yang saya ambil dari bawah kolong meja itu adalah sisa hidangan tadi pagi, yang sebenarnya sudah kurang baik kondisinya, tapi saya tidak menyadarinya.

Saya membawa hidangan dengan kondisi yang sudah setengah baik itu ke tengah perkumpulan orang yang duduk bersila dalam lingkaran di atas alas tikar (itu adalah masa sebelum pandemi). 

Sontak saja aku digiring minggir kembali ke belakang oleh juru pengatur sajian, mungkin karena sajian itu sudah mengeluarkan aroma taksedap yang tidak lagi aku sadari.

Dia mungkin menyadari gerakanku yang tampak santai, tapi sebenarnya sudah sempoyongan setengah sadar, karena tuak. Aku merasa malu dan menyesal sekali, sambil duduk menenangkan diri.

Padahal, ada seorang kakek di kampung itu yang aku tahu, setiap hari pasti minum tuak. Barang segelas dua gelas setiap hari.

Katanya, tuak berkhasiat mencegah sakit ginjal, sakit gula, dalam kadar yang pas. Juga menghilangkan penat-penat setelah capai bekerja seharian, dan malamnya tidur pun menjadi lebih nyenyak. Dia memang panjang umur, sudah sangat tua.

Seorang lagi, kerabat saya yang menawarkan tuak pada siang menjelang sore itu. Ia biasanya mendapatkan jatah tugas menanak nasi di dandang besar untuk disantap hingga ratusan orang setiap kali kami menjadi anak beru pada suatu acara atau pesata adat.

Panas api dari tungku besar yang memanasi dandang  besar itu, takpelak lagi membuat keringatnya mengucur deras. Namun, anehnya setiap kali aku menawarkan apa minuman yang dia mau, dia hanya minta satu hal saja, tuak.

Katanya, tuak itu bisa mengimbangi kehilangan cairan tubuh akibat cucuran keringat yang hebat oleh karena panas tungku yang membara itu. Mungkin yang dimaksudnya, kurang lebih seperti minuman isotonik pengganti ion tubuh itu.

Dari sana saya belajar, bahwa tidak ada yang salah dengan tuak. Mana kala para suami betah berlama-lama duduk-duduk di kedai kopi atau lapau tuak, sementara istrinya sudah lelah bekerja di sawah atau ladang sejak pagi, itu bukan salah tuak.

Saya yang salah menyajikan hidangan makan malam karena sempoyongan akibat mabuk tuak, itu bukan salah tuak. Atau, pernah ada kabar bahwa beberapa orang meninggal dunia diduga akibat menenggak tuak oplosan, itu pun bukan salah tuak.

Ini hanya soal hubungan antara membiasakan diri atau mendirikan kebiasaan. Pilihannya tetap ada pada manusianya.

Pemalas yang malas bekerja, bukan dikarenakan tuak. Begitupun orang bisa menjadi tidak cermat atau tidak sadar diri, bukan semata karena tuak. Sama halnya dengan pengoplos culas, demi mengejar keuntungan diri sendiri, dia hanya menyalahgunakan tuak.

Tidak kurang banyak hal lain yang juga bisa disalahgunakan, dan karenanya akan sangat banyak hal yang perlu dilarang dalam hidup ini. Adakah yang bisa menjamin keadaan menjadi lebih baik, dengan melarang tuak?

Saya sendiri memilih menahan diri untuk membiasakan tidak meminum tuak. Sebab bagi saya rasa tuak kalah enak dibandingkan dengan segelas susu, kopi, kopi susu, atau segelas coklat hangat. Jadi, adalah kurang tepat menurut saya melarang orang menjual atau meminum tuak.

Lagi-lagi, patut dicermati bahwa konsep kebutuhan, baik bagi individu maupun komunitas dalam suatu sistem sosial budaya, layak dipandang secara fungsional sebagai suatu tradisi sesuai konteksnya secara lengkap. 

Menurut batasan tertentu, hal yang tidak disukai dan tidak dibutuhkan oleh seseorang, bisa saja merupakan kesukaan dan kebutuhan bagi yang lain.

Bahkan terkadang hal itu menyangkut keyakinannya. Kita tentu saja sudah semestinya hanya memilih untuk melakukan apa yang memang perlu dan penting untuk kita lakukan. Di luar itu hanyalah hiburan, dan tidak ada batasan tunggal bagaimana orang bisa merasa terhibur.

Memilih antara "membiasakan diri minum tuak supaya tahan", atau "menahan diri untuk membiasakan tidak minum tuak", dalam kasus saya, untuk kebaikan saya sendiri mungkin lebih baik tidak usah meminum tuak. Apabila takbiasa, diri sendiri menjadi malu dan menyesal karenanya, karena salah menyajikan hidangan kepada kalimbubu, "dibata ni idah", tuhan yang terlihat.

#savetuak

Ditulis oleh TT untuk Inspirasiana (Ed: A5)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun